Beberapa waktu silam ketika seperti biasa saya asyik ngangkring di warung nasi kucing langganan saya, saya yang saat itu tengah asyik ngobrol dengan sang pemilik warung dengan gelaran tikar, tiba-tiba dikejutkan oleh ucapan salam yang begitu keras dari salah seorang pengunjung warung.
“Assalaamu ‘alaikuuum!!!”
Salam tersebut sebenarnya ditujukan pada sekelompok orang yang duduk persis di tikar sebelah saya duduk, rupanya si pengucap salam biadab tadi adalah teman sekumpulan mahasiswa yang nongkrong yang lebih dulu datang.
Hanya saja volume yang sedemikian keras menyebabkan salam itu bisa terdengar oleh lebih banyak orang, lebih banyak dari yang dimaksudkan oleh si pengucap salam.
Dan saking tiba-tibanya dan kerasnya, salah satu pengunjung yang tengah mengunyah mendoan hangat sampai tersedak dan memuntahkan mendoan yang tengah dinikmatinya.
Sekejap saya berpikir, bagaimana ucapan seagung salam bisa menjadi bencana bagi orang lain. Saya ndak tahu apa niatan sang pengucap, murni salam sesama muslim, penunjuk keakraban, atau murni bercanda dengan kaget sebagai output dan tertawaan sebagai outcome-nya? Entahlah.
Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, itu sebuah doa maknanya itu agar yang diberi salam diberi keselamatan, rahmat dan barokat. Dan yang namanya doa adalah salah satu cara untuk mecapai suatu tujuan. Tanyakan saja sama Mario Teguh, doa saja tidak cukup, maka si pelaku harus berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan sesuai dengan apa yang ia doakan tadi.
Maka, jika saya mengucap salam kepada anda artinya saja berjanji bahwa dengan segala kemampuan saya akan berusaha agar anda itu selamat (terutama dari kedzaliman saya) mendapatkan rahmat (yang bisa diberi oleh melalui saya) dan barokah (atas rahmat yang diberikan Allah tadi).
Mungkin karena itulah mengucap salam hukumnya tidak sampai wajib, karena berat. Dan dalam menjalankan pekerjaan ketika mendatangi suatu rumah, saya sering enggan berucap salam, karena ujung-ujungnya sering menjadi musibah bagi mereka.
Salam memang sering kita anggap remeh, bahkan sudah menjadi sekadar basa-basi komunikasi atau protokol standar dalam pergaulan sehari-hari di Indonesia. Sesuatu ketika menjadi sebuah rutinitas akan rentan kehilangan esensi aslinya. Dia akan hadir sebagai pelengkap belaka. Dan ini bahaya mengingat hampir seluruh ibadah kita itu juga ada terjadual dan bersifat rutin serta kontinyu.
Makanya ayat yang pertama turun kepada Muhammad adalah: “Bacalah!”. Bacalah dengan nama Tuhan yang mencipta. Baca di sini tentu tidak melulu soal mata kita melototin huruf. Membaca di sini menjadi sangat luas konteksnya. Bisa juga membaca mempunyai makna awareness, kepedulian atau semangat untuk mendalami.
Otak manusia itu terbatas, sangat terbatas kemampuannya. Bahkan cara otak manusia dalam mengingat itu sangat rentan dengan kekeliruan. Memang sih kapasitas otak kita sangatlah besar, yang celaka adalah cara mengambil informasinya yang penuh masalah.
Semua yang masuk ke otak akan di simpan. Jadi data yang masuk, baik yang penting ataupun tidak itu sama-sama disimpan. Ketika suatu data menjadi sesuatu yang bisa kita ingat atau hapal adalah karena kita sering melakukan akses terhadap data tersebut. Singkat kata, agar otak kita bisa mengakses suatu data, kita harus rutin mengakses data tersebut. Jadi sesuatu yang kita lupa itu bukan lantaran otak kita tidak menyimpannya sebagai memori, otak kita hanya kesulitan mengaksesnya.
Tiba-tiba imajinasi saya meliar. Tentang saya mulai lupa hakikat salam. Samar-samar saya ingat hukum mengucap salam, atau hukum menjawabnya yang bisa jadi fardlu kifayah maupun ‘ain. Lalu meloncat ke tersedaknya orang di dekat saya tadi, saya ngerti istilah Heimlich Maneuver yang digadang-gadang sebagai prosedur yang tepat untuk menangani orang yang tersedak.
Yang saya ndak tahu adalah bagaimana urut-urutan Heimlich Maneuver tadi. Tubuh manusia memang diciptakan sempurna, tetapi sangat rentan. Buat anda yang mendalami dunia medis, pasti ngerti bahwa tubuh kita sangat rapuh dan rentan. Kita bisa mati tersedak air liur kita sendiri, kita bisa dengan mudahnya tersedak amkanan kesukaan kita. Kenapa? Ini karena saluran pernafasan bersinggungan dengan saluran pencernaan.
Makanya sejak kecil kita diajari bahwa Tuhan ndak melihat ke fisik kita, adapun halnya mandi dan menjaga kebersihan fisik itu hanyalah wujud kepatuhan kita terhadap Tuhan, Sang pecinta kebersihan.
Teringat bacaan saya kemarin, kita harusnya mikir kenapa dalam salam itu rahmat dulu baru barokah. Dan ndak boleh dibalik-balik. Tentu ada maknanya.
Manut sama Emha, rahmat itu segala sesuatu yang dikasih Tuhan secara random. Sedangkan barokah adalah rahmat yang di-manage oleh manusia menjadi kesejahteraan yang tertata.
Ketika mempunyai uang, mau dipakai untuk wisata kuliner, beli buku atau melacur sekalipun uang itu tetap nikmat, menimbulkan kepuasan dan merupakan rahmat. Beda lagi kalau kita bicara soal barokah.
Lalu bagaimana kedudukan pengucapan salam yang justru bisa menjadi musibah seperti tersedak tadi? Ah silakan buat yang penasaran untuk membaca buku Syarah Riyadhush Shalikhin. Ha siapa tahu di antara yang baca sudah pernah kesambet jin muslim sampai akhirnya membeli terjemahnya namun belum pernah dibuka sampulnya sama sekali.
Memang, ada jarak yang teramat panjang yang memisahkan antara ‘membeli buku’ dengan ‘membaca buku’. Lalu ada jarak yang jauh lebih lebar lagi dengan ‘paham isi buku’. Skup yang lebih luas lagi adalah ‘mengamalkan isi buku’, atau ‘ingat isi buku’ atau ‘membaca ulang buku.
Lha ini sejatinya saya cuman mau cerita soal salam lho ya? Ha kok malah kemana-mana. Wis ah, selamat membaca. Dan sayangi teman atau saudara anda yang suka membaca dan bisa mengutip buku-buku yang pernah dia baca. Karena kita harus iri dengan mereka!!
Kok salam biadab sih?
Salaam itu kebaikan. Seperti halnya adzan, dakwah atau apapun yg baik-baik. Tapi sesuatu yg baik juga butuh cara yang baik.
Dalam konteks tulisan ini salaam biadab itu maksudnya salam yang penggunaannya secara biadab. Apa itu biadab? Sesuatu yg dilakukan tidak dengan adab (yg baik).
🙂
Saya tiba-tiba diarahkan ke tulisan ini, dan wow, saya mendapat wacana menarik tentang salam.
Belum pernah saya berpikir ‘segitunya’ tentang salam, yang ternyata selain doa kepada sesama, juga adalah ‘ikrar’ untuk mengejawantahkan rahmat dan berkah dalam bentuk laku.
Wacana menarik mas!
Makanya ada yg bilang, ndak usah muluk-muluk dulu.. Salam saja dulu dibagusin dan diterapin, aman dunia ini…
Ah, saya masih belajaran kok, mas. 🙂
Salam bang 😀