Mendoan Dalam Balutan Kebijaksanaan

Ah Mendoan. Jajanan khas kota kelahiran saya itu selalu menggoda saya. Apalagi dengan status saya yang baru saja kembali setelah sekian lama merantau di negeri seberang. Bukan CLBK, karena saya selalu mencintai.. mendoan!

Ibu saya tentu saja langsung menyediakan mendoan buatan rumah. Namun mendoan yang didapat secara tak sengaja ketika jalan-jalan entah kenapa lebih terasa lain nuansanya. Seperti halnya mendengar lagu kesayangan secara tak sengaja baik di televisi atau radio akan terasa lain dibanding dengan sengaja memutar lagu tersebut di iPod atau gadget yang lain.

Nah, sembari menunggu gerimis reda tadi sore saya mampir ke sebuah warung sederhana. Segelas kopi kental dan sepiring mendoan. Hampir sempurna. Saya bilang hampir karena warung tersebut penuh dengan asap rokok para pengunjung dan saya benci asap rokok.

Mendoan demi mendoan saya santap seperti bercumbu dengan kekasih lama. Tekun dan telaten. Saya kemudian menemukan fakta bahwa mendoan yang dijual di situ sangatlah generous dalam pemakaian adonan terigunya. Tempe mendoannya seakan sedang kedinginan sehingga perlu dikemuli, diselimuti dengan selimut terigu yang sedemikian tebal.

mendoan

Namun, ketebalan terigu itu terasa pas dan tak over-acting. Nyamleng dan maknyus serta this is it, pokoknya.

Iseng, saya ngobrol dengan Bapak penjualnya. Lelaki akhir empat puluhan ini menanggapi obrolan saya dengan tatapan berbinar. Penuh semangat.

“Pak, panjenengan kok mendoannya tebel banget kulit kemul-nya? Opo ndak rugi?”

Ha mbuh mas, ndak saya itung.. Tapi ngalkamdulillahnya ya saya tetep bisa jualan tiap hari dan punya rejeki buat nyekolahin anak-anak… Berarti yo ndak rugi tho?”

Ha ning kalo seandainya dikurangi adonan tepungnya kan yo bakal lebih untung tho, pak?”

“Hahak.. Untungnya yo ndak seberapa, mas.. Tetep ndak bakal bisa jadi milyuner.

“Hahahaha..”

“Tapi gini, mas… Kebanyakan orang kan ya pada senang thoย kulit gorengan, baik mendoan, dage atau pisang goreng? Apalagi yang kemriyik gurih. Nah dari situ saya ngasih adonan kulitnya banyak-banyak…”

“Ooooo..”

“Juga dulu pas saya ngajuin pinjeman kredit di bank, saya kok kagum sama petugasnya yang ramah binti sumeh banget. Padahal kan ya waktu itu saya yang harusnya banyak senyum, wong butuh duit je.. Ha ini ndak, malah petugas banknya yang ramah, senyum, dan cekatan sekali…”

“Ya, mereka kan memang dibayar buat senyum, pak. Dan senyum itu bagian dari profesionalitas.”

Ha inggih niku… Ewadene, ndak usah senyum pun mereka tetep digaji tho? Senyum juga ndak marai gaji mundak alias naik tho? Ha kok tetep mau senyum?”

Saya terdiam –sambil tak berhenti mengunyah mendoan tentunya. Dari situlah saya berpikir, untuk menjadi manusia yang baik, kita harus selalu berusaha maksimal bahkan kalo perlu tanpa menghitung untung ruginya.

Apapun pekerjaan anda, sudahkah anda melebihkan “adonan tepung” dalam karya anda?

KETERANGAN:

CLBK: Cinta Lama Bersemi Kembali

7 thoughts on “Mendoan Dalam Balutan Kebijaksanaan

  1. ALL | Gambar mendoannya hanya ilustrasi.. ๐Ÿ™‚
    LINGGA | Kuliner di sana sebenarnya masih sederhana… ndak perlu yang terlalu unik dan rumit, ngga..

Leave a Reply

Your email address will not be published.