Sore-sore begini biasanya dimanfaatkan oleh Prabu Pantun, rekan sejawat saya di kantor untuk jalan-jalan keliling pinggiran kota Purbalingga. Cuaca yang cerah namun tidak penat menyengat. Langit mulai nampak memerah merekah menyambut sandikala. Dan ombyaking menungso mengendarai sepeda motor lalu lalang berebut ngebut seperti laron.
Jamnya pulang kantor seperti ini memang jam yang canggung untuk bujang lokal atau bujang geografis macam beliau itu. Mau tidur, ndak ilok. Mau olah raga, males. Mau pulang ke kos, malah ndomblong bin bengong. Mau makan juga masih terlalu cepat untuk itu.
Kerja? Ha beliau sudah utak-atik pekerjaan semenjak pagi lho ya, sore itu wayah-nya mengistirahatkan kepala.
Jadilah jalan-jalan sore mengendarai sepeda motor matic sebagai rutinitas beliau. Biasanya kalau di ruangan masih ada rekan-rekan lain, beliau akan pamitan:
“Aku mau menikmati mentari tenggelam dulu ya…”
Kurang romantis apa coba beliau itu? Lha kalo manusia kayak saya ditanya mau kemana kan paling njawabnya:
“Mbuh.. Mlaku-mlaku wae…“, jelas tidak kreatif apalagi romantis.
Mlaku-mlaku, jalan-jalan bahasa Indonesianya, jelas tidak bermakna denotatif mlaku atau jalan pake kaki. Saya jarang sekali jalan-jalan yang beneran pake kaki. Jalan kaki itu melelahkan bagi saya, apalagi siang-siang. Bikin keringetan dan ujung-ujungnya pegal-pegal.
Saya memang malas dengan kegiatan yang memerlukan penggunaan fisik berlebihan. Semalas itu saya. Lain dengan Mas Lanting yang juga seorang bujang geografis.
Beliau itu jauh di lubuk hatinya itu sebenarnya seorang olahragawan. Olahraga itu suatu hal yang wajib buat beliau. Beliau sangat aktif. Saat tulisan ini dibuat, Mas Lanting sedang lunjak-lunjak main bulu tangkis. Jelas kemringet dan sehat. Selain badminton, sepak bola juga digelutinya.
Meskipun sepak bola di sini itu maksudnya dalam bentuk permainan komputer, tapi kan olahraga tho? Pemalas macam saya apa pernah bal-balan di komputer? Selain badminton dan sepak bola, mungkin agar tubuh Mas Lanting tidak terlalu atletis, dia memilih untuk internetan di kantor hingga jam makan malam tiba atau rasa kantuk mendera. Karena ada pepatah:
“Atletis nggendong lali...”, konon dengan tubuh yang atletis, kita bisa lupa diri lalu terjatuh dalam kesombongan dan narsisme berlebihan. Ayak!
Persis dengan yang dilakukan oleh Mbah Didik, rekan sejawatnya. Beliau yang tenar maniak sepeda motor akan sibuk browsing soal sepeda montor dan uba rampe serta tetek bengeknya. Saking seriusnya dalam hobi motor, beliau belakangan juga menerima orderan pembuatan knalpot yang merupakan salah satu produk unggulan industri rumahan di Kadipaten Ngapak, Purbalingga ini. Hobi jalan, dompet tambah tebal.
Berbagai cara dilakukan demi menunggu rasa kantuk tiba. Namanya juga bujang lokal, atau saya yang lebih suka menyebutnya bujang geografis.
Sandikala, atau senjakala memang waktu nanggung yang mau apa-apa jadi serba salah. Ini tentu saja ndak terjadi bagi mereka yang jadi komuter alias penglaju. Saat-saat sandikala tentunya dihabiskan dalam perjalanan pulang. Apalagi yang berada di mBetawi, jam-jam segitu pasti terjebak di neraka macet.
Dan biasanya ketika terjebak macet atau berada dalam suatu perjalanan, sandikala berlalu begitu saja. Tidak terasa, tiba-tiba pokoknya langsung gelap malam. Fase ini memang sering terlewatkan buat mereka yang terjebak dalam ruangan atau kendaraan.
Beruntung memang orang semacam Prabu Pantun, jiwa lembutnya terakomodir dengan bertugas di Purbalingga. Masih ada sawah dan bisa menikmati surupnya cahaya matahari kala senja.
Setidaknya semoga dengan menyempatkan diri memandangi matahari sambil menghitung hari kepulangan bisa membuat hati tegar.
Buat yang nyanding anak bojo, kegiatan di sandikala a la bujang lokal mungkin aneh tapi belum tentu sampean bisa survive jika ngalamin sendiri. Karena menjadi bujang lokal itu godaannya banyak.
Bagaimana dengan sandikala anda?
Abu kalau bisa pulang cepat memilih olahraga berlari sore keliling kompleks rumah. Selain sehat juga silaturahmi dengan para tetangga. ๐