Ramadhan

Tulisan ini adalah percobaan ke lima saya dalam menulis dengan tema ramadhan. Empat kali gagal. Kebanyakan tulisan saya menjadi tak fokus dan ndlewer kemana-mana dan menjadi terlalu panjang. Padahal sejak awal dibuatnya blog ini, sebisa mungkin tulisan-tulisan saya pendek namun mengajak pembacanya ngobrol. Minimal merenung.

Ramadhan menjelang dan hadir lagi. Puluhan ramadhan telah saya alami sepanjang hayat, namun tak satupun di antaranya telah saya jalani dengan sebaik-baiknya.

Di usia saya yang hendak menginjak tiga puluh ini. Saya justru makin tak yakin mampu mengemban amanah bernama Ramadhan. Saya juga makin tak yakin akan banyak hal. Minder dan merasa tak punya kemampuan.

Saya makin merasa bukan sebagai suami bagi istri saya, lebih karena saya merasa tak pernah mampu berperan sebagai suami yang baik. Saya juga merasa tidak bekerja sebagai pelayan masyarakat yang baik, lebih karena saya tahu saya bisa bertindak lebih dari yang selama ini saya lakukan. Belum lagi peran saya sebagai anak, kakak, tetangga, sahabat, kenalan dan lain sebagainya.

Congkaknya saya karena selama ini saya tak pernah memikirkan segala tindakan saya sampai detilnya. Bagaimana pengaruhnya terhadap orang lain, bagaimana aturan mainnya dan bagaimana pandangan agama (saya) mengenai hal itu.

Konon, untuk bisa memperlakukan sesuatu dengan baik, kita harus mengenalnya. Celakanya, saya tidak mengenal Islam sebagai agama saya. Saya tak punya dasar/dalil kala ada ajakan untuk bermaafan sebelum ramadhan dengan ketakutan ramadhan kita ndak akan diterima jika belum bermaaf-maafan sampai saya baca ini.

Lalu apakah saya kenal betul mengenai tarawih? Sejarahnya? Aturannya? Dikerjakan sendiri atau berjamaah? Di awal malam atau akhirnya?

Tak seperti Ramadhan lalu, saya tak akan muluk-muluk berjanji akan menjalankan ramadhan kali ini. Saya hanya berharap agar dibukakan pengetahuan saya mengenai agama saya ini. Agar saya bisa mencintainya, dengan benar (baca: beribadah dengan ilmunya).

Gusti, hapus kecongkakan hamba-Mu ini! Dia bahkan merasa telah hafal bacaan shalat hingga tak mau me-review-nya kembali. Belum lagi hafalan Quran yang tak seberapa itu juga tak pernah diuji kebenarannya. Panjang-pendeknya. Tajwidnya. Artinya. Tafsirnya.

Ramadhan memang bulan penuh berkah, apapun definisi berkah buat kita. Biar saja jika ramadhan dipandang sebagai lahan bisnis semata. Hingga muncullah sinetron ramadhan, kuliner ramadhan, wisata ramadhan, album ramadhan, baju ramadhan, dan segala yang berbungkus ramadhan lainnya. Meski itu terjadi, Ramadhan tak pernah berkurang keagungannya. Dengan seijin-Mu tentu saja, Yaa Allah.

Celakalah hamba jika ramadhan sekedar menjadi sarana pencitraan kepada-Mu. Lebih celaka lagi jika pencitraan itu semata-mata ditujukan kepada sesama manusia. Celaka!!!

Yo opo iki, cak??!!

KETERANGAN GAMBAR: Diambil dari sini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.