Alien

Pernahkah tiba di satu titik dimana sampeyan merasa bahwa sebenarnya sampeyan bukanlah manusia? Oke, itu mungkin terlalu jauh. Tapi ijinkan saya menjelaskannya dalam tulisan kali ini tentang apa yang saya sedang rasakan.

Ada situasi dimana saya merasa telah melakukan sesuatu secara benar dan sesuai kebiasaan yang seharusnya, tapi pada satu titik tertentu itu tidaklah juga cukup. Ada yang kurang, ada yang kurang pas, ada yang sedikit melenceng dari sudut pandang orang lain.

Dan pada tahap itulah saya mulai bertanya-tanya, siapa yang salah dan bagian mana yang luput. Apakah saya sendiri atau justru orang lain? Apakah tindakan saya yang keliru atau pengharapan orang lain terhadap saya lah yang tidak masuk di akal?

Soal korupsi, misalnya. Semua sepakat bahwa itu terkutuk dan dilarang. Tapi pada prakteknya, korupsi bisa direspon dengan berbeda-beda. Ada yang lain di bibir tapi lain di hati juga kelakuan. Ada yang tetap menganggap itu salah tapi tetap melakukannya atas nama kebutuhan hidup. Ada yang menikmatinya diam-diam. Ada yang melakukan sambil sibuk teriak: “Emang situ suci?”. Ada pula yang bebal dan sukses meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang dilakukan bukanlah masuk ke kategori tindakan korup.

Lalu kita juga terpecah belah lagi saat membahas korupsi kepada anak-anak kita, misalnya. Ada yang tegas mengajarkan bahwa korupsi itu haram hukumnya, dan dia ajarkan dengan suri tauladan dengan tidak korupsi. Ada yang tegas (bahkan terlampau tegas) mengharamkan korupsi saat di depan anak-istri tapi diam-diam menghidupi mereka dengan hasil korupsi. Dan yang paling membingungkan, adalah mereka yang berpola pikir korupsi itu haram tapi kalau memang tidak bisa menghindar ya pintar-pintar lah membawa diri. Atau dibilang: “Jangan melawan arus kalo sedang besar arusnya… Mbanyu mili saja!”.

Yang terakhir ini jelas rawan mulur mungkret sesuai mau-maunya sang pelaku. Besar tidaknya arus yang dihadapi jelas subyektif. Bagi saya sebuah arus bisa besar, buat sampeyan bisa jadi tidak.

Tapi bukankah protokol sosial memang begitu? Mulur mungkret sesukanya. Melar mengkerut semaunya.

Contoh di atas itu contoh yang gawat bin serius, coba kita cari contoh yang lebih ringan. Kita sebagai makhluk sosial dituntut untuk menjadi pribadi yang makin bijak setiap harinya. Tapi dalam kenyataan, nobody likes the wiseass. Setiap ada yang nampak bijak, orang-orang cenderung akan mencari cela dan menunggu dia berbuat cacat.

They said that telling the truth is good, but when you tell the truth, everybody gets offended.

Ini jebakan betmen, namanya. Tak ada standar baku yang menjelaskan mana itu peduli dan mana itu ikut campur. Mana yang dianggap kejujuran dan mana yang dianggap sok suci. Mana yang masuk kategori memperhatikan orang lain dan mana yang masuk ke mencari-cari aib.

Keribetan ini ada dimana-mana. Tidak melulu ada hanya dalam hubungan antar jenis kelamin. Kalimat: “Terserah kamu saja..” itu sama ribetnya baik jika yang mengucapkan perempuan ataupun laki-laki.

Kita tak pernah benar-benar tahu akan banyak hal. And yet, kita sepakat untuk pura-pura paham akan lebih banyak hal lagi agar bisa survive sebagai manusia. Kita tidak pernah bisa mengandalkan segala sesuatu itu bermakna denotatif belaka. Karena segala sesuatu bisa jadi bermakna konotatif, tapi bisa juga denotatif. Membingungkan.

“Aku ikhlas kok!”, adalah contoh betapa susahnya manusia mempercayai orang lain sehingga keikhlasanpun yang merupakan ranah pribadi harus diungkapkan secara lisan. Dan pengungkapan secara lisan ini juga tak cukup banyak membantu. Karena bisa benar, bisa juga bohong semata. Dan kita seakan-akan buta hingga harus menebak-nebak makna.

Menutup tulisan ini, saya mau bertanya kepada sampeyan, jika ada orang yang bilang: “Aku nggak apa-apa kok…”, apakah sampeyan percaya atau justru menyimpulkan sebaliknya?

3 thoughts on “Alien

Leave a Reply

Your email address will not be published.