Gombal

Sepanjang ingatan saya, kata gombal itu sudah sedemikian jauhnya mengalami perubahan makna. Saya mengenal kata “gombal” pertama kali dari ayah saya. Gombal, bagi ayah saya kala itu digunakan untuk menyebut kain sisa, kain perca atau kain bekas baju atau handuk yang sudah tidak dipakai lagi sesuai fungsi aslinya.

Akan tetapi meski telah kehilangan fungsi aslinya, seperti baju yang tak layak lagi dipakai, kain gombal tidak lantas menjadi tidak berguna. Justru ketika kehilangan fungsi aslinya, kain gombal bermetamorfosis menjadi benda dengan lebih banyak manfaat.

Ndak percaya?

Kain gombal bisa jadi lap ingus anak-anak, kain lap meja makan, kain lap lantai, kain lap kaca, kain untuk mencegah aliran panas (cempal, bahasa jawa) untuk mengangkat panci dari kompor, bahkan bisa menjadi properti pelengkap bagi para pengemis gadungan.

Singkat kata, pada momen gombal berhenti menjadi sebuah baju, tidak lantas membuatnya tak bermanfaat. Justru bisa lebih bermanfaat dari sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena namanya manusia itu tidak melulu mementingkan fungsi dalam berbusana. Ada rasa, gaya dan kepentingan di sana.

Di sisa waktunya gombal menjadi lebih intens bermanfaat dibanding saat dia menjadi baju itu bisa saja terjadi. Sebagai contoh, baju KORPRI. Dalam setahun, berapa kali ia dikenakan pemiliknya? Dan lantas setelah beberapa tahun ia akan diganti dengan baju yang lebih baru. Maka bisa saja ketika menjadi gombalan, baju itu bisa lebih bermanfaat.

Lantas, bagaimana nasib kata gombal itu saat ini?

Gombal belakangan lebih banyak dipakai oleh kebanyakan perempuan yang ditujukan untuk memberi label kepada setiap tindakan dan ucapan manis lawan jenisnya. Tapi anehnya, kata gombal yang diucapkan ini tidak lantas bermakna negatif melulu. Entahlah, mungkin karena si pengucap kurang referensi saja dalam merespon kejadian yang menimpanya.

Ayak! Gombal kamu.. Tumben muji aku!! Pasti ada maunya…”, si pengucap bisa jadi justru suka dipuji, hanya saja dia bingung dalam merespon pujian itu, makanya yang keluar adalah kata gombal.

Ndak percaya?

Coba sampeyan bilang yang bagus-bagus ke lawan jenis deh. Pasti dikira nggombal. Tapi ingat, mesti hati-hati, liat dulu siapa yang mau anda gombalin.

Tapi gombal bisa memang berarti sesuatu yang negatif. Sebuah janji yang tak ditepati, misalnya. Sebuah kata yang hanya sebagai pemanis bibir, contoh lainnya. Celakanya, kita hidup di jaman dimana terlalu banyak orang dengan demikian banyaknya tingkah polah, sehingga kita cenderung menjadi makhluk yang tidak percaya. Awalnya sih mungkin itu waspada namanya, lama-kelamaan murni curiga atas apapun yang asing.

Maka lantas segala ucapan di televisi baik yang keluar dari bibir pejabat maupun politisi, akan dianggap gombal belaka. Itu berlaku bagi ucapan yang terbukti kebenarannya, maupun tidak. Pokoknya dilabeli gombal terlebih dahulu.

Apakah kemudian tidak ada yang benar-benar mewujudkan ucapannya? Pasti ada. Hanya saja segala sesuatu yang bagus tapi canggung untuk dibahas ya berujung tidak dibahas.

Ndak percaya?

Coba sampeyan googling hal-hal yang dicanangkan pemerintah di awal tahun dan berhasil tercapai. Jika lantas kemudian pemerintah koar-koar soal keberhasilan programnya, apa yang terjadi?

“Hayah! Pencitraan!!!”

NB: teriring rasa kangen untuk Antyo Rentjoko dengan blogombal yang sudah berhenti terbit itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.