Semenjak ditinggal mudik anak dan istri saya ke Gorontalo, saya sering menghabiskan senja saya untuk tetap berada di kantor, kecuali kalau memang ada urusan yang lebih penting. Seringnya sih ditemani Mbah Didik dan Mas Lanting. Namun ada beberapa kali kesempatan saya berada di kantor malam-malam tanpa kehadiran mereka.
Nah beberapa hari jumat yang lalu saya mendekam diri di kantor, tidak segera pulang. Mbah Didik dan Mas Lanting tentunya sudah bergegas pulang, ke Jogja dan ke Slawi. Karena hari jumat dan kebanyakan orang di kantor saya itu jama’ah TGIF alias Jama’ah “Alhamdulillah Anna Yaumil Jum’ah”, maka tak butuh waktu lama bagi kantor saya untuk menjadi sepi mamring.
Senja merayap perlahan, maghrib menyerang. Kantor begitu sunyi, tapi saya tak peduli. Karena akhir minggu buat saya yang bujang geografis ini sungguh sangat menyiksa, dua hari yang canggung buat saya. Berhubung masih ada yang bisa dikerjain maka saya memilih untuk bertahan di kantor.
Suasana hening hingga adzan Isya’ datang, karena tiba-tiba dari arah kiri saya ada yang berteriak dengan maksud membuat kaget saya. Saya ini susah kaget apalagi ketika indera saya sedang fokus. Makanya meski suara itu tiba-tiba dan kencang, saya sama sekali tidak kaget.
“Mas kok tidak kaget atau takut?”, tanya si pemilik suara, Rupanya Pak Tora, satpam kantor.
“Wah saya lagi khusyuk nonton bokep je!“, jawab saya asal, tetap dengan pandangan penuh konsentrasi ke file microsoft excel saya.
Sebenarnya saya menyadari kehadiran seseorang yang mengendap-endap mendekat ke kubikel saya. Pak Tora sampai harus jalan jongkok agar tidak keliatan oleh saya. Tapi seperti biasa saya malas menjelaskan detil akan segala sesuatu, dan jawaban yang berbau porno itu lebih mencairkan suasana dan mencerminkan keakraban. Saya lebih memilih begitu.
“Ah, tenane!!! Hahahahaha…”, ujar Pak Tora dengan logat dan tertawanya yang sangat khas.
Pak Tora lalu bercerita bahwa dia ke lantai dua, tempat saya ndekem, untuk menyalakan lampu ruang rapat. Konon hal itu rutin beliau lakukan dengan tujuan menyenangkan para penunggunya. ‘Penunggu’, tepatnya.
Terserah sampean mau menyebutnya apa, penghuni, penunggu atau ‘sing mbahureksa’, tapi sampean tahu tho maksud saya dan Pak Tora apa? Pak Tora lalu bercerita tentang spot-spot utama tempat nongkrongnya para hantu yang kebetulan ditugaskan di kantor saya. Ceritanya runut dan detil dengan wajah yang super-serius tanpa maksud bercanda seperti yang biasa beliau lakukan.
Selain soal lokasi, beliau juga bercerita mengenai waktu-waktu kemunculan mereka. Ada dua waktu yang utama, kata beliau. Yaitu masa-masa ba’da maghrib dan selepas tengah malam.
“Bener kan, mas? Kayane panjenengan juga ngerti hal-hal begituan!”, ucap Pak Tora serius menuduh saya.
Bukan kali ini saja saya mendapat cap sebagai orang yang punya daya linuwih soal-soal gaib dan mistis. Dulu waktu masih berada di Jazirah Al Mulk alias Maluku saya juga sering dianggap pemberani karena berani blusukan ke tempat-tempat yang dianggap menakutkan. Padahal, jujur saja, saya itu blusukan tanpa tahu apa-apa. Ya asal blusukan saja. Bukan soal gegaman yang saya punyai sehingga berani nyamperin lokasi keramat, tapi murni ndak tahu apa-apa. Dan sering ndak peduli.
Akhirnya saya terpancing diskusi klenik dengan Pak Tora. Saya bercerita mengenai apa yang pernah saya alami selama ngantor di kantor ini. Soal ruang rapat dan rendezvous saya dengan salah satu penghuninya. Soal para penunggu tempat pembakaran sampah yang juga pernah menjahili Mas Bahri yang membersihkan tanah lapang di belakang kantor tanpa ijin sehingga dibuat kram dan demam tinggi.
“Tapi ndak ngganggu tho, mas?”, tanya Pak Tora.
“Ndak, baik kok, senyum doank kalo sama saya..”, jawab saya sekenanya.
Minggu lalu, saya juga dicritani salah satu petugas cleaning service di kantor. Mas Uuk, namanya. Saat itu ba’da maghrib dan Mas Uuk tengah lembur, dan saya seperti biasa nunggu malam tiba. Kami berada di lantai satu, tiba-tiba dari arah lantai dua bagian belakang terdengar suara pintu dibuka dan tutup.
“Krieeeetttttt… Brak!”, suara itu muncul berulang-ulang.
Mas Uuk lalu bercerita bahwa dia sering mendengar suara tersebut pada jam-jam yang sama seperti yang kami alami. Dia bingung dan penasaran, tapi enggan untuk mencari tahu. Curiousity kills cat, katanya.
“Wah ndak ada apa-apa kok, mas.. Sering begitu.. Kan suara itu berasal persis dari belakang kubikel tempat saya kerja. Udah bolak-balik saya samperin. Ndak ada apa-apa kok!”, jawab saya serius.
Mas Uuk lalu bercerita soal seringnya penampakan seperti ada orang yang lewat di depan ruang IT di kantor saya. Awalnya para pegawai mengira itu pegawai lain yang lewat, tapi lama-kelamaan mereka sadar, dan menganggap bahwa yang lewat itu bukan manusia.
Seorang kenalan saya yang antusias dengan dunia mistis berkeyakinan bahwa segala seuatu yang berasal dari dimensi lain untuk mencoba menunjukkan eksistensinya pada makhluk dimensi lainnya, itu butuh energi luar biasa. Analoginya adalah seperti halnya bagaimana air yang cair bisa menjadi se-solid es atau menjadi tak kasat mata seperti uap. Nah energi yang dibutuhkan konon sangat besar bagi makhluk dunia lain itu untuk sekadar membunyikan pintu, misalnya. Apalagi menampakkan wujud.
Ngaton atau waton nyuoro, penampakan ini tentu ada maksudnya. Entah apa. Saya tidak tahu pasti. Yang jelas usaha sedemikian keras tentu tak mungkin sekadar untuk iseng. Hanya saja saya ini ndak tanggap ing sasmita dan merasa ndak punya urusan dengan mereka.
Jangankan dengan para hantu, dengan sampean-sampean saja saya sering kurang perhatian dan tidak peduli. Ha mosok saya kudu lebih perhatian ke mereka? Trembelane!!!
Hiiii serem hehehe 😀
Bagus blognya sob, simpel tapi bermanfaat 🙂
Postingannya juga keren-keren.
Terus berkarya ya, berbagi itu Indah 🙂
Ditunggu postingan selanjutnya 🙂
Oiya ditunggu juga kunjungan baliknya ya sob
Jangan lupa tinggalin jejak di postingan saya ya. 🙂
Saya meyakini ada yang gaib di dunia ini, seperti manusia pinggiran yang dihalau, hewan liar yang diusir, maka makhluk gaib juga tersingkirkan.