Beberapa waktu belakangan ini, dalam rangkaian ontran-ontran Ujian Nasional, ramai dibicarakan soal indikasi adanya praktek mencontek massal secara sistematis. Juga soal bagaimana ada seorang Ibu yang konon merasa resah setelah anaknya konon melaporkan padanya bahwa saat ujian nasional berlangsung konon dipaksa untuk mencontek konon oleh gurunya.
Ketika sang ibu melaporkan kejadian curang dan tercela tersbut, konon bukannya dipuji tetapi malah dicaci maki dan dihujat, bahkan dimusuhi.
Konon. Iya, konon. Karena kejadian itu tidak langsung saya alami. Ada mediasi disitu. Lewat media massa (elektronik/ televisi) lah saya tahu akan kejadian tersebut.
Dan jelas pengetahuan saya hanya sebatas dari media yang saya ikuti. Lain tidak.
Saya kebetulan bertukar email dengan seorang kawan saya yang demikian geram menanggapi kejadian tersebut.
“Ha liat, mas! Mosok itu ada orang jujur kok malah yang lainnya pada ngejek dan menghina semua.. Dasar! Kebangetan.. Orang jujur memang langka tapi saya ndak nyangka kalau semuanya ternyata memuja kepada kecurangan semua!”
Begitu kira-kira amarah kawan saya via email jika dirubah ke dalam kalimat aktif.
Balasan saya begini:
“Mas, sebagaimana dulu media tak ada yang memberitakan tentang petugas pajak yang bersih, bukan lantas tak ada petugas pajak yang bersih tho? Hanya saja makin seru kalau yang dibahas itu yang kontroversial saja..”
Makanya akan lebih baik kita ndak keburu marah, mencap jelek dan mengutuk kesana-kemari. Saya yakin masih ada kejujuran, banyak malah. Jujur juga seperti bensin eceran. Kalau beruntung dapat yang 100% murni, kalau sial ya campur minyak tanah atau bahkan air!
Jika sedemikian mudah kita yang aktif mengikuti perkembangan dunia (lewat media) dipanas-panasi, lantas bagaimana dengan mereka yang hidup bagai katak dalam tempurung?
Jika ada kasus seorang tukang becak nyolong TV lalu uang hasil penjualannya dipakai untuk nyumbang ke masjid, lantas ada media memberitakan besar-besar dengan tajuk “Seorang Tukang Becak gelap Mata, mencuri TV” juga ndak salah. Hanya saja ndak lengkap. Dan bukankah media lebih banyak dituntut untuk benar saja, bukan lengkap?
Sebagaimana sinetron atau film, berita juga harus disorot dari sudut yang tepat, agar menarik dan tentu saja, menjual.
Saya sih optimis, meskipun susah dan tersembunyi, masih banyak manusia-manusia di Indonesia (juga dunia) yang jujur dan bersih. Mereka sembunyi dan mungkin disembunyikan Tuhan agar tak tercemar akan slogan, tag-line, bungkus atau gerakan kejujuran yang belum tentu keasliannya.
Akan halnya jika kemudian muncul gerakan pembela kejujuran dari berbagai elemen masyarakat yang terkenal suka bohong, maklumi saja.
Itu juga wajah dari bagian masyarakat kita. Duh!
Saya selalu suka ungkapan ini :
“Jangan (terlalu) percaya media.”
Alhamdulillah sudah bisa lepas dari kecanduan TV. Hehe
blog juga media.. ๐