Nilai

Tadi pagi, kantor saya ada perbincangan seru. Acara tukar kawruh kali ini membahas soal nilai-nilai yang menjadi acuan atau pedoman kami dalam bertindak di lingkungan kantor selaku pranata praja negara ini. Yang menyampaikan materi adalah Mr. Prabu Pantun dan Mr. Sunda.

Acara dimulai dengan Mr. Prabu menjelaskan dari asal mula kenapa nilai atau norma itu muncul, bahkan ditarik mundur sampai kisah Nabi Nuh. Opo ora elok? Mbahas nilai-nilai kementerian sampai mbahas Bahtera Nuh. Ini jelas keren sekali.

Acara lalu berlanjut ke sesi tanya jawab atau urun saran, dimana hadirin dipersilakan untuk ngomong apapun yang ada sangkut paut dan po-bengkongnya dengan materi yang dibahas. Acara lumayan anget dan gayeng, karena yang dibahas ini penting, ada korelasinya dengan reward dan punishment, ada hubungannya dengan norma, ada hubungannya dengan kesusilaan, ada hubungannya dengan tepa slira dan lain-lain.

Nilai-nilai di instansi saya itu dibuat dari nilai-nilai yang sejatinya sudah ada di dalam diri kita. Mr. No dan Pak Kumis sepakat, bahwa apa yang diatur ini sebenarnya semenjak kita lahir kita sudah punya piranti lunaknya. Sudah di-instal. Tinggal kita mau atau tidak mengaplikasikannya.

Nah berhubung nilai-nilai tersebut dibuat sebagai aturan baku dan kaku, maka mau tidak mau jadi merembet kemana-mana. Harus jelas reward dan punishment-nya. Ada penegakannya. Ada pengawasannya. Nah ini yang repot.

Manusia itu bukan robot tapi penuh keluwesan meski cenderung untuk seenaknya. Luwes dalam hal ini tentu tergantung apa maunya si manusia. Nah ketika keluwesan manusia dibenturkan dengan kakunya aturan, harus ada pelumas agar tidak timbul friksi berlebihan. Inilah mengapa penegakan aturan sebisa mungkin harus mempunyai unsur keluwesan sebagaimana manusia yang menjadi obyek aturan tersebut.

Nilai-nilai ini erat hubungannya dengan etika. Nah etika ini erat kaitannya dengan personal, lain kepala lain standarnya. Ibaratnya bulu ketek memang boleh sama keritingnya, tapi bau jelas bisa berbeda.

Yang ingin dicapai dari legalisasi penerapan nilai-nilai ini adalah guna menciptakan suatu lingkungan kerja yang ideal. Nilai-nilai yang awalnya bersifat personal dan universal secara bersamaan, tiba-tiba dijadikan sebuah produk hukum untuk banyak orang.

Bicara soal hukum mau tidak mau jadi berbicara soal keadilan, toh keadilan itu sendiri adalah termasuk hal-hal yang ingin dicapai oleh institusi saya alias hal yang ideal itu sendiri.

Seperti halnya hukum memakan nasi goreng (dalam agama saya) itu bisa wajib kalau saya sedang kelaparan yang bisa mengancam keselamatan saya, bisa sunah jika tujuan saya makan itu demi menyenangkan si pemberi meskipun sebenarnya saya ndak lapar-lapar amat, bisa makruh kalau saya makannya di depan orang-orang yang sedang berpuasa, bisa haram kalo nasi gorengnya itu didapat dari nyolong atau kecampuran daging babi, dan bisa juga mubah alias halal.

Luwes. Keluwesan ini penting. Karena banyak hal yang memerlukan perlakuan berbeda-beda tergantung situasi dan kondisinya.

Termasuk penerapan nilai-nilai di kantor saya, apa iya harus kaku? Apa iya para petinggi kita mau kita menjadi robot tanpa tenggang rasa sama sekali?

Seperti yang pernah saya tulis, keadilan dan hukum itu dua hal yang berbeda. Hukum adalah salah satu perangkat dalam penegakan keadilan. Salah satu itu artinya ada cara lain. Menegakkan hukum lain dengan menegakkan keadilan.

Jika ada hakim menyidang pelaku pencuri dua buah pisang goreng karena kelaparan, hakim itu sedang dalam proses menegakkan hukum. Tapi ketika dia membebaskan si pencuri dengan alasan kemanusiaan, dia lebih ke soal menegakkan keadilan. Dan sisi-sisi humanisme ini kan juga diberi ruang dalam penegakan hukum. Jelas sifatnya subyektif.

Hukum, norma, nilai atau apapun itu sering kita anggap sebagai tujuan akhir, padahal itu hanya alat atau sarana. Lha kenapa kok kita ribut soal alat dan sarana?

Nilai itu ghoyyah atau wasilah? Tujuan atau sarana? Bukankah yang kita incar itu bukan pelaksanaan nilai-nilai tetapi agar kita menjadi pribadi yang baik (dalam organisasi kata baik itu bisa diterjemahkan dengan profesional).

Shalat itu ghoyyah atau wasilah? Sebagaimana jilbab itu ghoyyah atau wasilah? Bukan hal yang asing lagi kalo kita (baca: saya) lebih sering meributkan sarana daripada tujuannya itu sendiri. Atau dengan kata lain, kita (lagi-lagi baca: saya) sering meng-ghoyyah-kan wasilah dan mem-wasilah-kan ghoyyah. Kebolak-balik namanya.

Contoh nyatanya ya seperti:

“Saya ini pingin nulis, ning kebetulan jaringan internet lagi modar, makanya ndak bisa ngakses ke blog! Makanya saya ndak nulis.”

Saya memutarbalikkan yang mana tujuan dan yang mana yang cara. Blog memang butuh jaringan internet, tapi menulis itu tak melulu harus online dan tak harus masuk blog.

Dengan peliknya masalah dan terbatasnya waktu, yang sebagai generasi 90/2000-an kenal dengan lirik “so little time so much to do..” milik band Arkarna, membuat saya sering mikir, bisa ndak masalah-masalah dan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab saya itu saya urusi secara nyicil? Satu per satu. Misalnya saya hari ini khusus makan saja, besok baru Insya Allah minum saja dan lusa saya fokus ke boker. Bisa ndak?

Demikian juga dengan masalah negara, misalnya boleh ndak pemerintah hanya fokus mbangun jalan raya dan melupakan jembatan. Boleh? Endak? Demikian juga penerapan nilai-nilai yang saya bahas ini, harus kaffah atau menyeluruh. Ndak mipil alias nyicil.

Nilai-nilai tadi jelas bukan kesepakatan bersama, walaupun kita semua menandatangani surat pernyataan kesanggupan menjalankan nilai-nilai yang ditetapkan. Ini kan namanya peraturan yang bersifat top-down. Dari atas ke bawah. Jadi bakal bingung kalau ditanyakan apakah saya setuju menjalankan nilai-nilai ini atau tidak.

Setuju atau tidak kan aturan ini tetap berlaku dan mengikat saya juga sebagai anggota organisasi institusi saya. Lagian, saya ndak pernah suka dengan pertanyaan yang jawabannya hanya dua opsi. Semisal iya atau tidak, setuju atau tidak, karena hidup itu berwarna-warni kayak pelangi. Bukan hitam dan putih. Pertanyaan yang memaksa sang penjawab hanya dengan dua opsi itu tidak fair.

Mau bukti? Buat anda yang berorientasi seksual normal, coba jawab pertanyaan di bawah ini dengan jawaban ‘tahu’ atau ‘tidak tahu’!

“Apakah kedua orang tuamu tahu bahwa sesungguhnya kamu itu penyuka sesama jenis?”

Hidup konon mencari jawaban yang tepat. Jika kita sudah mencari jawaban demi jawaban tapi tak juga menemukan ketenangan batin, jangan-jangan itu karena kita menanyakan hal yang salah.

Entahlah.

6 thoughts on “Nilai

  1. lentur. luwes dalam penerapan. seperti matt bellamy dkk yang lentur tur luwes dalam bermusik, selalu mencoba memasukkan elemen baru dalam musik mereka tanpa kehilangan jati diri.

  2. saya suka kata “menanyakan hal yang salah ” ya pasti ngga bakalan ketemu bro, ditempat kerja kita kali ada ya . . yg demikian ? …..

  3. Berilmu yang paling enak ya dengan guru, metode paling asyik adalah dialog, dasar keputusan baik ya dengan berpikir. Oleh karena itu mengapa perintah searah kerap menjengkelkan kita…

Leave a Reply

Your email address will not be published.