Untung Ada Muse!

Puluhan tahun lalu atau lebih tepatnya tiga puluh dua tahun lampau, Queen sukses mengisi suara dengan drum, bass, synthesiser dan tentu saja vokal emasnya Freddie Mercury mengiringi fim ‘Flash Gordon’. Film ini adalah satu dari dua film yang pernah diisi soundtracknya oleh band ini, yang satunya adalah film ‘Highlander’.

Nah, jika ‘Flash Gordon’ dibuatkan sekuel ataupun di-reboot, dan diisi soundtracknya dengan cara yang sama, tak ada band masa kini yang lebih pantas mendapat kehormatan selain Muse, menurut saya. Jika anda mendengar album-album terakhir dari Muse tentu sepakat bahwa musik yang mereka usung itu layaknya fiksi ilmiah itu sendiri.

Oke, Radiohead, di satu sisi, juga fiksi ilmiah, tapi Muse menyuntikkan sesuatu yang berbeda di sana. Ada semangat, ada kemarahan, ada harapan yang entah bagaimana dibungkus dengan begitu banyak energi luar biasa. Matt Bellamy dengan kemampuan gitarnya tak pernah berhenti menyuntikkan adrenalin merasuk ke tubuh para pendengarnya. Itu belum termasuk dengan instrumen musik lain yang sukses diobrak-abriknya dan dimanfaatkan dengan maksimal.

Ketika awalnya saya mendapatkan bocoran album teranyar ‘The 2nd Law’ yang sebenarnya baru mau dirilis tanggal 1 Oktober 2012 besok, saya takut untuk mendengarkannya. Ketakutan saya bukan tanpa alasan, beberapa band yang saya ikuti kemudian seolah-olah berusaha menghancurkan identitas mereka sendiri yang sudah terbangun menjadi kepingan dalam skala debu untuk kemudian tertatih-tatih mencoba membangun kembali identitas mereka dari nol.

Ketika sesuatu dilakukan dengan tertatih-tatih namun dalam koridor bahagia dan semangat yang menandak-nandak, mungkin itulah yang namanya proses penciptaan karya seni. Dan seni itu tidak soal menyenangkan pendengarnya, atau berapa banyak album yang terjual, tapi kepuasan pribadi. Atau dalam hal ini kepuasan para anggota band.

Tengoklah Radiohead. Mereka sibuk mabuk merasuk ke dunia yang baru. Bosan dengan band dengan sound gitar yang dimana-mana ada, Thom Yorke menghancurkannya setelah dengan megah menyanyikan ‘Anyone Can Play Guitar’. Lalu muncul seperti orang mabuk, kurang tidur dan hilang orientasi akibat dibius dan membuat album.

Celakanya album-album yang awalnya seperti bunyi-bunyian tak beraturan, makin didengar malah makin bagus. Di sini seolah-olah Radiohead ingin bilang: “Bersabarlah kalian, wahai idiot! Dengarkan baik-baik apa yang ingin kami sampaikan…”.

Ini seperti yang dialami Led Zeppelin di tahun 1971 ketika merilis album ‘Led Zeppelin IV’ meski tak pernah ada judul yang dicetak di sampulnya. Publik (baca: kritikus musik di media massa) kala itu terburu-buru dalam menulis review. Awalnya abum ini dianggap sebuah usaha berlebihan yang gagal untuk mencoba sukses kembali, belakangan album ini menjadi album yang laris luar biasa.

Jimmy Page, dalam ‘It Might Get Loud’ berujar kepada The Edge dari U2 dan Jack White bahwa ketika baru dirilis, review di koran saat itu hanya dalam satu paragraf. Satu paragraf. Dengan sendu, pendekar gitar gaek ini bilang:

“Mereka tidak mengerti apa yang telah kami lakukan…”.

Nah, saya takut album ‘The 2nd Law’ milik Muse ini mempunyai kromosom yang sama dengan Radiohead dan Led Zeppelin IV. Saya takut kecewa untuk kemudian memukul-mukul kepala saya sendiri menyadari betapa bodohnya saya, bahwa saya keliru.

Dan memang saya keliru.

Tengoklah lagu ‘Madness’, mau tak mau mengingatkan saya pada ‘I Want To Break Free’ milik Queen, apalagi dentuman bassnya seolah mengajak kita memasuki atmosfer dengan gravitasi nol. Raungan gitarnya jelas sangat Brian May, dan ada beberapa kali diselingi sentuhan The Edge.

Vokal Matt Bellamy lagi-lagi berada di rentang nada antara Freddie Mercury dan Bono. Dan itu kombinasi yang brilian. Lagu itu sendiri sukses menjadi dirinya.

Atau coba dengarkan ‘Panic Station’, ada racikan luar biasa di track yang nyaris disko ini. Antara ‘Another One Bite To Dust’ milik Queen, ‘Fame’ dari David Bowie bahkan ada aroma dari The Scissor Sisters.

Kemudian saya terpana dengan ‘Big Freeze’ yang jauh melemparkan saya pada masa-masa U2 sebelum era ‘The Joshua Tree’, atau beberapa waktu setelah ‘Achtung Baby!’ ketika The Edge masih belum terlalu malas menjelajah nada dan Bono belum terlalu banyak menghisap rokok. Dan saya bertemu Larry Mullen Jr. di sana untuk sesaat.

Bagai berlebihan adrenalin, saya terkejut bukan kepalang ketika sampai pada lagu ‘The 2nd Law: Unsustainable’. Diawali dengan suara orkestra bak kejar-kejaran di film James Bond, lalu ditambah suara choir yang pas untuk film ‘The Lord Of The Rings’, disambung dengan suara seorang wanita antara membaca berita maupun memberikan kuliah mengenai termodinamika. Puncaknya mucul suara robotik dan dentuman bas dan synthesiser a la Skrillex.

Iya, ini tak salah lagi adalah dubstep. Menganga dan kepala berputar-putar dibuatnya. Lalu residu yang muncul adalah:

“Jangan-jangan kita terlalu menganggap remeh dubstep!”

Seperti yang pernah Matt Bellamy tulis dalam akun twitter pribadinya, dia menggambarkan album ini sebagai ‘christian gangsta rap jazz odyssey, with some ambient rebellious dubstep and face melting metal flamenco cowboy psychedelia’.

Meski nampaknya dia bercanda, rasa-rasanya dia jujur adanya.

KETERANGAN:

Untung ada Muse, adalah plesetan dari ucapan khas milik Gepeng dari Srimulat.

Gambar 1 diambil dari sini, gambar 2 diambil dari akun twitter pribadi Matt Bellamy.

One thought on “Untung Ada Muse!

  1. Nice review. Yes, saya juga merasakan setiap gejolak di tiap track, persis seperti yang anda rasakan.
    Awalnya sedikit pesimis dan ragu pada saat (akhirnya) memutuskan untuk membeli albumnya.
    But in the end… Kata “keren” kayaknya masih kurang untuk progresi mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published.