HOAX Reliji

Kemarin, saya banyak mendapatkan ucapan permintaan maaf dari kerabat dan kolega saya. Rupanya kegiatan minta maaf itu merujuk malam nisfu sya’ban yang konon jatuh kemarin. Uniknya, seorang kawan sampai bela-belain ngirimin saya pesan singkat:

“Bang, abang kan ngerti soal HOAX termasuk HOAX reliji, tolong donk dibahas soal malam nisfu sya’ban…”.

Saya tentu heran, siapalah saya sampai-sampai dimintai hal segawat dan sepenting itu, namun lama-lama saya jadi tertarik membahasnya, mengingat begitu banyaknya pesan berantai yang saya terima dalam rangka malam nisfu sya’ban ini.

Sebenarnya agak enggan bagi saya untuk menuangkannya dalam tulisan, mengingat begitu banyaknya perdebatan dunia maya yang saya ikuti mengenai hal ini. Yang sepanjang pengamatan saya terbagi dua kubu: pertama, kelompok yang menganggapnya sebagai bid’ah, yang mohon maaf dalam cara menyampaikannya cenderung seperti menghakimi dan menganggap sesat kelompok satunya. Dan kelompok kedua yang bersikap lunak, terlalu lunak hingga berprinsip: “Ah, bid’ah atau ndak kan ya biarin saya.. Biar saja orang lain mau bagaimana…”.

Dua kelompok itu penting, karena di satu sisi ketika ada suatu pesan berantai atau tulisan apapun lalu tidak ada yang mencari tahu kebenarannya yang dilakukan kelompok pertama, maka niscaya semua akan ditelan mentah-mentah dan dianggap sebagai sebuah kebenaran belaka.

Kelompok kedua juga penting, karena tanpa orang-orang macam begini maka masyarakat akan penuh dengan orang yang bisa dengan mudah menuduh orang atau kelompok lain sebagai kafir. Nah, tinggal bagaimana kita merangkul keduanya.

Baiklah, saya bahas, pesan berantai yang paling banyak saya terima adalah berbunyi sebagai berikut:

Doa Malaikat Jibril menjelang Nisfu Sya’ban : “Yaa ALLAH abaikanLah puasa umat Nabi Muhammad SAW, apabila sebelum Ramadhan dia belum:

1. Memohon maaf kepada kedua orang tua jika keduanya masih hidup .

2. Bermaafan antara suami-istri .

3. Bermaafan dengan keLuarga, kerabat serta orang sekitar”.

Maka saat itu doa Malaikat Jibril diaminkan oleh Rasulullah sampai 3x, Amin..amin..amin.. Malam Nisyfu Sya’ban jatuh pada hari AHAD 23 JUNI malam SENIN (tutupnya buku amalan).

Jadi Sebelum terlambat saya & keluarga besar meminta maaf kalau ada salah baik disengaja atau yang tidak. karena NABI MUHAMMAD SAW bersabda: “barang siapa yang mengingatkan kedatangan bulan ini, HARAM API NERAKA baginya.

Pertama, bermaaf-maafan itu baik, kapanpun itu dilakukan. Jadi penjelasan saya nanti jangan diterjemahkan bahwa saya tidak setuju jika kita bermaaf-maafan. Di awal pesan tersebut dikisahkan Malaikat Jibril berdoa agar Allah mengabaikan puasa umat islam dan diamini oleh Nabi Muhammad pula.

Saya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang selalu yakin bahwa Islam menganjurkan agar kita mendoakan yang baik meskipun kepada orang yang jahat kepada kita, lantas apakah doa Malaikat Jibril lantas bisa-bisanya diamini oleh Nabi yang menurut hikayat mau menengok orang yang sering meludahinya tatkala orang tersebut sakit? Rasa-rasanya tidak.

Saya tidak akan terlalu dalam membahas tingkat kesanadan hadits yang dikutip, bukan bidang dan keahlian saya, saya hanya ingin membahasnya dengan logika sederhana.

Lalu disebut juga mengenai ‘tutupnya buku amalan’, buku amalan? Ditutup? Hadits yang didasarkan pun terjemahnya berbunyi”

“….Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.’” (HR. An Nasa’i 2357, Ahmad 21753, Ibnu Abi Syaibah 9765 dan Syuaib Al-Arnauth menilai ‘Sanadnya Hasan’)”

Amalan-amalan diangkat, bukan bukunya. Buku apa??

Dan yang ketiga, itu soal diharamkannya api neraka bagi siapapun yang mengingatkan keutamaan nisfu sya’ban, bukankah terdengar sangat bombastis seperti kalimat iklan MLM atau produk-produk yang di jual di TV? Cukup dengan mengingatkan lantas terhindar dari api neraka? Jika penasaran lebih lanjut, dan mau mencari tahu akan kita dapati bahwa hadits di atas palsu.

Lalu bagaimanakah seharusnya kita menghadapi bulan sya’ban terutama nisfu sya’bannya? Tidak tahu. Iya, saya tidak tahu pasti. Mau puasa silakan, mau sebulan penuh (dikurangi 2 hari sebelum ramadhan) silakan. Mau setengah bulan juga silakan. Tapi mengkhususkan untuk berpuasa pada satu hari di nisfu sya’ban, belum saya temukan dasarnya. Belum saya temukan, bukan tidak ada.

Lamat-lamat saya teringat ketika masih berusia belasan bertanya kepada ustadz saat saya masih nyantri di Pabelan (bukan Ngruki lho ya! Hahaha!):

“Tadz, nisfu itu kan artinya separuh atau pertengahan kan ya? Lantas kenapa nisfu sya’ban hanya diterjemahkan sebagai pertengahan bulan sya’ban (bukan separuh sya’ban), terutama untuk urusan puasa sunnah?”

Ustadz saya yang humoris itu menjawab:

“Yo ndak tahu, le… Tapi bukankah puasa khusus di satau hari akan lebih ringan dilakukan daripada puasa satu bulan penuh atau setengah bulan?”

Iya, bisa jadi benar, puasa satu hari lebih ringan.

Saat ada yang meminta maaf dengan dalih nisfu sya’ban, saya tidak boleh lantas teriak bid’ah atau kafir, sebisa mungkin akan saya terima ucapan maafnya dan meminta maaf balik. Kenapa? Karena tidak ada salahnya meminta maaf dan memaafkan tho?

Lain halnya ketika ada yang menyuruh saya puasa khusus sehari di nisfu sya’ban, shalat sunnah nisfu sya’ban atau membaca doa khusus nisfu sya’ban. Saya akan bertanya dasarnya. Tapi tetap bukan wewenang saya untuk memberi label kafir kepada orang lain.

Kenapa demikian? Karena bermaaf-maafan itu masuk ke kegiatan muamalah dimana semua diperbolehkan sampai ada larangannya. Dan puasa sunnah, shalat sunnah itu ibadah (bukan mualamah) yang jika tidak ada nash yang memerintahkannya, maka haram untuk dilakukan karena itu mengada-ada.

Menutup tulisan ini, saya hanya ingin sharing, jika semua informasi kita anggap benar dengan pola pikir: “Siapa tahu bener…” maka kita jadi malas mencari tahu. Lalu apa yang akan kita wariskan ke generasi mendatang? Madzhab “Siapa Tahu Bener”??.

Beribadah itu harus dengan ilmu. Jika kita sudah mencari tahu semampu kita (tanpa menelan mentah-mentah) lalu kita ternyata keliru, niscaya lebih baik derajatnya dibanding dengan ibadah tanpa pemahaman apa-apa.

Sampeyan tahu “Tuntutlah Ilmu Walau Sampai Ke Negeri Cina”? Itu hadits apa bukan? Bukan kan? Tapi kalau saat ini anda bilang itu hadits dari Nabi Muhammad, niscaya banyak yang setuju. Kenapa? Karena dibiarkan berkembang, tidak dibantah dan disyiarkan sebagai hadits secara turun temurun.

Tapi bukan lantas isi mahfudlot (peribahasa) itu keliru, wong mengajarkan kita untuk menuntut ilmu sampai kemanapun kan yo baik tho? Nah itu muamalah… Isinya bagus tapi bukan hadits. Itu saja.

Mari belajar, ndak papa dicap Islam Google, sepanjang kita tetap menggunakan akal dalam googling. Google itu hanya wasilah alias kendaraan, bukan ghoyah (tujuan). Biar kata ada yang bilang google itu bikinannya orang kafir, cuek saja. Yang penting kita tahu cara menggunakannya. Ibarat pisau, google juga demikian, bisa dipakai untuk masak atau bunuh diri.

Salam.

PENUTUP: Jika tulisan ini menyinggung sampeyan, mohon maaf, itu semata bisa jadi karena kurangnya ilmu dan pengetahuan saya atau kurangnya kemampuan saya dalam menyampaikan sesuatu dengan cara yang baik.

BAHAN BACAAN:

5 thoughts on “HOAX Reliji

    1. Hahahaha.. selama ini saya membahasnya via facebook, mbak.. Baik di ‘notes’ maupun di status ataupun langsung ke orang yang menyebar HOAX. 🙂

  1. Mengelitik nih. “Tapi mengkhususkan untuk berpuasa pada satu hari di nisfu sya’ban, belum saya temukan dasarnya. Belum saya temukan, bukan tidak ada.”
    berarti ada dong? (iya ga sih?*bingung), berpuasa satu hari pada hari tersebut selama tidak mengkhususkan kan tidak apa-apa ya? redaksi ‘bukan tidak ada’ bagi saya mengartikannya berarti pasti ada. mungkin baiknya tidak perlu ditulis aja.
    Nah berkaitan dengan topik diatas. ‘buku amalan’ mungkin hanya kesalahan penggunaan kata saja *husnudzon
    Dan setuju banget tuh kita beribadah harus dengan ilmu. Ga ikut2an atau cuma analisa (soalnya sekarang hampir tiap orang pinter beranalisa) *eh analogi atau analisa ya?

    1. Saya ma’mum Gus Mus, saya tidak berani bilang ‘tidak ada dalilnya’ akan tetapi pake diksi ‘belum saya temukan dalilnya’ karena akan sangat sombong jika saya bilang ‘tidak ada’. Nah karena tulisan ini memancing respon baik langsung via blog atau sms atau email, maka saya tambahi ‘bukan tidak ada’. ‘Bukan tidak ada’ di sini saya jadikan anak kalimat, kalimat utamanya itu ‘Belum saya temukan’. Terima kasih perhatiannya.

      Analisa saya kurang paham, karena tingkat keilmuan saya belum semumpuni itu, saya pake analogi saja itu pun yang paling sederhana.

Leave a Reply

Your email address will not be published.