Semenjak saya mengenal puisi di bangku sekolah, definisi puisi di dalam otak saya adalah rangkaian kata-kata yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris dan bait, yang sebisa mungkin keliatan mewah dan rumit.
Mewah dan rumit. Karena puisi (di dalam kepala saya) tidak mungkin menggunakan kata-kata sembarangan. Sebisa mungkin berupa pilihan terbaik dari seluruh kosakata yang mewakili maksud pembuat puisi tersebut. Rumit, karena pada akhirnya sebuah puisi akan sulit untuk dipahami, bisa disalahpahami atau bahkan sama sekali tidak dipahami.
Maka lantas wajarlah saya punya pendapat bahwasanya pembuat puisi itu memang sengaja menyamarkan apa yang sebenarnya terlintas di dalam benak mereka dan menuangkannya dalam bentuk rangkaian kata yang memang didesain agar tidak mudah dipahami, semacam kode yang susah untuk dienkripsi. Makanya dulu sering dapat tugas untuk memprosakan puisi, katanya agar lebih dipahami.
Yang menurut saya malah sebaliknya, sulit. Membuat prosa dari sebuah puisi, mau tidak mau kita harus mencoba memahami puisinya terlebih dahulu. Atau, setidak-tidaknya pura-pura paham. Ya, sebagai rantai makanan paling bawah dalam dunia pendidikan di bangku sekolah, tugas memprosakan puisi itu harus selesai. Tidak soal apakah saya paham atau tidak. Maka, pura-pura paham puisi menjadi sangat penting.
Seiring perkembangan jiwa saya, belakangan saya punya sudut pandang lain soal puisi. Tidak semua puisi adalah kode rahasia, yang sengaja dibuat agar tak semua memahami isi hati sang penyair. Karena rupanya saking banyaknya unek-unek, bisa saja malah terwakili dengan sedemikian pendeknya kalimat dalam puisi.
Maka wajar, jika sebuah puisi mampu mewakili keruwetan hati hingga ketika membaca baris demi baris dan bait demi bait, sang pembaca merespon dengan: “Anjing! Ini gue banget…”.
Lantas, apakah jika sebuah puisi menjadi dicintai pembaca, akan serta merta ia mempunyai maksud dan makna yang memang dimaksudkan oleh sang penyair? Belum tentu.
Tapi kayaknya hal itu ndak penting. Intepretasi boleh berbeda, tergantung pribadinya. Dan saya kira, sang penyair tidak keberatan, bahkan malah kagum jikalau puisinya menjadi multi intepretatif.
Setidaknya itu bagi saya. You may disagree. Dan lebih lanjut, puisi itu bisa dalam media apa saja. Bukankah lukisan adalah puisi yang digoreskan dalam kanvas? Lagu itu bukankah sebenarnya penjelmaan puisi yang dibalut nada? Dan laporan keuangan itu sejatinya puisi sang akuntan?
Dan sepuluh tahun terakhir ini bukankah seperti kumpulan antologi puisi SBY dalam dua jilid?