Panen Madu dan Keakraban

Secara bodon-bodonan, saya sudah melewati tiga puluh dua idul adha. Sebuah hari raya yang sejak kecil tertanam di benak saya sebagai saat dimana saya bisa nyate, karena di lingkungan saya tumbuh, kambing lah yang lebih banyak dijadikan binatang kurban.

Tiga puluh dua kali idul adha. Angka yang cukup banyak. Yang jika tiap melewatinya saya sempatkan diri untuk lebih nyari tahu tentang ibadah qurban, niscaya saya jadi pribadi yang lebih baik. Nyatanya tidak. Saya melewati idul qurban kali ini dengan:

“Waduh, siap-siap kolesterol naik…”

Dengan melewati idul adha sebanyak itu harusnya saya bisa menjelaskan kepada warga yang ribut saat motong kambing. Ada yang ribut karena sebagai tukang jagal, dia merasa berhak mendapatkan jatah daging dari binatang yang dia potong. Ada yang nyinyir karena ada pemilik binatang kurban yang mengambil jatah daging lebih banyak daripada warga lain. Ada yang nyinyir karena tetangganya yang keluarganya berjumlah banyak hanya berkurban seekor kambing.

Saya diam.

Saat ini, banyak saudara kita yang tengah bersuka cita berada di tanah suci menjalankan ibadah haji. Ibadah yang dalam agama Islam adalah puncak dari keislaman seseorang. Jadi mulai dari syahadat, shalat, puasa, zakat dan yang terakhir; haji, sudah mereka tunaikan.

Lantas banyak yang terlibat perbincangan soal oleh-oleh keluarga yang berangkat haji. Soal betapa orang yang berangkat haji akan menjadi terpandang di lingkungan sekitar.

Namun ada juga yang nyinyir kala sepulang dari tanah suci, ada saja yang hanya mau dipanggil dengan julukan “haji” di depan namanya. Ada yang setelah haji malah makin arogan. Ada yang setelah haji malah makin tidak nampak ibadahnya apalagi peran positif di lingkungan sekitar.

Cerita jaman sekolah (menghindari penggunaan kata nyantri), dikisahkan bahwa shalat dilambangkan sebagai air hujan, yang membersihkan, meneduhkan dari terik panas, dan menyuburkan.

Puasa, dilambangkan sebagai khamar, dimana prosesnya merupakan peragian jiwa dan hati. Lantas zakat dilambangkan dengan susu, melambangkan manfaat kepada pihak lain yang diambil dari diri kita.

Lantas bagaimana dengan haji? Konon haji dilambangkan dengan madu. Dimana madu dihasilkan dari segala yang baik dan menghasilkan sesuatu yang murni bermanfaat.

Diharapkan, dengan berhaji, segala ucapan dan tindakan yang diambil itu berupa madu. Hanya madu. Hanya manfaatlah yang bisa diambil dari seseorang yang telah berhaji.

Akan halnya apa yang menjadi sebab seseorang ingin berhaji, hanya tuhan yang tahu selain dirinya sendiri.

Apakah benar ada yang berhaji karena telanjur mampu secara ekonomi lantas risih disindir kawan dan handai taulan lantaran tidak juga berhaji, saya tidak tahu. Apakah ada yang saking banyaknya masalah dalam hidupnya, sehingga dia merasa hanya dengan berkunjung ke Mekkah lah dia bisa minta masalahnya dibereskan, saya juga tidak paham.

Untuk menunjukkan bahwa saya sudah tidak berani ngrasani mereka yang berangkat haji, saya pikir semua yang berhaji itu murni karena ingin mencapai puncak kemuslimannya.

Memang benar, mencapai puncak dan merasa mencapai puncak adalah hal yang berbeda. Teorinya seseorang yang hanya sampai tahap syahadat saja sudah tidak mungkin berani menyakiti orang lain. Orang yang serius dengan sumpah syahadat akan serius dengan segala sesuatu. Ketika bersuluk salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu“, dia akan paham konsekuensinya. Konsekuensi bahwa dia harus menjamin keamanan orang yang dia beri salam. Dia juga harus mengutamakan menjadi rahmat dan lalu jadi berkah bagi pendengar salamnya. Apalagi kalau levelnya sudah sampai ke haji.

Makanya guyon soal di Indonesia itu semua koruptor yang beragama Islam pasti bergelar haji, tidak terlalu membingungkan saya. Sedangkan orang yang rajin melakukan shalat yang jelas bertujuan tanha ‘anil fahsyaa-i wal munkar saja masih banyak yang berbuat kerusakan dan kemunkaran. Mereka itu yang dalam agama disebut “allaadziina hum ‘an shalaatihim saahun”, mereka-mereka yang memperlakukan shalatnya dengan kelalaian dan pelecehan.

Tapi mengkritisi orang lain yang berhaji tentu lebih banyak mudharatnya, akan lebih baik jika kita menyibukkan diri menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.

Jika ada yang lebih bermanfaat dengan berdakwah, ya silakan. Jika ada yang lebih bermanfaat menjadi pengurus partai politik, ya monggo. Dan jika ada yang lebih bermanfaat ketika diam, ya ndak apa-apa.

Yang sudah berhaji jangan sombong, yang belum berhaji jangan minder. Karena menjadi madu itu pilihan dan ketekunan pribadi. Disiplin adalah upaya terus menerus untuk memperpendek jarak antara label positif yang diberikan orang lain kepada kita (juga oleh diri kita sendiri) dengan definisi label yang sebenarnya.

Bicara soal memperpendek jarak, qurban adalah salah satu upaya kita memperpendek jarak kita dengan tuhan. Semoga dengan qurban, kita menjadi qoorib, dekat ataupun akrab dengan yang nyuruh kita melakukan qurban.

Jarak. Bukankah semua-mua itu hanya melulu soal jarak? Bahwa hidup adalah jarak antara lahir hingga mati? Bahwa jodoh itu hanya soal perjumpaan hingga perpisahan?

Selamat Idul Adha. Jaga kolesterol anda!

2 thoughts on “Panen Madu dan Keakraban

    1. Matur nuwun ralatnya. Anggap saja saya tak sengaja. Tadi sempat bikin footnote soal kenapa pake ‘fii’ tapi takut postingnya jadi kepanjangan dan dituduh ngubah ayat… ๐Ÿ™‚

Leave a Reply

Your email address will not be published.