Masih ingat dengan Rivers Cuomo? Oke, memang itu nama yang aneh untuk vokalis band yang tenar di era 90-an. Weezer, nama band yang saya maksud. Jika anda tak kenal, mungkin karena kala itu anda lebih kenal dengan Oasis dan sebangsanya. Tapi Weezer punya penggemar tersendiri, seperti halnya di seluruh dunia. Mereka punya pasar tersendiri.
Musik mereka sering disebut sebagai nerd-rock, atau musik rock nya anak-anak kutu buku. Dan memang, tengoklah gaya mereka yang jelas jauh dari ciri khas rock star. Bahkan bukan rahasia bahwa Rivers Cuomo sang frontman sekolah di Harvard, dan lulus dengan cum laude.
Tapi saya lebih suka menyebut musik mereka dengan pop-metal. Musik yang menghentak namun canggung semacam ada perasaan kurang sreg dan tidak pas tapi entah bagaimana terasa sebagaimana mestinya. Dan suara Rivers terdengar canggung tak percaya diri dengan lirik-lirik absurd yang kebanyakan membahas hubungannya dengan manusia lain yang canggung.
Seperti nerd lain, Rivers canggung melakukan interaksi dengan manusia lain, ketambahan dengan kenyataan bahwa dia lahir dengan ukuran kaki yang berbeda Antara kanan dengan yang kiri (yang kemudian diperbaiki dengan prosedur pembedahan bernama Ilizarov procedure yang lama dan menyakitkan). Dan dia menderita sindrom bipolar.
Sukseslah Weezer menjadi semacam corong bagi mereka yang tersisih namun ingin bermain rock. Lalu apalagi yang bisa dibahas dari band bernama Weezer? Ah iya, mereka merilis album baru. Album ke sembilan yang bertajuk “Everything Will Be Alright In The End“.
Seperti pagi-pagi lain, saya bangun pagi kurang lebih pada pukul setengah empat-an. Sebelum masuk ke bilik untuk menjalankan rutinitas boker pagi, saya menyumpal telinga saya dengan earphone dan mulai mendengarkan Weezer.
Sebelum membahas track by track, saya ingin bilang bahwa Weezer (karena merupakan band besar dan punya pengikut fanatik) tentu sudah mengalami fase dianggap sudah mati dari sisi kreatifitas dan apapun yang mereka ciptakan akan selalu dibandingkan dengan karya-karya terbaik mereka di masa lalu. Untuk Weezer, karya terbaik mereka adalah “Blue Album” pada tahun 1994 dan “Pinkerton” pada tahun 1996.
Oke, memang bagi sang vokalis, album “Pinkerton” adalah kegagalan, sehingga saat itu dia memutuskan untuk kembali ke bangku kuliah menyelesaikan apa yang telanjur terbengkalai. Biarpun begitu, Pinkerton mempunyai banyak penggemar. Jamaknya sih, Green Album yang dirilis pada tahun 2001 juga sering disebut sebagai album terbaik mereka. Tapi kembali lagi, ini soal selera, bukan?
Pasca album “Maladroit” di tahun 2002 dan puncaknya di album “Make Believe” di 2005, Weezer sering dituduh tidak original dan tidak jujur dalam berkarya, sehingga dianggap berkarya sesuai pasar yang kalau dipikir-pikir meski mereka hadir di tiap jenis kekinian (pada saat itu), mereka tetaplah orang-orang yang canggung dan nampak tak cocok di sana.
Padahal, mungkin justru mereka terutama Rivers Cuomo selalu menjadi diri sendiri dan melakukan apapun yang dia mau. Saat suara di kepalanya bilang bahwa dia suka pesta, maka dugem-lah dia. Saat dia pingin seluruh anggota lain nyanyi, tak ragu dia ngasih mikrofon kepada teman-temannya. Ketika dia suka Lady Gaga, dengan cuek dia manggung mengenakan wig berwarna pirang dan bernyanyi Poker Face.
Tentu saja penggemar fanatik akan mengernyitkan dahi dan mbatin: “Yok opo sih iki?”, lalu nuduh ini dan itu yang bermuara pada prasangka bahwa Rivers Cuomo dan gerombolannya kehabisan ide. Ya, menjadi diri sendiri, meski teorinya didambakan dan dikagumi banyak orang, ketika dipraktekkan bisa jadi lain 180 derajat. Tapi, bukankah tiap orang selalu punya hal negatif untuk disematkan pada orang lain, bukan?
Bagi saya, meski album terbaru ini terdengar sangat Weezer, dimana sukses melempar saya ke tahun-tahun 90-an, saya justru merasa album ini tidak jujur. Album ini seolah sekadar ingin membuktikan ke dunia (minimal ke para penggemarnya), meyakinkan mereka bahwa mereka masih bisa nge-Weezer. Dan mereka sukses.
Album berjudul panjang ini, Everything Will Be Alright In The End, berpusat pada tiga hal: hablum minannaas antara Cuomo dengan orang lain (terutama anggota band-nya), hubungannya dengan perempuan dan hubungannya dengan ayahnya.
Album dibuka dengan Ain’t Got Nobody yang bercerita soal menjadi orang tua (apa sih bahasa Indonesianya ‘parenthood’?) yang diawali dengan suara anak kecil ketakutan tak bisa tidur lalu disambung suara sang ibu menyebut judul album ini. lalu dilanjut dengan lagu Back To Shack, mengajak kita kembali ke tahun 90-an dan membuat saya misuh pas: “Rockin’ out like it’s ’94”. Dari liriknya dituangkan penyesalan atas apa yang telanjur terjadi di album-album sebelumnya. Tengoklah penggalan liriknya:
Sorry guys I didn’t realize that I needed you so much
I thought I get a new audience, I forgot that disco sucks
I ended up with nobody and I started feeling dumb
Maybe I should play the lead guitar and Pat should play the drums
Take me back, back to the shack
Lagu berikutnya semacam sorry-not-so-sorry, berjudul Eulogy for a Rock Band. Lagu Lonely Girl hadir dengan Weezer sekali, ciamik. lagu I’ve Had It Up to Here hadir mengukuhkan niat mereka untuk kembali ke akar mereka, dengan lirik: “Don’t want my music to be less well known than my face..”. Oke, U2 pun mencoba kembali ke akar mereka, meski agak kabur (untuk tidak mengatakan mereka gagal), tapi Weezer sukses luar biasa.
Selain tiga hal yang saya katakan di atas soal inti album ini, lagu The British Are Coming kayaknya soal lain sih, mungkin soal politik terutama di Amerika, entahlah. Da Vinci hadir megah dengan lirik: “Even Da Vinci couldn’t paint you… and Stephen Hawking can’t explain you”. selanjutnya Go Away hadir menggemaskan, duet menakjubkan antara vokal Rivers Cuomo dengan Bethany Cosentino dari Best Coast.
Cleopatra hadir selanjutnya bak narator atau pembaca berita yang lagi melaporkan kisah cinta dengan santai. Lalu Foolish Father mengajak kita memaafkan ayah-ayah kita. Seorang ayah tentu ada kekurangannya sebanyak apapun dia mencoba menjadi yang terbaik bagi anaknya. Brilian.
Dan bukan Weezer namanya kalau tak aneh, album ditutup dengan track berdurasi delapan menit yang dibagi menjadi tiga sesi, yang disebut ‘Futurescope Trilogy’. Berisi: “I. Wasteland”, “II. Anonymous” dan “III. Return to Ithaka” yang kebanyakan berisi musik instrumental yang jika tak sabar akan membosankan, dan secara tidak masuk akal malah menjadi sangat masuk akal. Sama jeniusnya dengan yang Muse lakukan di album The Resistance tahun 2009 dengan trilogi Exogenesis Symphony (part 1, 2 dan 3).
Album ini layak didengarkan lagi dan lagi, membuat rindu tahun 90-an, meski saya ragu akan di bahas di grup anak-anak 90-an di sosmed yang tengah booming saat ini. Dan yakinlah, semua akan baik-baik saja…
…pada akhirnya.
One thought on “Semua Akan Baik-baik Saja Pada Akhirnya”