Kemarin, sabtu, saya pergi ke tukang raparasi jam tangan di kota Purbalingga. Jam tangan saya memang rusak sehingga sampai saat ini jam tangan saya masih menunjukkan Waktu Indonesia Tengah. Tidak bisa diubah.
Nah, saya bertemu dengan Pak Wartoyo, seorang senior dalam bisnis reparasi arloji. Menurutnya, beliau sudah bekerja menjadi tukang reparasi jam ini sejak berusia 22 tahun dan kini sudah memasuki usia senja. 60 tahun alias sweet duck, kalo orang jawa bilang.
Jam saya beliau perbaiki dalam waktu kurang dari sejam. Mesinnya beliau bongkar, bersihkan, bagian yang rusak diganti, dikanibal dengan sparepart lain yang dimilikinya, dipasang kembali dan diuji coba hasilnya.
Sistematis sekali. Practice makes perfect mungkin berlaku dalam kasus ini. Sembari menunggu Pak Wartoyo mengajak saya ngobrol, dengan pandangan mata tak pernah lepas dari pekerjaannya.
Iseng saya bertanya mengenai penghasilan yang beliau dapat dalam satu harinya.
“Sekilo asin.”, demikian jawabannya.
“Maksudnya??”
“Ya saya kan sekarang setelah anak-anak saya mentas –baik menikah atau sudah punya kerjaan tetap, kerjanya santai, mas.. Berangkat sudah mau dhuhur, pulang nanti sebelum ashar..”
“Hubungannya sama sekilo asin tadi bagaimana?”
“Yang penting buat nyambung hidup barang sehari-dua hari. Asal dapet beras sekilo, dan yang bikin asin.. (lauk, pen.) Hahahahaha!!”
Dan jam saya pun kembali normal. Sembari merogoh saku celana mencari uang untuk membayar, saya bertanya berapa tarif reparasi jam saya.
“Tiga ribu saja, mas..”
“Serius tiga ribu?”, ujar saya keheranan.
“Iya, tadi yang buat beli beras, ada. Yang buat nabung bayaran sekolah cucu, ada. Nah ini paling tinggal buat beli kangkung atau tempe. Hahahahaha..”
Pak Wartoyo mengajari saya untuk mencukupkan diri, dan bersyukur. Mungkin beliau tak pernah punya uang lebih untuk sedekah, tapi bukankah tarif jasanya yang sedemikian murah itu juga sebuah sedekah atas ilmu yang ia punya??
Bukankah kadang kita terlalu tinggi dalam mematok tarif untuk diri kita? Ketika seorang pemimpin suatu daerah mengeluh tak cukup penghasilannya utnuk kehidupannya sehari-hari, seharusnya dia tidak lupa bahwa menjadi pemimpin itu bukan mata pencaharian.
Jika semua-mua dilihat sebagai mata pencaharian dalam nilai-nilai ekonomis modern, maka tak ada pengabdian dalam profesionalitas. Semua ada tarifnya. Semua ada harganya (dalam bentuk mata uang).
Silakan saja. Maka guru pun boleh mematok harga, karena konon guru adalah pendidik generasi yang akan mewarisi masa depan. Tapi ingat, jangan sekali-kali meminta jaminan atau klaim jika hasil didikannya gagal dalam mengemban masa depan. Anda kecewa nanti.
Yang jadi polisi. Yang jadi petugas pajak. Yang jadi akademisi. Yang notaris. Yang Wartawan. Yang jadi…
Kembali ke Pak Wartoyo, saya jadi berpikir, lalu para penggundul hutan, atau proyek besar yang menguasai hidup orang banyak, yang dari usahanya menghasilkan harta yang tidak habis sampai tujuh turunan, lalu itung-itungan “sekilo” dan “asin”-nya bagaimana ya?
KETERANGAN: Gambar hanya ilustrasi.
mungkin sekilo asin buat kita sampe bikin hipertensi karena asinnya terlalu banyak.. kalo boleh milih, sekilo asin plus plus.. hehehe.. namanya manusia, dituruti ga pernah cukup. hebatnya manusia bila bisa mencukupkan dan mensyukuri..