Terhuyung dengan langkah satu-satu,
Diseret telapak kakinya yang kaku.
Badannya berat ditambah baju zirah,
Terluka parah dengan ceceran darah.
Entah berapa lama dia begitu,
Tatapan sayu mengharu biru.
Langkah terseok tapi tak jua keok,
Di penghujung hari dia berbelok.
Langkah kakinya terhenti di depan bunga mawar,
Tak sudi merusak, ditatapnya dengan nanar.
Kau selalu ada di kepalaku, ujarnya,
Tiga puluh enam purnama kira-kira, katanya.
Dilepaskannya baju zirah besi berkaratnya,
Butuh waktu lama, seolah telah menyatu dg tubuhnya.
Sang kesatria kini tak berbusana,
Hanya bertubuh yang penuh bekas luka.
Dia mengigil kedinginan,
Sedangkan bunga mawar itu hanya berayun-ayun dibelai angin.
Purbalingga, 05 Juli 2014.