Pengetahuan saya soal madu hanyalah sebatas tahu asal dari madu yaitu dari lebah. Tidak lebih. Saya tidak tahu cara mendapatkannya, tidak tahu jenis-jenis lebah dan tawon sehingga tentu saja tidak tau jenis-jenis madu dan pokoknya pengetahuan saya akan madu itu bisa dibilang nol besar.
Pengetahuan saya tersebut belakangan memang terbantahkan. Madu ternyata tidak hanya berasal dari madu. Atas nama tuntutan ekonomi dan degradasi moral serta slogan “nyari yang haram aja susah apalagi yang halal”, ternyata madu juga berasal dari sari pati gula.
Kira-kira bulan lalu, saya bersama Mbah Didik, Mas Lanting dan Kang Dian Sudian bertemu dengan penjual madu di pinggir jalan di pasar tradisional Kutabanjarnegara, Banjarnegara. Entah karena pasar sudah tidak mampu menampung jumlah pedagang atau memang ada pedagang yang waton bedo memilih berjualan di pinggir jalan veteran itu.
Mas Lanting adalah yang paling antusias dengan dunia madu di antara kami berempat. Dia memang belakangan sering nyari-nyari madu, bukan untuk konsumsi pribadi karena ketika akhir minggu tiba, madu yang dia beli sebelumnya dibawa ke Tegal, tempat dimana anak-bininya dia tinggalkan demi menjalankan tugas sebagai abdi negara.
Penjual madu itu menggelar dagangannya dengan cara sederhana. Madu yang belum disaring dan belum dikemas ditaruh begitu saja di sebuah ember plastik kecil, sebagai pajangan dia juga menaruh beberapa botol yang sudah dia kemas sebelumnya.
Nah, berhubung ada madu yang berasal dari lebah dan ada yang dibuat dari sari gula, prosedur utama dalam pemasaran madu tentu saja berusaha meyakinkan para calon pembeli akan keaslian madunya.
Dengan sigap dan cekatan si mas penjual madu mendemonstrasikan keaslian madunya. Yang perlu diingat adalah kembali ke soal minimnya pengetahuan saya akan madu. Jadi ketika mas penjual madu mencelupkan batang korek api ke cairan madu hingga basah, lalu tetap berhasil menyalakannya, otak saya yang cupet dan goblok langsung menyimpulkannya sebagai salah satu cara untuk menguji keaslian madu.
Otak saya sebenarnya ingin teriak dan melontarkan sejuta pertanyaan, tapi entah kenapa saya diam saja. Saya yang biasanya rajin bertanya ke Mbah Gugel juga saat itu tidak terpikir untuk melakukannya. Pokoknya saya manthuk-manthuk ngerti padahal sejatinya ndak ngerti tapi mencoba mengerti saja.
Selama ini saya memang tidak punya pengetahuan yang cukup mengenai cara membedakan mana madu asli dan mana madu bikinan alias madu palsu. Jadi keyakinan saya tentang keaslian madu itu tergantung dengan dua hal.
Pertama adalah tingkat kepercayaan saya dengan pihak lain. Misalnya, ketika ditawari madu oleh orang yang saya kenal dan saya kira memiliki pengetahuan yang cukup mengenai madu, maka saya akan percaya saja soal keaslian madu itu. Apalagi jika dia menjelaskan keaslian madunya dengan gagah perkasa penuh rasa percaya diri.
Hal kedua yang bisa membuat saya percaya akan asli tidaknya madu ya itu tadi, demonstrasi. Bisa saja saya tidak tahu korelasi apa yang didemonstrasikan dengan keaslian madu, tapi jika kethok meyakinkan dan dilakukan bak seorang profesional, saya cenderung percaya saja.
Saya memilih untuk membeli madu dalam kemasan botol kecil, sedang Kang Dian Sudian dan Mas Lanting memilih botol besar. Enam puluh ribu untuk botol besar dan lima belas ribu untuk yang kecil. Kenapa saya memilih yang kecil? Karena saya bukan konsumen tetap madu, dan istri serta Bujang anak saya tidak pula terbiasa mengkonsumsinya.
Ya akhirnya kami semua tahu bahwa kami ditipu mentah-mentah oleh penjual madunya, karena madu tersebut rasanya aneh dan kami yakin terbuat dari gula. Madu palsu pun konon ada macam-macam. Ada yang mengandung madu asli kemudian dicampur dengan cairan gula, ada pula yang memang seratus persen dibuat dari gula pasir. Dan lagi-lagi saya tidak tahu persis cara pembuatannya.
Mas Lanting kemudian membeli madu lagi seminggu kemudian dengan cara memesan pada teman sekantor. Saya yakin tingkat kepercayaan akan asli tidaknya madu kali ini semata-mata tergantung pada tingkat kepercayaan Mas Lanting dengan orang yang dia pesani untuk beli madu, seperti yang saya sebut di atas.
Ah, seperti halnya saya tak juga mengerti soal perempuan, saya juga tak juga mengerti soal madu. Semanis apapun itu. Palsu atau tidak. Ha ini malah jadi curhat.
Tadi malam, sambil nyeruput madu kemasan rasa jeruk nipis yang tentu saja berlabel madu asli pabrikan, saya mikir. Ada berapa penjual madu seperti yang kami jumpai dulu? Terserak di seluruh nusantara lho. Waktu saya tugas di Jazirah Al Mulk bagian utara, saya bertemu orang medan yang jualan madu yang berdasarkan pengakuannya dibawa dari medan. Opo ora hebat? Jauh-jauh dari medan ke maluku utara jualan minyak urut. Juga ketemu rombongan orang yang datang dari jawa jualan madu di pedalaman halmahera. Belum lagi yang jualan dengan cara konsinyasi di toko-toko atau warung jamu.
Berapa yang beneran jualan madu murni dan asli, berapa yang tidak?
Itu baru madu. Karena belakangan semua bisa diperjualbelikan. Jembatan, aspal, bendungan, gedung sekolah, proyek kemanusiaan, beasiswa dan lain-lainnya. Belum lagi kecap-kecap yang dijual para politisi. Ah..
(mungkin) tuntutan zaman bang 🙁