Suatu waktu saya berpikir, tiap hari dengan jarak yang sama, saya melakukan perjalanan ulang-alik antara rumah dan kantor. Rutin dan teratur. Begitu terus setiap hari. Sampean tahu apa yang menyelip di balik sesuatu yang rutin? Kurangnya penghayatan. Perjalanan, bisa terasa lebih panjang atau lebih pendek meskipun jika diukur jaraknya dalam satuan metrik akan sama saja. Nah jarak inilah yang ingin saya bicarakan dengan sampean.
Konon (Mr. No, bos saya lebih suka memakai ‘kata orang bijak’), hidup ini intinya soal memanjangkan dan memendekkan jarak yang kita hadapi. Jika sesuatu yang dianggap lebih banyak mudharat-nya, kita akan mencari cara agar kita makin berjarak dengannya. Sebaliknya, untuk urusan kemaslahatan kita akan mencoba untuk mengurangi jarak kita.
Ya, hidup itu seperti permainan layang-layang. Ditarik dan diulur bilamana perlu.
Rumitnya, jarak fisik dan yang non-fisik itu bisa bertolak belakang tapi bisa juga berbanding lurus. Ndak percaya? Ada lho pasangan suami istri yang lebih sumringah kala saling berjauhan. Tapi ada juga yang justru dengan jarak yang jauh, membuat hubungan menjadi renggang. Nah, yang ideal adalah jarak fisik tidak berpengaruh pada jarak batin. Yang terakhir ini tentu menjadi impian banyak orang.
Jarak juga bisa soal anda berada satu atap dengan para pramubakti di kantor tapi tidak mengenal atau bahkan tidak mengetahui namanya. Bisa jadi anda sering meminta tolong, tapi kenal nama pun tidak. Ada jarak di sana.
Saya ini sebisa mungkin menganggap serius setiap ucapan yang masuk ke telinga saya. Karena memang itu yang diajarkan sejak kecil. Bahkan dalam kitab suci (agama saya), penyebutan fungsi sami’ (mendengar), lebih banyak dari bashir (melihat). Makanya saya sering meminjamkan telinga saya untuk mendengarkan banyak hal.
Beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk mendengarkan beberapa kawan yang menjadi pramubakti di kantor untuk berkeluh kesah. Rupanya, jarak yang selama ini ada membuat orang-orang macam mereka merasa kurang dimanusiakan. Ada cerita soal salah satu dari mereka berhenti untuk sekedar melempar senyum kepada para pegawai lain karena selama ini senyum mereka jangankan dibalas, dilihat pun tidak. Yang ada malah buang muka.
Senyuman dipilih karena kalau menyapa mereka takut dianggap kedawan jangkah alias sembrono dan tidak tahu batas. Akan halnya lalu senyuman mereka tidak disambut baik, membuat mereka berpikir apa yang salah dengan mereka?
Saya bilang, mungkin yang disenyumi itu ndak liat atau malah grogi disenyumi, makanya buang muka. Untuk berbaik sangka, saya bilang tidak mungkin para pegawai itu alergi senyum atau sengaja menjaga jarak atau bahkan menambah jarak.
Senyum, salam dan sapaan adalah cara dalam mengurangi jarak. Ini pernah diceritakan oleh Pak Kumis yang kebetulan menjadi pemimpin pasukan di garda depan kantor kami. Dengan sedikitnya jarak, kita akan mampu melihat, mendengar dan memahami orang lain. Jangka panjangnya, kita akan mampu saling membantu dan bekerja sama.
Dalam jarak, ada salah sangka, ada praduga dan syak wasangka. Dalam jarak bisa muncul salah duga, salah arti atau misintepretasi. Sampean tahu gosip? Gosip itu karena kita membuat jarak yang cukup jauh antara bibir kita dengan mereka yang kita bicarakan. Begitu juga dengan fitnah, berita bohong atau kabar burung.
Makanya jika misalnya anda tengah asyik ngomongin orang lain tiba-tiba yang diomongin itu datang mendekat, maka anda akan panik. Karena jaraknya berkurang dan peluang bagi kebenaran untuk terungkap akan membesar. Celaka bagi anda jika anda sebelumnya membicarakan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan alias kebohongan. Anda akan bersikap panik lalu mencoba ngobrol sebiasa mungkin dan bila perlu menghampiri orang yang sebelumnya anda bicarakan untuk menguji apakah dia sadar sedang diperbincangkan atau tidak.
Ada jarak antara niat dan perbuatan. Ucapan dan tindakan. Rencana dan realisasi. Teori dan praktek. Mengenai hal ini, kualitas seseorang bisa dilihat dari usahanya untuk memperpendek jarak-jarak yang ada. Bahkan untuk beberapa kasus, ucapan seseorang pun bisa berjarak dengan ucapannya sendiri.
Misalnya seseorang bilang A ke si anu tapi bicara B kepada yang lain. Atau misalnya lagi seseorang bicara A hari ini tapi bicara B keesokan harinya. Dan bisa juga seseorang bicara A di lantai satu tapi bicara B di lantai dua. Bedanya terletak pada obyek lawan bicara, waktu dan tempat.
Celakalah saya dan anda jika mempunyai jarak sedemikian banyak, dan bukannya berusaha memendekkannya malah seolah sengaja makin menambahinya.
Jarak juga memisahkan telinga, otak dan hati. Baik secara fisik maupun fungsi. Bisa saja saya mendengar tapi tidak mendengarkan, apalagi memahami dan meresapi. Untuk urusan satu ini, istri sayalah yang paling mengerti bebalnya saya. Istri saya, sebagai orang yang seharusnya paling tidak berjarak dengan saya, adalah orang yang yang paling sering saya bikin jengkel, karena saya sering gagal mendengarkan dan memahaminya.
Kehidupan di dunia dibentangkan dengan jarak yang jelas, dari proses kelahiran hingga proses kematian. Dan tugas kita adalah untuk memaknainya. Jika dalam ruang lingkup yang kecil misalnya ngantor kita hanya waton hadir dari pagi untuk menunggu senja, menjalani senin sembari menanti jumat, semoga kita tidak termasuk golongan yang menyia-nyiakan jarak yang dibentangkan dalam kehidupan kita sejak lahir hingga mati.
Mau tidak mau, jarak harus kita urusi dengan serius. Karena selalu ada yang “yuwaswisu fii shuduurinnaas”, ada yang selalu membisiki di dalam hati setiap manusia, dan itu setan. Siapa itu setan? Mereka adalah dari golongan jin dan manusia.
Oh iya, selamat hari raya Idul Qurban! Dan bicara soal qurban, asal katanya itu dari qorroba-yuqorribu-qurbanan, artinya mendekat atau kedekatan. Jadi jika anda menyembelih hewan qurban itu sejatinya anda sedang berusaha memperkecil jarak anda dengan Sang Pencipta.
Jalan seorang ksatria (sering) dalam kesunyian, kadang menimbulkan prasangka. Jarak kadang perlu. Kata-kata Ieyasu Tokugawa yang saya ingat, menghadapi dunia yang kacau, jangan terlalu dekat, jangan terlalu jauh.