Saya punya kawan. Dulu satu SMU (iya, kala itu masih pake istilah SMU), dan masih komunikasi hingga sekarang. Kawan saya ini bermatapencaharian di terminal bus. Dan saya sering mampir untuk sekadar beranjangsana dan ngobrol ngalor ngidul.
Semalam, di tengah obrolan kami soal rancang bangun sepeda ontel dan sepeda motor yang sama-sama kami geluti, tiba-tiba obrolan beralih soal kondisi dunia transportasi, terutama bus. Khususnya bus antar kota antar propinsi.
Oh iya, kebanyakan yang kami obrolin malam itu adalah bagaimana merancang sepeda bermesin. Tiba-tiba obrolan beralih.
“Aku yakin bus akan ramai lagi.”, ujar saya entah kesambet setan dari mana, seolah-olah saya menegrti yang saya perbincangkan.
“Memang sudah mulai keliatan kok. Belakangan beberapa waktu terakhir, penumpang bus mengalami kenaikan.”, jawab kawan saya, tak perlu diragukan karena dia praktisi lapangan langsung.
“Iya, mau gak mau. Berhubung kereta api berbenah, tarif jadi lebih mahal, sementara kursi terbatas, maka para penumpang beralih ke moda transportasi bus.”, sambung saya.
Sampeyan tentu aware, bahwa beberapa waktu terakhir, PT KAI melakukan moderenisasi, baik dari segi pelayanan maupun sarana dan prasarana. Ana rega ana upa, jer basuki mawa bea, kata orang dulu. Semua ada cost-nya. Maka, PT KAI mau ndak mau melakukan kenaikan harga tiket.
Rupanya hal ini membuat gairah masyarakat untuk naik bus menjadi meningkat. Oke, kalo situ mau menganggapnya keterpaksaan ekonomis. Tapi kenyataannya bus dilirik kembali.
“Lucunya, bus ekonomi udah gak laku! Sekarang minimal bisnis…”, tukas kawan saya.
Nah, ini baru menakjubkan. Di tengah gempuran berita soal katanya jumlah kemiskinan meningkat, harga kebutuhan melonjak, yang kita sama-sama tahu sering dipakai para politisi untuk menyerang pemerintahan itu, rupanya bus ekonomi tidak laku lagi. Ini kata kawan saya.
Artinya, daya beli (jasa) masyarakat juga naik. Manusia saja yang suka mengeluh. Bahkan belakangan ngetren kutipan hoax dari Pak Harto, yang seolah-olah Pak Harto pernah berujar: “Isih penak jamanku tho?”.
Padahal kalau mau ditelusuri, jumlah pengangguran sekarang dan jaman Pak Harto itu persentasenya mirip. Dan kenaikan harga beras jaman Pak Harto dibanding dengan harga sekarang itu sejatinya sama dengan kenaikan UMR.
Hingga, saya setuju saat seseorang di twitter menulis, mereka yang bilang jaman Pak Harto itu lebih enak sejatinya mungkin hanya ingin mengeluh saja.
Tiba-tiba saya membayangkan bahwa nantinya kelas terendah dalam fasilitas di republik ini adalah bisnis, bukan ekonomi lagi. Istilah ekonomi sebagai kelas mungkin tetap ada, tapi apa yang jadi standar kelas bisnis saat ini, akan menjadi standar kelas ekonomi dalam waktu yang tidak terlalu lama, saya rasa.
Dan lalu, karena orang Indonesia tidak pernah kurang akal, bus-bus ekonomi itu akhirnya akan masuk bengkel, dibongkar pasang dan dibubuhi mesin pendingin udara. Voila!
Pertumbuhan ekonomi terus naik (kisaran 6-7 persen) pertahun, kebutuhan dan juga kemampuan bertambah, mampu diimbangi asal tidak terlalu tinggi. #Halah kok jadi ekonom X_X
Reblogged this on miftahulhuda234.
Reblogged this on Tabungan Hari Tua.