Saya makin yakin bahwa menulis dan membaca adalah dua hal yang sebanding dan sebangun. Normalnya, makin banyak membaca, makin banyak pula hal yang bisa ditulis. Belakangan saya memang jarang sekali membaca (baca: tidak pernah). Banyak alasan yang bisa saya bualkan, tapi kemalasanlah alasan sebenar-benarnya.
Saya bukan penulis yang tulisannya nyangkut di surat kabar, atau novelnya terpampang di toko buku. Tulisan saya hanya sebatas sampai pada halaman blog saya. Dan itupun terbengkalai untuk lalu mati.
Blog yang alamnya ada di dunia internet menjadi anak tiri dibanding item-item lain di kehidupan berinternet saya. Adalah jejaring sosial yang menggeser kecanduan saya akan ngeblog. Blog yang pada awalnya menjadi media jejaring sosial juga bagi saya (sebelum ada facebook), telah mengenalkan saya kepada pribadi-pribadi luar biasa di blogosphere.
Pribadi-pribadi tersebut lalu berkenalan dengan media jejaring sosial lain. Juga saya. Seperti blog namun dalam dosis sangat pendek. Hanya seratus empat puluh karakter sekali posting, tapi bisa disebut blog. Namanya twitter.
Jujur, saya agak ketinggalan mengikuti dunia secerewet twitter. Karena dulu saya pikir, apa yang bisa saya lakukan dengan karakter seterbatas itu. Saya salah. Di tengah mandeknya produktivitas saya dalam menulis (blog), twitter menyuntikkan semangat baru untuk menulis.
Oke, saya punya akun facebook, tapi jika terlalu sering cuap-cuap di facebook, itu akan sangat mengganggu teman-teman saya. Hal ini tak berlaku di twitter, rupanya. Semangat saya dalam menulis sempat naik-turun juga di twitter. Ya, saya penjemu. Dan sok sibuk dengan banyak hal lain.
Tapi kemudian saya berpikir, tanpa ngetweet, maka saya pensiun total dari dunia tulis-menulis. Perlahan dan setengah mati, saya terus-menerus memaksa diri saya untuk menulis di akun twitter saya. Tak mudah meski sebenarnya tak ada yang menarik dari tulisan-tulisan saya di twitter . Kebanyakan hanya celetukan sinis dan sok-humoris atas link berita tertentu dari situs lain, celoteh jorok dan (sering) menjurus, serta narsisme.
Kemudian saya berpikir, jika dalam sehari saya bisa menulis 30 sampai 40 tweet, itu artinya saya menulis kira-kira 4.200 sampai dengan 5.600 huruf. Itu cukup untuk menjadi sebuah tulisan untuk blog. Dan tulisan blog itupun nantinya bisa menjadi bahan untuk di-tweet!
Meski nampak seperti win-win-solution, pelaksanaannya ternyata sangat sulit. 4.000 huruf bisa jadi 30 celoteh di twitter dengan tema yang berbeda. Sedang untuk menjadi satu tulisan blog, harus ada tema atau topik yang kuat untuk dibahas.
Dalam dunia saya, twitter menang sedang blog saya lagi-lagi: KALAH!