Ajining diri dumunung aneng lathi, ajining raga ana ing busana. Begitu pepatah jawa bicara soal kehormatan dan kepribadian. Terjemah bebasnya itu “kehormatan diri terletak pada lidah, kehormatan badan ada di busana”.
Agak gumun sebenarnya ketika ‘ajining diri dumunung aneng lathi’ justru diletakkan di awal kalimat, bukan di bagian akhir. Mengingat dalam pergaulan sehari-hari, ketika bertemu dengan orang, terutama yang belum kita kenal, kita cenderung menilai seseorang dari tampilan fisiknya.
Sadar atau tidak kita sudah dibiasakan untuk ‘(to) judge a book by its cover’, dan berhubung hidup mangkin dituntut serba cepat mak plencing dalam segala hal dan di semua lini, kalau sempat kita akan sejenak membaca ringkasan yang terletak di bagian belakang buku. Itu saja yang biasanya kita lakukan untuk sampai pada tahap menilai kualitas sebuah buku. Juga manusia.
Untung saja di punggung kita tidak tertulis ringkasan hidup kita termasuk identitas kita, celaka dua belas kalau itu terjadi, akan sangat gampang orang menilai kita hanya dari sesuatu yang diringkas.
Ringkasan, itu tergantung subyek yang meringkas. Baik sudut pandang maupun pilihan politis di baliknya. Contoh, jika membaca berita berjalan di televisi bertuliskan si anu tertangkap basah mencuri di minimarket, maka kita akan menilai bahwa si anu itu penjahat belaka. Pendapat itu bisa berubah manakala kita mendapat detail dari berita itu, misalnya ternyata si anu itu mencuri susu buat anak bayinya karena tidak punya duit akibat kecopetan dan baru di-PHK dua hari sebelumnya.
Nah, berhubung kemasan itu penting, maka mengemas sesuatu itu jadi rumit dan ribet. Kalau di istilah ilmu marketing itu namanya branding. Kesuksesan kita dalam berinteraksi dengan publik itu itu ada peran branding di dalamnya. Bagaimana cara kita mengemas sesuatu agar sesuai konteks dan bisa diterima oleh pihak lain. Itu yang susah.
Berbusana juga termasuk branding, dimana kita mengemas diri kita menjadi pribadi yang layak tampil di muka khalayak dan sesuai konteks. Bagus atau tidak, mahal atau murah itu tergantung nuansanya.
Makanya jangan heran dalam upaya agar tampil bagus, banyak orang justru malah tampil memalukan karena salah kostum. Bisa karena padu padan warna yang salah, model yang kurang pas atau tidak sesuai dengan konteks lingkungannya. Harap digaris bawahi bahwa ketika saya bicara soal fesyen, maka saya ini sekedar asal ngomyang, asal bicara.
Bahwa mengemas diri sendiri dalam balutan busana yang pas dan elegan saja sedemikian sulit, maka yang namanya menyeragamkan banyak orang adalah tugas yang akan jauh lebih sulit. Dengan mengesampingkan soal budget, membuat seragam itu biasanya harus minimal mempertimbangkan dua hal.
SELERA.
Meski nampaknya sulit, mau tak mau kita harus menjadikan selera sebagai salah satu pertimbangan. Memang tidak mungkin misalnya kita membuat seragam untuk seratus orang dan keseratus orang tersebut akan bilang: “Ya, saya suka bajunya, baik soal warna maupun modelnya!”.
Tapi mungkin yang bisa kita pertimbangkan adalah bagaimana cara agar seratus orang tadi bisa berujar: “Oke deh kalau warna dan modelnya begitu, saya mau pake…”.
Kenapa penting? Ketika busana dijadikan alat untuk mengemas sesuatu maka hendaknya yang dikemas itu nyaman dan pede dengan kemasannya. Tidak risih apalagi minder dengan seragam yang dipakai.
DESAIN.
Agar sesuai dengan konteks dan bsa tepat sasaran, desain (warna, motif dan model baju) jelas harus dijadikan pertimbangan. Apakah mau model klasik masa lalu, atau model masa kini. Ini harus dirembug agar nantinya tidak memunculkan pertanyaan: “Masa gitu?”
Beberapa orang memang dianugerahi kelebihan fisik dimana dengan baju macam apapun dia akan terlihat gagah/ cantik. Tapi kebanyakan dari kita tidak begitu, itu harus kita sadari. Makanya memilih warna, motif dan model baju harus mempertimbangkan keberagaman kondisi fisik para calon pemakainya.
Salah besar jika memaksakan legging sebagai suatu seragam, itu namanya pembunuhan mode ketika ibu-ibu bongsor diijinkan berkeliaran di tempat umum menggunakan legging. Apalagi bapak-bapak!
Tak harus mahal untuk menjadi enak dilihat memang. Justru kita sering melihat suatu yang mahal-mahal malah tak sedap dipandang. Yang penting ya itu tadi harmonisasi pertimbangan-pertimbangan dan kesesuaian dengan konteks.
Tiba-tiba saya kangen dengan motif seragam Korpri jaman dulu, sebelum dirubah menjadi sok masa kini berwarna hijau. Sampean tentu setuju jika saya bilang baju seragam Korpri jaman dulu itu lebih memancarkan aura wibawa sebagai abdi negara dibandingkan dengan yang sekarang.
Mungkin karena itulah tahun ini rencananya baju Korpri akan diganti lagi. Saya sendiri tidak pernah punya baju Korpri, meski berstatus PNS. Tapi melihat bocoran desain baju Korpri yang baru, saya milih untuk suka dengan model yang lama. Sederhana namun berwibawa.
Saya juga kejatahan baju batik seragam kantor, tapi saya malas membahasnya. Eh..
Almarhum bapak saya punya seragam KORPRI dulu, ketika ketika kecil saya melihatnya dengan penuh kebanggaan. Beda dengan yang warna hijau sekarang, kok ya terlalu warna-warni campur aduk. Mengenai seragam kita, kok ya juga saya lebih suka model putih-hitam lama 😀 Jangan-jangan saya tersesat dimasa lalu, halah X_X