Kyai

Suatu siang, ketika memasuki wilayah pusat kota Banjarnegara, Bahri, jongos serba bisa yang kali itu diaulat menjadi chauffeur buat saya dan Mas Lanting, berujar:

“Mas, sekarang kyai-kyai itu banyak yang sugih lho.. Rumahnya besar-besar… Uangnya milyaran!”, sambil terus memegang setir dan menatap jalan di depan dengan muka diserius-seriuskan.

Adapun yang menyebabkan dia ujug-ujug-mak-bedunduk membahas soal itu karena mobil yang kami naiki saat itu tepat berada di belakang sebuah station wagon dengan tulisan tempel “KYAI SABA RATAN”.

Kyai, atau yang juga sering disebut dengan kiai, di masa sekarang identik dengan seorang lelaki tua dan dituakan, yang dianggap mempunyai kelebihan di bidang tertentu terutama agama. Dengan pemahaman seperti itu Kyai sama dengan Teungku di Aceh, Buya di Sumatera Barat dan sekitarnya, Tuan Guru di Lombok dan Nusa Tenggara,  Ajengan di Sunda, Tofanrita di Sulawesi Selatan, dan lainnya.

“Artinya apa itu ya, Mas Paijo?, tanya Bahri.

Jelas Kyai Saba Ratan ini tidak merujuk ke definisi kyai yang saya tulis sebelumnya. Karena awalnya istilah kyai jauh lebih luas yaitu seseorang atau sesuatu yang dianggap linuwih, mempunyai kelebihan pengetahuan atau ilmu di bidang apa saja sehingga bisa dianggap ahli.

Kenapa saya masukkan kata “sesuatu”, karena ternyata kyai tidak melulu dari jenis manusia. Kita familiar dengan penyebutan kyai untuk nama keris dan kerbau. Jadi bisa disimpulkan bahwa Kyai Saba Ratan mendapatkan namanya karena mobil itu merupakan aset penting sehingga dijuluki kyai oleh si empunya.

Sedang saba ratan itu bermakna berkelana di jalanan, maklum kyai yang satu ini kayaknya mobil travel antar kota. Mungkin sang pemberi nama mempunyai maksud agar mobil tersebut ditandai sebagai mobil yang ahli dalam perjalanan darat antar kota. Mungkin.

Panggilan ustadz juga senasib dengan kyai, mengalami penyempitan makna menjadi sebutan bagi mereka yang berkecimpung dalam urusan agama, khususnya islam di Indonesia. Padahal jaman dulu tidak begitu karena ditujukan sebagai penghormatan bagi mereka yang mempunyai kelebihan di bidang tertentu.

Mengutip ucapan Buya HAMKA:

“Kami tidak tahu dari Bahasa apa asalnya kata Kiyai. Tetapi kami dapat memastikan bahwa kata itu menyatakan hormat kepada seseorang. Cuma kepada siapa penghormatan Kiyai itu harus diberikan, itulah yang berbeda-beda menurut kebiasaan satu-satu negeri.”.

Dan panggilan kyai bukan milik orang jawa saja karena dulu di daerah lain di nusantara ini, kyai juga jamak digunakan. Menurut cerita orang-orang tua di Sumatera Barat (Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh), dimana banyak etnis tionghoa, pernah ada julukan Kyai untuk orang Cina yang telah tua dan dihormati. Di sekitar Banjarmasin sebelum masa perang, gelar Kyai adalah pangkat tertinggi bagi Ambtenaar Bumiputera. Setara dengan Demang di tanah Sumatera.

Ada juga yang pernah ndongeng ke saya kalo panggilan kyai itu kental hubungannya dengan budaya tionghoa, karena para kyai itu menyebarkan ilmunya dengan cara berjalan-jalan berpindah-pindah daerah, terus menerus begitu hingga akhir hayatnya. Jalan-jalan konon disebut “kyaa kyaa” oleh orang cina. Makanya muncul sebutan kyai. Mbuh bener mbuh hora!

Lain dulu lain sekarang. Dulu untuk mendapat predikat kyai harus ada pengakuan dari masyarakat banyak, tidak bisa menamai diri sendiri dengan sebutan kyai. Berbeda dengan pemberian gelar ulama, dimana harus dilihat dari kulitas ‘ulumusy syar’iyyah-nya sehingga hanya ulama lain yang boleh memberi gelar ulama kepada orang lain.

Dunia moderen membebaskan penamaan semacam itu. Bisa saja tukang kerajinan kuningan masang embel-embel syekh di depan namanya. Dan julukan ustadz itu murah dan mudah.

Kembali ke soal kekayaan, soal ustadz dan kyai yang bergelimang harta, honor ceramah yang berjuta-juta per lima belas menit, akomodasi yang kelas wahid, mendapat perlakuaan istimewa baik untuk urusan keagamaan maupun lainnya, saya bingung mau komentar apa.

Sepakat dengan ucapan Mas Lanting, masih ada kyai yang begitu membumi dan dicintai rakyat serta tetap menjadi diri sendiri yang sederhana dan bersahaja.

Kyai Slamet dan keturunannya. Eh!

One thought on “Kyai

  1. Memang zaman bergerak kearah yang tak pasti, memberi gelar kepada diri sendiri. Tak usah jauh-jauh, Abu mengelari diri sendiri tengkuputeh. Halah, like this posting. 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.