Geram yang bisa berujung pada amarah, itu bermuara pada pendeknya usus. Begitu kira-kira nasehat yang pernah diberikan pada saya entah oleh siapa, entah kapan dan entah dimana. Apa sebenarnya makna nasehat tersebut kira-kira?
Maksud saya, akan lebih masuk akal bagi saya untuk memikirkan makna nasehat itu daripada sibuk mengingat-ingat sejarah asal muasalnya kan?
Pendek usus, itu macam-macam terjemahnya. Usus yang pendek itu akan menyebabkan penyerapan makanan yang sudah digiling lambung tidak terserap dengan sempurna, katanya. Jadi jika dikorelasikan dengan nasehat di atas, bisa diartikan bahwa akibat kurang sempurnanya dalam menyerap sesuatu, kita cenderung menyimpulkan sesuatu itu tanpa pertimbangan yang matang. Respon yang paling sering muncul akibat kurangnya pemahaman adalah emosi yang terpancing.
Pernah lihat foto-foto atau tayangan di televisi yang menampilkan para pejabat (tinggi) negara kita yang tengah tertidur kala rapat? Apa respon sampeyan?
Marah adalah respon yang wajar dan jamak. Tapi semoga sampeyan marahnya cuman ke soal tidur itu. Dan secukupnya saja. Jangan kayak saya, sering kebablasan marahnya.
Melihat foto anggota DPR tidur saya buta hati, saya lantas merujuk ke referensi berapa besar gaji dan tunjangan mereka. Saya lalu mencap mereka magabut alias makan gaji buta. Tak puas, akan saya tuduh mereka penghianat rakyat, wong rapat membahas nasib rakyat kok malah enak-enakan tidur. Dan segudang nyinyiran lainnya.
Saya jarang menyempatkan diri meluangkan waktu untuk sedikit mengerem amarah saya yang konon atas nama rakyat itu, untuk sedikit berpikir mengenai foto tersebut dan kemungkinan-kemungkinan realitas di belakangnya.
Foto itu tidak menunjukkan berapa lama rapat berlangsung atau pada menit ke berapa dari total durasi rapat itu kemudian kamera menangkap basah anggota DPR itu nampak tertidur. Apakah beneran tidur? Karena bisa saja dia sedang memejamkan mata doang. Dan kita tak pernah tahu berapa panjang durasi sang wakil rakyat itu memejamkan mata.
Saya juga lupa bahwa saya sendiri pun paling tidak tahan duduk berlama-lama dalam sebuah rapat, saya sering ngantuk dan setengah mampus menghindari ketiduran. Makanya saya ndak mau jadi wakil rakyat yang kalau rapat bisa berjam-jam lamanya.
Foto tadi itu datum, data dalam bentuk tunggal. Namun saya terjemahkan menjadi semau-mau imajinasi saya, hingga masuk ke area isi hati si anggota DPR tadi dengan menuduhnya jahat atau penghianat bangsa, yang jelas-jelas sangat tidak mungkin saya tahu kebenarannya.
Makanya saya percaya saja kala ada foto orang mati yang ditulis bahwa mereka adalah korban pembantaian massal. Saya malas mencari tahu asal muasal foto tersebut. Padahal ternyata foto itu foto korban musibah baik bencana alam atau bangunan roboh.
Belum lagi foto atau tayangan di TV lainnya, yang tak cuman sepotong-potong, tapi seringkali memang mengarahkan pemirsanya untuk berpikir ke arah yang dimaui komunikator.
Saya memang bodoh, sampeyan sih (semoga) tidak!
NB: kalo luang, baik waktu maupun bandwidth, silakan mampir dan lihat video ‘Stand By Me’ milik Oasis yang dirilis tahun 1997 ini.
(Setidaknya) marah lebih baik daripada putus asa ๐