Seminggu lalu, saat saya baru saja turun dari speed boat yang mengantar saya menyeberangi laut dari Sofifi menuju Ternate, telepon selular saya berbunyi. Lagu 20th Century Boys-nya T-rex yang jadi ringtone –abaikan. Telepon mendadak dari seorang kawan lama yang sekarang bermukim di Cirebon itu mengabarkan kabar gembira untuk saya.
Mutasi. Ke Jawa. Saya memang sudah akrab dengan bumi jazirah al mulk alias bumi maluku (utara) sejak penempatan saya sebagai CPNS di awal tahun 2005. Sempat keluar dan bertugas sebentar di Manado, Sulawesi Utara, lalu pindah lagi selama 5 bulan di Luwuk, Sulawesi Tengah. Dan kembali ke haribaan Maluku Utara, hanya saja kali ini ditugaskan di kota Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara.
Pokoknya saya muter-muter dan kembali ke bumi Maluku Utara selama 5 tahun terakhir ini. Mulai dari bujang sampai punya satu anak lanang (bernama Lanang). Dari ceking sampai mirip orang bunting.
Banyak sekali yang terjadi selama 5 tahun ini. Ada suka juga ada duka. Tak jujur jika saya bilang tak ada sukanya. Berlebihan jika saya bilang semuanya indah.
Sembari menunggu tanggal resmi pelantikan saya di tempat kerja baru, saya mulai berbenah dan menyelesaikan tunggakan pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawab saya.
Dari twitter, facebook, atau dari forum-forum diskusi baik internal maupun yang terbuka di internet, banyak cerita dari mutasi kali ini. Tak semuanya bahagia, tak semuanya menerima.
Saya teringat obrolan saya bersama kawan lama saya saat saya dinas ke Jakarta beberapa bulan lalu di tahun 2010, beliau berujar betapa sulitnya mengatur yang namanya mutasi ribuan pegawai. Secara terperinci beliau terangkan pertimbangan-pertimbangan juga hambatan yang menghadang.
Rupanya –dari cerita beliau, tak mudah untuk mewujudkan sebuah ide mutasi, menjadi draft mutasi hingga akhirnya ditandatangani dalam sebuah surat keputusan.
Kebetulan, mutasi kali ini saya diberi tanggung jawab untuk bekerja di kampung halaman sendiri. Meski sebenarnya saya (sudah) tak terlalu berharap akan bisa kembali ke kampung.
Bertugas di kota kecil yang merupakan kampung halaman sendiri setidak-tidaknya memberi perasaan lega.
Lega, karena saya belum diberi kepercayaan bertugas di kota besar, yang nota bene mempunyai tantangan kerja yang 180 derajat dari kondisi kerja di pedalaman pulau halmahera. Dengan demikian gap yang ada tidak terlalu njomplang. Saya diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dulu.
Lega, karena anak sulung saya, si Lanang, tahun depan sudah harus masuk sekolah. Bahkan sekarang pun sudah merengek-rengek minta sekolah. Bukannya gebyah uyah (menyamaratakan), saya pikir akan lebih baik jika Lanang bersekolah di Jawa.
Lega, karena diberi kesempatan membangun rumah tangga saya ke jenjang berikutnya. Saya dan istri berencana membangun rumah dan menjadikannya markas keluarga kecil kami, jika saya dimutasikan ke kota yang layak.
Alhamdulillah, doa kami, doa orang tua kami terkabul. Saya dimutasi.
Meninggalkan teman-teman seperjuangan saya yang selama ini menjadi partner berjibaku dalam tugas keseharian ternyata tak mudah. Kawan dalam duka tentu lebih berharga dari kawan dalam suka.
Dengan pindahnya saya, tentu juga akan ada yang merasa “dikorbankan” menggantikan posisi saya. Oleh karena ini, maafkan, saya pindah ke Jawa.
Nah, tahukah anda tentang sedemikian luasnya Indonesia? Jika tahu, anda tentu sepakat dengan saya bahwa tak mudah mengurus negara ini.
Selamat berkarya!
Wah, Selamat Mas Pay. Pantesan lama ngga keliatan, saya pikir mutasi ke Timbuktu, ternyata lagi nyiapin boyongan ke Jawa ya. haha.
Sukses selalu.
IPUNG | begitulah… kembali ke tanah purbalingga… ๐
Wah bangpay, jangan lupa jalan” keluwuk lagi..
Sukses selalu..
bawa bibir eh bubur ambon ga bos?
selamat bertugas dech….semoga menjadi manusia yang tambah mumpuni dan madani.
Di semua tempat bekerja adalah tantangan bagi kita (kata ustadzahku : tantangan dakwah)
semoga selalu dimudahkanNya dan dirahmatinYa, amiin …. “-“