Mainan

Kemarin, saat dalam perjalan pulang dari kantor, saya memacu sepeda motor hingga batas kecepatan yang bisa ditanggung oleh sang mesin. Apa pasal? Tidak, saya tidak sedang buru-buru ditunggu istri yang sedang ngambek. Bukan itu. Kebetulan saya kebelet pipis. Ya, banyak hal tolol kita lakukan dengan alasan sepele dan mudah solusinya. Namun kencing di rumah bukankah lebih nyaman? Ayak!

Di tengah perjalanan ketika melewati perempatan sebuah pasar, saya mengerem sepeda motor saya seperti belum pernah mengerem sebelumnya. Jantung saya berdebar kencang karena saat ngebut tadi toh saya masih sempat melamun. Jangan ditiru ya!

Optimus Prime Animated Series, Koleksi Pribadi Bangpay

Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sebuah mikro bus (macam Metromini-lah), yang berhenti mendadak. Banyak kendaraan lain yang nampaknya juga terkejut. Tapi mungkin saya lah yang paling kaget. Mungkin.

Tentu saja, meski tak menimbulkan kecelakaan, kejadian tersebut dibuntuti dengan rentetan bunyi klakson kendaraan yang ada di belakang bus tersebut. Mulai dari mobil sampai sepeda motor tidak. Kecuali saya. Saya, pelan-pelan berusaha menyalip bus tersebut untuk mengetahui penyebab sang supir berhenti agak mendadak itu.

Saya melihat sang kondektur bus, berlari ke arah depan bus dan memungut suatu benda. Benda tersebut adalah mainan anak-anak. Mobil-mobilan, tepatnya. Rupanya ada pengendara sepeda motor yang terdiri dari suami, istri dan seorang balita yang sebelumnya menyalip bus tersbeut dan mainan yang semula dipegang oleh sang balita, terjatuh.

“Apaa??!! Semua kekagetan dan hiruk pikuk ini hanya demi subuah mainan?? Wodefak!!“, batin saya kira-kira begitu.

Namun, on second thought, saya jadi mikir, kira-kira apa pertimbangan sang supir untuk berhenti mendadak dan menyuruh sang kondektur memungut mainan tersebut?

Dari sisi ekonomi. (Tsaah!). Adalah kenyataan bahwa tidak semua orang bisa membeli atau sering-sering membeli mainan buat si anak. Beli motor dan bensin mungkin mau, tapi anggaran untuk beli mainan??

Dari sisi psikologis orang tua, tak semua orang tua sempat dan mau menyempatkan diri untuk membeli mainan buat anak-anak mereka. Apalagi kalau harus sering-sering membeli.

Lalu dari sisi sang anak, mainan adalah bagian dari kehidupan utama mereka. Mainan adalah segalanya. Setara dengan kehadiran orang tua mereka. Bahkan seringkali sebagai pengganti kehadiran bapak atau ibu sang anak ketika mereka tengah sibuk mencari nafkah.

Jika memang benar hal-hal tersebut ada atau semuanya menjadi pertimbangan sang supir untuk menghentikan laju bus-nya, saya percaya sang supir (bisa jadi dalam hal tertentu) adalah orang baik.

Mainan, bagaimanapun bukan monopoli anak-anak belaka. Para dewasa pun sadar atau tidak tetap butuh mainan. Yang berbeda hanya jenis, tujuan, sudut pandang dan tentu saja anggarannya.

Mobil-mobilan replika yang terbuat dari logam akan berbeda jika dilihat dari sudut pandang penggemar yang berbeda pula. Mainan tersebut akan menjadi mainan bagi anak-anak. Buka bungkusnya, mainkan dan tak mengapa jika sampai rusak, minta lagi. Bai dewasa, mainan tersebut kalau bisa jangan dibuka bungkusnya, dipandangi, dicari koleksi lengkapnya, dibersihkan dan berharap suatu saat nanti menjadi benda yang mahal di antara para kolektor.

Lantas, apa mainan sampeyan? Motor? Kamera DSLR? Mobil? Properti? Sepeda Fixie? Soal budget, sssttt!

Salam (gemuruh)!

KETERANGAN GAMBAR: Optimus Prime Animated Series, koleksi pribadi. Kura-kura plastik, koleksi pribadi anak saya. Dipotret 18 Februari 2009 dengan Nikon D60.

3 thoughts on “Mainan

Leave a Reply

Your email address will not be published.