Survei

Kemarin sore, Mas Prabu mengingatkan saya dan teman-teman untuk segera mengisi sebuah survei yang diadakan oleh kantor pusat instansi kami. Yang elok adalah bahwa survei tersebut mengenai tingkat kepuasan para pegawai. Dan survei ini dilakukan secara web-based (berbasis web yang bersifat online). Setelah saya masuk ke situs yang ditmaksudkan, saya menjumpai bahwa saya dihadapkan dengan empat pilihan jawaban: tidak puas (TP), cukup puas (CP), puas (P) dan sangat puas (SP).

Pertanyaan dalam survei tersebut memang soal pegawai dan pekerjaannya, tapi melibatkan perasaan di sana. Ada pertanyaan: “Apakah anda puas dengan…”.

Puas? Weh! Dengan empat pilihan yang disediakan, tingkat kepuasan jika dimatematikakan akan menjadi: tidak puas itu 0% – 25%, cukup puas itu 25% – 50%, puas itu 50% – 75% dan sangat puas itu di kisaran 75% – 100%.

Misalkan saya ditanya: “Apakah anda puas dengan pinsil yang anda gunakan saat ini?”, maka jawaban apapun yang saya beri itu menuntut tanggung jawab saya untuk mengerti benar tentang kepuasan yang bisa manusia peroleh dari sebuah pinsil. Saya njawab puas atau tidak puas, saya akan menganggap diri saya ngerti yang 100% puas itu bagaimana.

Padahal ndak ngerti. Saya tidak pernah berpikir jauh tentang seberapa besar sebuah pinsil bisa memuaskan saya, sesuai azas manfaat dari benda bernama pinsil. Sehingga saya akan semena-mena jika sakpenake menilai sebuah pinsil itu telah membuat saya kecewa atau sudah sukses memuaskan saya. Karena sejatinya saya tidak ngerti apa-apa tentang makna kepuasan itu sendiri.

Ini kan namanya menguji sebuah pinsil dengan cara bertanya ke banyak penggunanya. Beda kepala beda pemahaman dan standar. Setahu saya kalo menguji pinsil itu tolok ukurnya itu dari intrinsik pinsilnya. Bahan kayunya, keras apa tidak, atau jangan-jangan malah terlampau keras sehingga tidak nyaman. Lem perekat kayunya, apakah kuat atau malah terlalu beraroma yang memusingkan. Juga karbon serta kadar kehitamannya. Dan sebagainya.

Maka saya lantas bingung dengan maksud dan tujuan survei ini. Jikalau yang dituju adalah apakah sistem mutasi di instansi saya sudah baik apa belum, kenapa yang ditanyakan justru tingkat kepuasan? Kalau saya yang ditanya sekarang saya puas dengan sistem mutasi saya, jelas saya jawab puas. Karena saya berada di kampung halaman. Lain ketika saya berdinas di Tobelo, Halmahera Utara, saya jelas akan menjawab tidak puas. Tapi hal itu tidak menunjukkan kualitas sistem mutasi yang ada.

Lalu jika yang ditanyakan adalah soal kenyamanan kelengkapan kerja di kantor, apa sebenarnya yang ingin diketahui bos-bos saya di kantor pusat? Wong beda kantor itu beda fasilitas je. Lha kalo disurvei secara massal begini kan yo tidak bisa menggambarkan kondisi direktorat kami secara kaffah.

Karena hasil survei ini nantinya akan digunggungkan secara nasional dan dikonversi menjadi angka-angka rumit dan setelah diolah akan menjadi sebuah angka-angka yang dire-konversi dengan diterjemahkan kembali ke dalam kalimat singkat tentang apakah institusi saya ini memuaskan pegawainya apa tidak.

Padahal konon manusia itu ndak ada puasnya. Yang kalau dituruti itu malah seperti meminum air laut, makin diminum maka hausnya makin menjadi-jadi. Saya memang belum pernah nguja-uja secara penuh kesadaran untuk membuktikan kalimat tadi dengan meminum air laut. Tapi secara empiris pernahlah saya tidak sengaja menelan air laut saat bermain di pantai, dan memang bikin haus. Juga asin.

Jika puas tak berbatas, lantas bagaimana caranya kepuasan dikonversi menjadi angka-angka? Saya jelas tidak ngerti, terlalu bodoh untuk itu. Penggunaan istilah ‘puas’ itu yang bikin nggantung di saya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, puas itu bermakna:

1 merasa senang (lega, gembira, kenyang, dsb krn sudah terpenuhi hasrat hatinya): ia merasa — sbg penyanyi; ia merasa — melihat pekerjaan murid-muridnya; baru — hatinya, kalau dapat mencelakakan saingannya;

2 lebih dr cukup; jemu: — merasakan hinaan dan nistaan; — bertanya-tanya, tiada seorang pun yg tahu.

Ada keterangan ‘karena sudah terpenuhi hasrat hatinya’ di sana, yang menunjukkan kepuasan itu soal hati. Bicara soal hati manusia itu susah. Jelas tidak mungkin distandarisasi dan disamaratakan. Nah logikanya, hasil survei ini kan mau dijadikan tolok ukur guna merancang kebijakan instansi saya di masa depan. Opo ora elok? Kebijakan yang didasari konversi rasa hati ke dalam angka-angka?

Saya bukan pakar survei atau ahli dalam statistik, jelas tidak masuk itungan kalau disuruh menebak-nebak hati orang lain, wong ngerteni atau memahami hati sendiri saja kelimpungan lho.

Kembali ke soal kepuasan, jangan-jangan kita menerapkan hal yang sama, pada anak-anak kita, pada pasangan hidup kita, pada teman-teman kita dan pada siapapun yang ada di lingkaran hidup kita. Dari tidak puas lantas tidak suka dan tidak mau nembung, srawung dan atau yang-yangan lagi. Padahal puas itu tidak jelas batasnya, bahkan sering dibilang tidak ada batasnya. Bisa jadi kita tidak puas dengan pekerjaan rekan sejawat tapi sebenarnya ndak ada yang keliru dengan hasil pekerjaan itu. Waton ndak puas saja. Ndak sreg.

Kawan saya, Mas Jenggot berujar harusnya jangan menggunakan istilah puas, karena susah ngukurnya. Beliau menyarankan untuk menggunakan istilah ‘ejakulasi’, karena ejakulasi itu bersifat fisik sedangkan kepuasan itu soal hati. Ejakulasi itu belum tentu puas. Yang fisik akan lebih mudah diamati dan diukur, menurut beliau.

Segini dulu ya. Puas?

Leave a Reply

Your email address will not be published.