Lanjutan kisah saya yang dimutasi ke Jawa, saya harus dihadapkan dengan proses pindah yang selalu saja melelahkan. Begitu banyak barang yang harus dipilah-pilah, dikemas, dikirim, dibawa, dihibahkan atau dibuang. Dan masing-masing proses tersebut sangat menyita tenaga. Juga pikiran. Setidaknya demikian bagi saya.
Bukan kali ini saja saya menghadapi proses berpindah, tapi saat memilah barang-barang untuk dipisahkan mana yang mau dibuang dan mana yang mau disimpan ternyata bukan hal yang mudah.
Pertama, karena barang-barang yang kita kumpulkan selama ini di rumah atau kamar kos kita itu mempunyai cerita sendiri-sendiri tentang bagaimana mereka bisa ngejogrok di situ.
Misalnya, saat saya menemukan sebuah sendok makan dalam tumpukan celana dan kaos dalam saya, saya sama sekali tak bisa mengingat bagaimana sebuah sendok bisa berada di sana.
Lantas sendok itu tidak serta merta bisa saya buang atau kembalikan begitu saja ke tempat sendok –seperti sebagaimana seharusnya. Karena saya jadi mikir, pasti alasan yang bukan sembarang sehingga saya –atau orang lain, bisa-bisanya menaruh sendok makan di tumpukan kancut.
Bagaimana jika sendok tersebut adalah alat bukti penting dalam sebuah kasus spionase melayu, dimana ada seorang agen rahasia yang dikejar musuh terpaksa menyimpan data-data penting yang terenkripsi dalam sebuah sendok makan –agar tak mencolok, untuk lalu menaruhnya dalam tumpukan kancut mbladus?
Itu baru sendok. Belum lagi makanan yang sedianya menjadi cadangan makanan dalam keadaan genting (misal: lapar tengah malam atau sakauw pingin ngemil). Banyak makanan yang sudah kadaluarsa yang saya jumpai, betapa rakus dan idiotnya saya sehingga dulu selalu berpikir akan membutuhkan semua simpanan makanan itu.
Juga tumpukan kertas yang dulu saya pikir penting, sekarang bingung mau diapakan. Terpaksa dirobek-robek lalu dibuang.
Berkemas kala mau pindah, jelas sentimentil. Ada romansa nostalgia di sana. Setidaknya bagi saya. Anda?
Kata teman saya, seorang laki-laki sejati tidak pernah terikat dengan barangnya, apalagi menamainya. Terlalu sentimentil. Saya mungkin kurang lebih seperti abang juga, pas dikritik cuma bisa pasrah. Hehehehe…