Rasa

Saya itu orang yang tidak lucu, tidak lahir dengan bakat untuk melucu. Sehingga harus belajar dan berusaha keras untuk sekadar melucu. Makin berat ketika tersadar bahwa kadar kelucuan itu berbeda-beda bagi masing-masing orang. Apa yang menurut saya lucu, bisa jadi tidak bagi yang lain. Begitu pula sebaliknya.

Siapakah yang dapat menjelaskan dengan memuaskan apa yang menyebabkan kita tersenyum atau tertawa? Gerak bibir yang menyunggingkan senyum atau gerak otot yang menggerakkan bibir, bahkan juga mulut dan rahang kita yang membentuk tawa: apakah itu semua suatu fenomena fisik atau lebih daripada itu?

Paragraf di atas adalah kutipan dari salah satu tokoh favorit saya, Umar Kayam (Kita & Humor, Kompas, Mei 1996), yang jika anda juga pengagum beliau maka tentu anda mengetahui bahwa saya dan gaya tulisan saya itu sebuah usaha meniru beliau, meski mendekatipun tidak.

Konon kelucuan itu sesuatu yang tidak lazim dan sesuatu yang tidak diduga-duga. Meski ini tidak otomatis berarti lucu ketika ada kereta api yang terguling dari relnya. Tapi gulingnya kereta api bisa lucu, untuk beberapa orang yang menganggapnya lucu.

Intelektualitas juga berperan dalam menangkap kelucuan, karena bisa jadi humor yang membutuhkan wawasan dan pengetahuan menjadi tidak bisa dinikmati oleh orang yang tidak tepat. Ujung-ujungnya ini soal rasa. Meskipun humor rumit dan butuh IQ tinggi dipahami, tapi jika ‘rasa’ tidak menganggapnya sebagai sebuah hal yang lucu ya jadi tidak lucu juga.

Rasa adalah cerminan dari diri kita secara keseluruhan. Pilihan baju kita, cara kita bertutur kata dan bertingkah laku, senyum salam dan sapa saat berjumpa dengan orang lain, serta kelucuan tadi. Meski sifatnya ini subyektif, kita tak juga bisa terus-menerus memaksakan ‘rasa’ kita agar diterima dan dimaklumi oleh orang lain.

Kita tak bisa lantas memaksakan agar orang yang mencoba melucu di depan kita untuk melulu mengikuti selera lelucon kita. Makanya kadang kita tertawa meski hal itu menurut kita tidaklah terlalu lucu. Ini soal kesopanan dan penghargaan kepada orang lain. Memanusiakan manusia yang lain.

Makanya senyum dan juga tertawa itu kontekstual. Bisa memang karena lucu, atau hanya menggugurkan kewajiban sosial untuk itu. Bayangkan, untuk tertawa saja kita harus punya sikap toleran.

Pernah saya sama sekali tidak tertawa ketika Pak Kumis sedang melucu di sebuat forum kantor, dan Pak Kumis sampai memprotes saya karena itu. Jujur saja, saya sama sekali tidak sampai memikirkan sejauh yang saya tulis di atas tadi. Pak Kumis dan leluconnya bukan tidak lucu. Atau tidak memenuhi standar untuk menjadi lucu dalam sudut pandang saya. Akan tetapi saat itu saya sama sekali tidak berada dalam kondisi siap untuk menerima apapun yang disampaikan, saya memang tidak mencerna humor yang dilemparkan.

Kenapa? Karena saya sedang banyak pikiran saat itu. Jangankan untuk mencerna hidangan guyon dari Pak Kumis, mengunyahnya pun saya tidak sempat. Jasad wadag saya memang persis di depan Pak Kumis, tapi pikiran saya sibuk di dimensi yang lain.

Nah, sekarang kalo bahasan saya soal ‘lucu’ tadi kita terapkan untuk ‘bijak’ atau ‘pandai’. Kan ya sama saja. Misalnya sesuatu yang menurut sampean itu bijak, bisa jadi keliru menurut saya. Bisa jadi sesuatu yang menurut saya adalah sebuah hasil intelijensia tapi hanya omong kosong untuk anda. Ada ‘rasa’ lagi di sana.

Lantas tenggang rasa itu menjadi penting, juga empati. Meski tentu saja perlu diawasi kadar dan dosisnya.

Jika saya kambing, dan masuk ke sekumpulan kucing, saya tidak harus dan tidak boleh dipaksa untuk menjadi kucing hanya untuk diterima para kucing. Akan tetapi saya juga ndak lantas memaksakan kekambingan saya kepada para kucing. Saya harus sedikit ngucing, tapi ndak boleh lupa diri bahwa saya itu sejatinya kambing. Dalam berbicara dengan kucing, mentang-mentang saya agak ngucing, saya juga ndak boleh lalu mengkambing-kambingkan para kucing, seolah-olah saya sendirilah yang kucing.

Lalu apa yang terjadi jika rasa itu tumpul? Kita bisa menjadi orang yang bebal alias tidak peka, tapi juga bisa menjadi orang yang terlalu sensitif. Ada yang meski disindir-sindir tapi tak merasa bahkan ikut tertawa ketika sindiran itu terbungkus balutan humor. Ada pula yang terlalu insecure, tidak nyaman akan segala sesuatu.

Terlalu sensitif itu bisa disebabkan oleh perasaan bersalah atas sesuatu yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Biasanya tak cukup untuk over-sensitif dengan cara defensif yang berlebihan, kita kadang ofensif. Bayangkan, membela diri dengan cara menyerang pihak lain, padahal belum tentu dia sedang dalam kondisi di bawah serangan.

Rasa yang tumpul juga mengkaburkan kita dari esensi, contohnya ketika saya membuang sampah sembarangan, dan ketika sampah itu sedang dibahas orang lain tanpa menyebut-nyebut nama saya, saya malah koar-koar:

“Emangnya kalian udah suci apa? Gak pernah mbuang sampah sembarangan seumur hidup?”

Saya malah girang ketika menjumpai orang lain membuang sampah. Dan jika saya makin pekok alias goblok, saya malah ngarang-ngarang cerita soal orang lain yang ndak cuman buang sampah sembarang, kalau perlu bikin cerita orang lain berak sembarangan.

Orang lain jadi salah semua, dan saya sibuk menenangkan batin saya dengan cerita bikinan saya sendiri, versi saya, dan sesuai kemauan saya. Apakah kemudian saya menjadi tenang? Bisa malah makin gemrungsung. Dan itu candu.

Hidup itu keseimbangan. Rumangsa bisa dan bisa rumangsa itu sama pentingnya. Kita harus merasa bisa ketika hendak menyelesaikan suatu pekerjaan, tapi juga harus bisa merasa bahwa bisa saja kita melakukan kekeliruan dalam melaksanakan pekerjaan tadi. Namanya juga manusia.

Omong-omong soal manusia, jangan-jangan benar adanya bahwa jenisnya itu ada tiga dalam koridor eksistensi dan manfaatnya bagi lingkungan. Yang pertama adalah manusia halal, dimana keberadaannya adalah suatu kewajiban. Lalu yang kedua adalah manusia sunnah, dimana keberadaannya itu membawa maslahat dan mengurangi mudlarat, tapi jika dia tidak ada itu tidak apa-apa. Dan yang yang ketiga adalah yang haram, yang keberadaannya bukan memberi solusi tapi penuh polusi.

Blaik!

One thought on “Rasa

  1. Kelucuan meski universal terkadang juga memiliki rasa lokal, kadang-kadang jika kita menyebrang pulau mendengar kelucuan yang dianggap lucu disitu, namun tidak tertawa dan hanya garuk-garuk kepala. Perlu paham memaknai makna, dan paham itu perlu ilmu. Mungkin karena itu, bisa jadi mereka yang banyak tertawa tinggi ilmunya, karena jenius dan gila itu dekat :D-

Leave a Reply

Your email address will not be published.