Bro

Hidup itu serba sawang sinawang, semua juga tahu. Isinya itu memperhatikan kehidupan orang lain untuk lalu membanding-bandingkan dengan apa yang kita alami secara pribadi. Responnya ada dua, ada yang jadi bersyukur ketika melihat kehidupan orang lain tak seberuntung kita. Lalu ada juga yang malah nyesek benci setengah mampus karena iri melihat kehidupan orang lain yang kalau disawang nampak lebih sukses.

Selain sawang sinawang tadi, hidup itu saya pikir juga soal serba tawar-menawar. Tawar menawar antara kebutuhan dengan kewajiban. Tarik ulur antara keinginan dengan keperluan. Dan tentu saja negosiasi antara impian dengan kenyataan.

Contohnya saya dengan teman sekantor saya, Mbah Didik Van Jogja itu, sama-sama gandrung dengan dunia otomotif, terutama persepedamontoran. Kami ingin punya motor besar, sampai-sampai ngimpi untuk itu. Berharap dengan montor besar, kami jadi makin gagah perkakas dan gagah perkasa.

Tapi apa daya, banyak kebutuhan lain yang lebih penting, mendesak dan primer dari sekedar klangenan montor gede. Jadilah kami jadi pemerhati dunia otomotif sepeda motor.

Bukan prioritas kami lagi untuk aktif gabung di grup, geng atau kelompok biker yang beberapa bulan sekali mengadakan touring ke luar kota misalnya. Komunitas seperti itu memang bagus dan banyak nilai positifnya, tapi sekali lagi, hidup itu tawar menawar.

Di komunitas biker, sering disebut dengan brotherhood alias persaudaraan, dengan tujuan agar relasi antar anggotanya lebih dari sekedar kenalan atau teman, kalau bisa kayak saudara. Dari situlah juga konon muncul panggilan “bro”.

Bro, berasal dari brother yang artinya dulur lanang atau saudara laki-laki ini tak hanya ngetren di Indonesia, di luar negeri juga ngetren. Kalau dulu penggunaan bro itu untuk menunjukkan kedekatan, sekarang justru lebih sering digunakan untuk mencairkan kebekuan suasana.

Coba misalnya sampean punya hal yang ingin disampaikan tapi ragu dan rikuh alias segan, gunakan embel-embel bro saat ngobrol. Pasti lebih luwes dan lancar. Bukan berarti dekat, tapi luwes saja.

Ada juga komunitas dunia maya yang menciptakan euphoria dalam urusan panggilan ke sesamanya. Mereka menggunakan “agan” yang berasal dari “juragan”. Istilah agan ini juga digunakan untuk mencairkan suasana, misalkan saat tidak kenal (baik secara personal atau virtual) dengan lawan bicara, obrolan bisa gayeng dan hangat dengan menggunakan “agan” dalam perbincangannya.

Panggilan “bos” pun meluas, kini ke tukang ojek pun saya bisa memanggil bos. Meskipun saya tak tahu berapa uang yang dipunyainya. Nampaknya ini bukan soal punya uang atau kedudukan, tapi soal keluwesan dalam pembicaraan.

Kita memang suka bingung untuk menentukan penggunaan yang tepat untuk panggilan semacam “pak”, “mas”, “bang”, “om”, “ibu”, “mbak”, “tante” atau sekedar “nona”.

Ada banyak pertimbangan dalam penggunaan panggilan yang saya sebut di atas. Soal gender, soal umur, soal status sosial dan soal keluwesan. Menentukan jenis kelamin memang mudah, meski secara empiris beberapa kali saya pernah keliru. Lain dengan soal umur, wajah bisa menipu sebagaimana kencang-kendornya kulit tidak bisa jadi tolok ukur dalam menaksir umur seseorang.

Apalagi yang namanya status sosial, ketika kita belum tahu betul lawan bicara kita, akan sangat sulit mengklasifikasikan kedudukan sosialnya. Bisa jadi tampil bak gembel namun jutawan. Bisa juga tampil mewah padahal miskin papa. Bukankah banyak dari kita yang tanpa sadar berprinsip: ‘tak apa kalah nasi, asal jangan kalah aksi’?

Kembali ke bro, bisa dibilang penggunaannya merupakan tawar menawar juga. Tawar menawar dalam hal jalan pintas pergaulan di dunia modern sehingga bisa memangkas waktu untuk sekedar kenalan lebih dalam. Juga tarik ulur di bidang kebudayaan.

Belakangan panggilan “bro” dan “sis” (kependekan dari sister) kan sering diimbuhi dengan mas bagi yang cowok, dan mbak bagi yang cewek. Jadilah sebutan “masbro” dan “mbaksis”. Akulturasi budaya kan ya sejatinya tawar menawar juga tho kalo begini?

Di dunia yang menuntut kecepatan dalam segala hal, dimana ‘cepat’ selalu berafiliasi dengan ‘praktis’ dan ‘instan’, maka muncullah gaya hidup yang mengebiri proses-proses. Dalam pergaulan baik sehari-hari maupun bisnis, bisa jadi kita tak lagi meluangkan waktu untuk mengenal lawan bicara kita. Yang penting nyambung dan luwes.

Maka bisa dibilang panggilan bro, sis, atau agan tadi itu semacam katalis dalam pergaulan informal sehari-hari. Perubahan memang datang sepaket dengan perkembangan jaman. Panggilan ‘Bung’ yang dulu ngetren, kini jadi aneh. Bahkan dahulu, Umar Kayam (alm.) pernah ngungun bin heran tatkala panggilan “bung” yang begitu akrab dan membumi, berubah menjadi “P.J.M.” (Panglima Jang Mulia) yang feodal dan over birokrat pada diri Soekarno.

Jarak memang akan selalu ada, bahkan mungkin akan makin melebar. Tinggal pintar-pintarnya kita menjembataninya.

Rekan kantor saya, Mas Cagak Langit, sering lewat di ruangan saya ketika jam pulang kantor dan berujar:

“Turun beroooo…”.

Saya sering cekikikan, dia itu manggil saya “bro” dan ngajak turun lantai untuk pulang atau sedang menginformasikan bahwa dia mengidap wasir?

One thought on “Bro

  1. Dari sisi sejarah, Abu sepakat dengan Umar Kayam. Ada pergeseran yang sangat jauh antara Indonesia 45-50 yang egaliter menjadi semi-feodal ditahun 60-an. Pengaruh terlalu lama berkuasa mungkin bang. Keegaliteran memang selalu dirindukan, oleh karena itu kita selalu mengenang tahun 1945.

Leave a Reply

Your email address will not be published.