Boyongan

Drama. Apalah asyiknya hidup kalo tanpa drama. Hidup akan lempeng, sunyi senyap dan tentu saja anyep. Ibarat sayur tanpa garam. Tapi ya itu, kebanyakan garam jadi tidak enak, bukan soal bikin darah tinggi atau tidak, namanya kebanyakan garam ya tidak enak, tidak mungkin bisa dinikmati.

Tak bisa tidak, drama tentu saja ada di lingkungan kantor. Termasuk tempat saya ngantor sejak setengah delapan hingga jam lima sore, lima hari kerja dalam seminggu itu. Meski kesannya sangar, kantor saya ini sebenarnya penuh dengan drama. Lakonnya macam-macam. Tergantung pelakunya dan tujuannya mendramatisir sesuatu.

Beberapa waktu belakangan ini, kantor saya agak-agak ribut. Penghuninya sedikit resah dan sedikit bingung. Pasalnya berhembus kabar bahwa mereka harus boyongan. Tidak semuanya memang, tapi sebagian besar. Butuh waktu dan tenaga untuk itu, meskipun bukan pindah gedung.

Menurut burungnya kabar burung, saya direncanakan untuk pindah dari lantai dua ke lantai satu, sederhana memang secara teori. Tapi tidak prakteknya. Berkas-berkas saya yang berhubungan dengan pekerjaan itu terlalu banyak, butuh banyak tenaga dan tempat untuk menyimpannya.

Yang muncul di benak saya dan para pegawai lain adalah kenapa, kemana, kapan dan bagaimana boyongan itu harus dilaksanakan.

Soal kenapa, saya berteori bahwa boyongan dilakukan agar ada perubahan suasana dan jangan-jangan agar sesuai dengan tuntunan aturan baku desain kantor pelayanan masyarakat semacam kantor saya ini.

Secara pastinya saya tidak tahu, karena saya memang tidak dilibatkan dan memang tidak perlu dilibatkan.

Nah, kesalahan memang ada pada saya karena sempat agak panik ketika tiba-tiba ada perintah untuk boyongan. Sebagai birokrat KW 5, seharusnya saya tenang-tenang saja ketika instruksi untuk boyongan itu sebatas lisan, meski dari pejabat yang berwenang. Tapi memang kita mudah panik kan? Dan celakanya sering panik oleh hal-hal yang murni ‘katanya’ dan ‘konon kabarnya’.

Kemana saya harus pindah juga masih tanda tanya. Katanya saya ke lantai bawah, tapi jika dilihat desain ruangan yang katanya disediakan untuk saya, tidak representatif untuk saya dan berkas-berkas saya yang tumpuk-tundung itu.

Soal kapan harus pindah juga belakangan saya sadari baru sekedar wacana dan opini seseorang atau beberapa orang saja. Konon masih akan dirapatkan lagi termasuk bagaimana proses boyongan tersebut dilakukan.

Apakah pas hari kerja, yang berarti bisa seharian penuh proses kerja para pegawai terganggu oleh proses boyongan tersebut. Atau pada hari libur? Dan jikalau dilakukan pada hari libur, dimana tidak semua pegawai bisa hadir untuk itu, apakah nantinya dilakukan dengan bantuan tenaga para OB? Yang harus dipikirkan lagi agar berkas-berkas dan termasuk komputer tidak tertukar, tercecer apalagi sampai rusak.

Akan dirapatkan lagi. Itu sudah jelas. Penghuni kantor kembali tenang untuk sementara.

Hari ini, ketika iseng mampir di kantor. Saya lihat beberapa kubikel sedang dirombak susunannya lagi. Iya, saya menggunakan kata lagi karena sudah dirombak sebelumnya. Kemudian saya juga ditanya oleh salah satu OB, apakah jadi boyongan dan kapan?

Meski sudah diumumkan sebelumnya bahwa boyongan akan dipending, tetapi saya juga ikut bingung ketika menjumpai ruangan yang sedang dirombak tata letaknya.

“Jadi tho, Pak?”, tanya saya ke orang yang bertugas membongkar kubikel.

“Wah ndak tahu, pak.. Pokoknya perintahnya begitu itu… Disuruh rombak ya saya rombak. Bapak harusnya lebih tau dari saya..”

Jawabannya tidak salah memang. Tugasnya hanya membongkar. Bukan dia yang mengambil keputusan. Dia itu ibaratnya sebagai otot bukan otak.

Rupanya boyongan itu bisa jadi sangat rumit di kantor saya. Penuh nuansa dan bersifat politis. Buat yang pecinta kekinian, tentu tidak nyaman kalau harus boyongan. Merasa sudah mapan dan repot kalau harus pindah-pindah. Belum lagi ketakutan akan kesulitan-kesulitan di tempat yang baru nanti. Takut lebih sempit, lebih sumuk, tidak nyaman dan sebagainya.

Makanya makin berumur, saya makin tidak mau berangan-angan jadi presiden. Ha urusan kantor yang jumlah kepalanya lebih sedikit dari jumlah kepala di sebuah negara saja susahnya amit-amit lho! Pindahan ruangan saja sedemikian susahnya, apalagi pindahan ibukota negara.

Saya karena dijanjikan tidak akan boyongan sebelum ada kesepakatan bersama lebih lanjut, memilih untuk tenang dan bekerja seperti biasa. Entah apa yang nyangsang di benak salah seorang rekan kerja yang jumat lalu kesana-kemari bertanya-tanya:

“Kita jadi boyongan ndak ini?? Jadi ndak??”

One thought on “Boyongan

Leave a Reply

Your email address will not be published.