Hari jumat di Indonesia disebut sebagai hari yang pendek, konon. Meski sama-sama 24 jam dengan hari lainnya, akan tetapi terasa sangat pendek. Menyangkut ‘rasa’ inilah yang menyebabkan 24 jam kala jumat berbeda dengan senin, misalnya. Meski tentu saja ini ndak berlaku bagi mereka yang bermatapencaharian sebagai petani atau yang hidup dengan pekerjaan tanpa ada aturan main lima hari kerja.
Kenapa pendek? Mungkin karena jam kerja terpotong oleh waktu shalat jumat. Itu kalo dilihat dari jumlah riil jam kerja. Kalau buat PNS macam saya, hari jumat makin pendek karena biasanya di waktu pagi dipakai untuk acara olah raga bersama.
Namun ada pengecualian. Beberapa makhluk di kantor saya malah merasa hari jumat itu terasa amat panjang. Mereka adalah yang kebetulan antara rumah dan tempat kerja terpisah jauh sehingga commuter alias dilaju bukan solusi yang tepat. Soal kenapa keluarga mereka tidak ikut pindah menyesuaikan tempat kerja, itu banyak faktor dan tentu saja para pelakunya lebih punya alasan yang masuk akal dan tidak ada urusannya dengan anda-anda yang tidak mengalaminya.
Kembali soal makhluk ulang-alik. Jumat akan sangat panjang karena mereka sudah hampir muntab nunggu-nunggu hari jumat sejak hari senin tiba. Maka detik demi detik menuju jam absen pulang di hari jumat akan terasa sangat panjang dan meresahkan. Dan melelahkan.
Di kantor, kami memanggilnya Mbah Didik, asli Jogja dan tiap akhir minggu harus pulang dengan kendaraan umum, bis antar kota antar propinsi. Setelah 6 jam perjalanan naik bis dia harus melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor yang dia titipkan di tempat parkir inap yang disediakan pengurus terminal.
Satu lagi, namanya Mas Lanting, asli Tegal. Dia memang tidak harus naik kendaraan umum, tapi tiap jumat sore dia memacu sepeda motor kebo miliknya membelah jalur alternatif menuju rumahnya.
Melelahkan? Tentu saja. Tapi nampaknya mereka berdua begitu menikmati perjalanan ulang-alik mingguannya itu. Bertemu dengan keluarga, itu yang membuat mereka sumringah tiap kali mentari pagi nongol membuka hari bernama jumat.
Senin tentu saja menjadi hari paling menyebalkan bagi mereka. Mbah Didik akan nongkrong di terminal Jogja sejak dini hari, menunggu bis pertama menuju ke Kadipaten Ngapak. Mas Lanting mungkin masih lebih beruntung bisa kelon lebih lama, ba’da subuh dia baru mulai nyemplak motor membelah rimba dan bukit.
Banyak kendala dan hambatan selain rasa malas ngantor (baca: berpisah dengan anak bojo). Bisa soal bis yang ndak juga nongol atau nemu bis yang supirnya bak supir keraton dan yang paling sial jika bisnya rusak di jalan atau mendapat musibah. Bisa juga soal tangi kawanen alias bangun kesiangan.
Kalau ada orang-orang yang dinobatkan sebagai pembenci hari senin, mungkin mereka berdua bisa dinominasikan. Konsep “I hate monday” mungkin bener-bener mendarah daging.
“Jumat itu alhmadulillah, Senin itu a’udzubillah!!”
Nah soal telat di hari senin juga kayaknya tidak terlalu merisaukan teman-teman saya ini. Begini, bekerja jauh dari rumah itu berat tapi demi anak istri harus dilakukan. Dan mudik mingguan itu juga perlu dan diperlu-perlukan karena anak dan istri tak hanya butuh saldo rekening gaji. Jadi kalau sampai kena penalti atau gaji disunat sebagai imbas telat absen pagi, sesungguhnya itu kan demi anak dan istri juga.
Kantor memang butuh mereka, tapi percayalah kalo anak bojo mereka jauh lebih membutuhkan mereka. Makanya nuwun sewu jangan terlalu lama kalau pidato soal profesionalisme jam kerja dengan orang macam mereka jika sampean ndak ngalami kayak mereka atau termasuk orang yang lebih suka jauh dari anak bini. Pokoknya jangan…
Saya sendiri sudah ngalami hidup jauh-jauhan dengan keluarga. Bahkan pernah harus sampai tiga dapur terpisah di dua zona waktu yang berbeda. Bini mengerti akan hal itu dan semoga saya bisa menebus utang waktu dengan Bujang, anak saya.
Oh iya, juragan saya yang mbaurekso kantor itu juga manusia ulang alik lho. Dan kayaknya juga senang-senang saja. Ayak!
Kata Einstein, waktu itu relativ 😀