Beberapa hari belakangan, kantin di kantor saya menyuguhkan jajan jenis baru. Mungkin tidak baru, bisa saja saya yang baru kali ini nyadar ada jajan itu. Terbuat dari tape singkong yang digoreng dengan selimut tepung.
Tape, atau ada yang menyebutnya dengan tapai, adalah makanan hasil fermentasi yang dibuat dari singkong rebus. Rasanya asam bercampur manis. Mirip dengan peuyeum karena proses pembuatannya sama hanya saja tape ini lebih lembek berbeda dengan saudaranya peuyeum yang relatif lebih keras dan padat.
Secara logis dan praktis, kita biasa dan cenderung untuk menyebut makanan itu dengan sebutan tape goreng. Tapi ada nama lain.
Randa Royal, namanya. Randa itu bahasa jawa dari janda. Sedang royal itu generous. Bener-bener pekok saya karena menerjemahkan bahasa asing dengan bahasa asing yang sama.
Entah apa sebabnya sampai-sampai tape diasosiasikan dengan janda. Ada yang bilang itu ada hubungannya dengan guyon lekoh (baca: dirty joke) tentang alternatif pembuatan timun menjadi acar, besi menjadi keris dan singkong kayu menjadi tape. Saru memang.
Selain Randa Royal, ada yang menyebutkannya sebagai randa kemul, karena sang janda dikemuli alias diselimuti dengan bahan dari tepung sebelum digoreng. Sama sejarahnya dengan penamaan tempe dan tahu kemul.
Nah masyarakat yang cenderung seksis ini tak kurang kreatif dalam pemberian nama. Ketika di kubu perempuan ada randa royal dan randa kemul. Ada pula nama makanan yang mewakili kaum lelaki. Namanya kalau ndak salah Duda Keplengkang.
Duda ini keplengkang lantaran dalam pembuatannya singkong dibelah namun tidak sampai terbelah sempurna, disisakan sedikit. Ketika digoreng singkong ini akan keplengkang. panasnya minyak akan membuat singkong yang semi dibelah dua tadi megar mengembang dan membentuk seperti sepasang kaki yang terbuka lebar, ngangkang.
Nama ini mungkin asing untuk daerah Jawa Tengah. Saya saja hanya mendapat cerita dari saudara saya yang dari Jawa Timur. Bisa saja sih kita menyebutnya singkong goreng, namun bukankah ini membuktikan bahwa sesepuh-sesepuh kita sudah mengerti yang namanya branding dalam marketing?
Dan soal pemilihan unsur-unsur yang menjurus dan cenderung lekoh bin vulgar bukankah semacam katalis atau jembatan atau jalan tembus menuju keluwesan belaka agar tidak terlalu kaku dan resmi?
Nah agar tak melulu lekoh dalam kuliner, saya mau cerita soal satu jenis penganan ringan tradisional yang mungkin akan sangat sulit untuk ditemukan saat ini. Terbuat dari kacang hijau yang direbus lalu ditumbuk dan dicampur dengan gula merah dan sedikit tepung. Bahan tersebut lalu dibentuk menjadi bulatan pipih seperti koin tapi jauh lebih lebar, kemudian digoreng kering.
Entah apa yang ada di benak para pencipta makanan ini sehingga makanan yang hasil akhirnya kering, berwarna coklat kehitaman mirip kulit yang menutupi bekas luka itu dinamakan Santri Gudig.
Terakhir saya makan santri gudig itu ketika almarhum salah satu Mbah saya masih hidup belasan tahun lalu. Saya saat itu sampai perlu waktu agak lama untuk diyakinkan bahwa memang namanya santri gudig. Mbah saya rupanya kala itu tak bercanda karena saat saya konfirmasi ke Ibu Kantin di kantor, beliau juga kenal jajanan bernama santri gudig.
Saya tidak dapat memastikan apakan penganan Santri Gudig itu ada korelasinya dengan santri gudig yang merupakan pseudoname dari Pangeran Agiyana yang berasal dari Ampel, Jawa Timur namun makamnya terdapat di Desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga itu.
Yang jelas ketika memakannya, meski enak, mau tak mau saya harus ingat dengan nama jenis penyakit kulit. Bukti kuliner itu tak cuma beragam, tapi bisa juga aneh dan absurd.
panganan yang bikin ngakak … kak…. kak ….
Benar sekali bang, makanan bisa aneh sekaligus absurd, saya jadi teringat di Aceh ada sejenis martabak kacang yang diberi nama APAM KEUBU yang artinya “kelamin Kerbau Betina” 😀
Penamaan randa royal ada hubungannya dengan proses pembuatan singkong kayu menjadi tape? Saru? Baru tau, tapi tetap ga nemu sarunya sebelah mana