Sejak kecil saya menonton film action, dan menyukainya. Tentu saja. Kebanyakan film perang dan film mengenai polisi. Satu hal yang menarik perhatian saya sejak kanak-kanak adalah kesamaan karakter tokoh-tokoh jagoannya.
Semua tokoh jagoan di film-film yang saya sukai selalu saja berpangkat rendah (menengah), tidak ada yang berpangkat tinggi, sukses dalam kariernya sebagai polisi atau tentara, kaya raya dan hidup nyaman. Selalu saja mereka berpangkat rendah (menengah), mempunyai keterbatasan finansial dan hidupnya amburadul.
Mulai John Rambo (Rambo Saga), John “Hannibal” Smith (The A Team), John McClane (Die Hard Franchise) bahkan Chan Ka-Kui alias Kevin Chan (Jackie Chan’s Police Story).
Efek dari film di masa kecil memang luar biasa. Disadari atau tidak, film sedikit-banyak membentuk karakter kita yang sekarang. Memang tokoh-tokoh di film itu tidak akan ada yang sama persis di dunia nyata, tapi setidaknya nilai-nilai yang ingin dibagikan lebih merasuk masuk dibandingkan pelajaran PMP, PPKn atau Kewarganegaraan.
Bertahun-tahun saya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyebabkan para jagoan favorit saya itu tidak sukses dalam karier. Belakangan saya tahu, integritas dan intelektualitas tidak selalu seiring dan sejalan dengan karier.
Bahkan untuk secara ekstrimnya, bisa dibilang yang namanya integritas dan profesionalisme itu sebenarnya sangat sulit untuk diukur apalagi diapresiasi. Bekerja untuk yang katanya negara ini, saya menjumpai banyak orang-orang hebat yang membaktikan hidupnya untuk 3 hal. Keluarganya, Negaranya dan Tuhannya.
Mereka kebanyakan terserak di jabatan sepele dengan karier yang itu-itu saja (baca: mentok) dan kalo di lihat dari atas, mereka sama sekali tak nampak perannya.
Hidup tak mungkin hanya dilihat dan dihargai dengan angka-angka statistik, atau dinilai dari seberapa rupiah sumbangsihnya kepada negara, tidak. Integritas, sekali lagi tidak melulu nyerempet soal uang. Banyak ataupun sedikit.
Bahkan dalam beberapa kasus yang saya jumpai, beberapa kenalan saya memiliki keluarga yang berantakan karena jarak terpisah jauh atas nama “tugas negara”.
Ijinkan saya mengutip kalimat di film Die Hard 4:0:
“You know what you get for being a hero? Nothin’. You get shot at. You get a little pat on the back, blah blah, blah, attaboy. You get divorced. Your wife can’t remember your last name. Your kids don’t want to talk to you. You get to eat a lot of meals by yourself. Trust me, kid, nobody wants to be that guy.”
Ya, dunia memang begini adanya. Bisa saja saya mengajarkan anak saya mengenai kejujuran sedang saya tidak jujur di tempat kerja. Bisa jadi anda menanamkan nilai keadilan dan kebenaran ke anak-anak anda, tapi ketika dewasa anda menasehatinya dengan: “Yang penting kamu bawa diri, jangan terlalu mencolok, jangan melawan arus dan sebisa mungkin kamu bisa tetap selamat. Itu yang penting.”.
Sedangkan integritas dan profesionalisme hampir tak ada harganya. Itulah hidup.
Semua berhak untuk menikmati hidup dan hidup layak, makanya saya tetap salut dengan kawan-kawan yang memilih hengkang dari dunia tempat kerja saya dengan alasan apapun. Akan tetapi saya, setidaknya sampai saat ini, menikmati apa yang saya lakukan.
Saya susah untuk bermulut manis hanya demi nama baik dan karier. Tidak, tidak bisa. Bolehlah saya dibilang sebagai tipe pelaku atau pelaksana dan bukannya pemrakarsa dan pemikir. Tidak apa-apa. Yang bisa saya janjikan adalah saya mencoba melakukan semua tugas saya dengan sebaik yang saya bisa.
Atau kisah dokter di pedalaman, tentara di perbatasan, guru di daerah terpencil, mereka semua jelas tidak masuk ke jajaran orang-orang yang dianggap sukses secara finansial dan untuk beberapa anggapan dunia modern, mereka memilih jalur karier yang keliru.
Tapi, bukankah tetap saja orang macam itu diperlukan? Dibayar rendah, karier yang mentok terganjal birokrasi namun dengan semangat membara. Ya, kalo boleh memilih, saya ingin jadi “The Doer” saja, bukan “The Talker”.
Agak telat buat saya kalo baru mulai memikirkan untuk mengejar karier sekarang. Seperti yang kawan seruangan saya katakan: “Yang penting hidup lurus dan tidak malu-maluin anak-istri!”
Jika dilihat dengan kacamata yang lebih besar, bangsa ini lebih membutuhkan “The Doer” bukannya “The Talker”. Dibutuhkan lebih banyak pelaksana kebijakan daripada pembuat kebijakan itu sendiri.
Dilihat dengan sudut pandang agama, toh nanti di akherat tidak dipisahkan seuai jenjang karier. Begitu, katanya.
LIVE THE LIFE TO ITS FULLEST.
Jadi apapun saya nanti, tidak masalah sepanjang landasannya adalah “yang penting tidak memalukan anak dan istri”. Perlu dicatat, hidup sederhana lebih membanggakan daripada hidup mewah dari harta yang tak jelas.
Lakukan yang harus dilakukan, sebaik-baiknya, dan sebisa mungkin tulus. Lalu ketika anda sudah melakukan hal itu lalu orang-orang di atas anda yang memperoleh jabatannya dengan mulut manis mengatakan anda tidak cukup baik, bayangkan saja di kepala anda, sebuah pistol imajiner, arahkan ke kepalanya, lalu: “Yippie Ki Yay, Motherf*cker!!”. Dor!
Menutup tulisan ngawur kali ini, saya akan mengutip film “The Other Guys”:
“Let’s be honest, we all wannabe superstars.. But at the end of the day, the real heroes, the ones who make it happen, are the day-in-day-outers, the mutt-grinders – c’mon, you know who I’m talking about. The other guys.”
KETERANGAN GAMBAR: diambil dari sini.
Ini zaman besar yang dipikul orang kerdil. Dan saya termasuk salah satu kurcaci itu 😀
intinya hidup adalah pilihan kan pak
soal idealisme , konsekuensi blah blah blah
yg penting harus sadar dan bisa menikmati
dan ah ya, ini blog sampeyan yg ketiga yg saya liat, abis nyasar ke blog satunya dansatunya lagi 😀
kenalkan, saya jg penggemar Die Hard !