Belakangan ini ada hajatan dimana-mana. Untungnya saya tidak mendapatkan undangan berhubung saya masih tergolong ‘orang baru’ di lingkungan saya. Yang kebayang jika saya mendapatkan undangan dalam jumlah yang massive adalah amplop, isi amplop, senyum dibikin-bikin, basa-basi dan kolesterol.
Yang namanya bikin hajatan, si empunya hajatan hampir semuanya berpola pikir: “Seumur hidup sekali…”, makanya dalam pelaksanaannya diusahakan agar hajatan tersebut berlangsung semeriah mungkin. Meriah dalam hal ini bisa dijabarkan macam-macam.
Tenda yang besar, indah ornamennya, dekorasi yang tak sembarang serta kalau bisa menutupi jalan. Makanan dan minuman harus mbanyu-mili, tak henti-hentinya mengalir dan seolah tak akan bisa habis. Tamu yang datang bukan sembarang manusia. Semakin banyak pejabat lokal (nasional lebih-lebih) yang hadir, makin mengembang-bangga-lah si empunya hajatan.
Akan halnya hadiah dari para undangan, yang beberapa tahun ini tanpa malu-malu lagi diharapkan agar kalau bisa diberikan dalam bentuk uang, itu tidak masuk dalam matematika balik modal pelaksanaan hajatan. Hajatan memang tidak ditargetkan untuk balik modal apalagi untung. Sebab tujuan hajatan itu lebih condong kepada kebanggaan dan kepuasan batin empunya hajatan dan keluarganya.
Makanya biasanya hajatan akan menghabiskan banyak rupiah. Bahkan seringkali untuk hajatan pernikahan, fokus lebih terarah pada pesta-poranya ketimbang kepada pasangan pengantin barunya. Soal nanti bagaimana si brand new husband and wife itu hidup, itu dipikir nanti. Gusti Allah kan ora sare, katanya. Jadi segala daya dan upaya ditujukan pada pestanya. Makanya banyak pengantin baru yang after the party akan bingung untuk menjalankan rumah tangga barunya. Tak ada modal. Ini saya bicara soal masyarakat secara umum, mungkin tidak berlaku bagi pasangan suami-istri yang bekerja atau kaya raya.
Ya, modal hajatan itu macem-macem. Sokur-sokur punya tabungan. Kalo ndak? Yang punya sawah jual sawah. Yang punya kebo ya jual kebo. Yang punya SK PNS (atau CPNS) ya sementara digadaikan ke bank. Semua itu perlu demi menjadi yang katanya “Raja dan Ratu Sehari”! Penting!
Jadi ketika sebuah hajatan dimodali dengan hutang dan diakhiri dengan kebingungan itu sebuah hal yang lumrah.
Anggaplah SEA GAMES ke 26 di Indonesia kali ini adalah sebuah hajatan. Gede modalnya, konon anggarannya mencapai 3 Trilyun. Nolnya dua belas di belakang. Bahkan konon ngambil 600 Milyar dari anggaran pendidikan itu! Situs resminya saja konon (bisik-bisik tetangga), menghabiskan belasan miliar (sering gangguan pulak!)! Akan halnya sponsor itu ibarat amplopan. Ndak seberapa, tentu saja.
Ning yang penting kan kita bangga. Seneng, apalagi kalo jadi juara umum. Pokoknya bangga. Biar bangkrut sing penting bangga. Biar bingung pokoke bangga. Dan lupa…. Melik nggendong lali!