Kurus kerempeng, kumal, dan selalu mengenakan topi yang dipakai secara terbalik. Nampaknya itu yang melekat di kepala orang-orang yang mengenal saya di jaman SMA. Masa-masa dimana saya berbuat sesuka saya, tak peduli itu populer ataupun tidak. Waktu dimana saya mendengarkan semua jenis musik yang saya temui. Mendengarkan Rhoma Irama hingga Edane, Limp Bizkit hingga Bjork.
Oasis dan Nirvana tenar jaman saya SMP, sedangkan masa SMA yang berjaya adalah Nu-Metal. Radio kala itu diramaikan oleh Limp Bizkit yang memang begitu digemari oleh banyak orang termasuk saya. Setelah itu muncullah band seperti P.O.D. dan akhirnya Linkin Park. Beruntung saya berkenalan dengan lingkaran penggemar musik keras baik metal atau genre punk, meski tak dipungkiri saat itu saya juga demen ama Sheila On 7 dan Vertical Horizon.
Saya begitu menggandrungi KoRn yang tak pernah seterkenal Limp Bizkit, setidak-tidaknya di Indonesia. Jika 90-an didominasi keresahan dan kegalauan a la Nirvana, Pearl Jam atau Soundgarden, di tahun 2000-an itu semua berubah menjadi kemarahan yang luar biasa. Tiba-tiba semua mengumpat marah-marah. Bahkan di jaman itulah musik rap mulai dijajah oleh kulit putih, Eminem muncul pada saat yang tepat.
Namun yang berhasil sukses meracuni saya hingga ke soal fashion, tentu saja Limp Bizkit. Kemana-mana saya tampil mengenakan topi. Serius, kemana-mana.
Saya mendengarkan semuanya. Mendengarkan U2, Blink 182, Nine Inch Nails, Marilyn Manson, Rage Against The Machine, Green Day, KoRn, P.O.D., Red Hot Chili Peppers, Eminem, Radiohead, Blur, Crazytown, hingga akhirnya berkenalan dengan Slipknot. Jika generasi bapak saya mengenal Black Sabbath dan KISS yang teatrikal, maka jaman saya diwakili oleh Slipknot.
Sembilan orang yang berbadan besar berseragam bak montir dan mengenakan topeng menyeramkan memainkan musik penuh kemarahan, kebencian dan keputusasaan ini begitu memukau saya. Slipknot hadir lantaran bagi saya Nirvana terlalu cengeng dan Metallica tak cukup marah. Sementara KoRn seperti kumpulan orang marah dan depresi namun dalam pengaruh obat.
Jika dipikir-pikir sekarang, saya juga bingung apa yang membuat saya semarah itu dulu. Entah itu cuman gejolak anak muda belaka atau memang karena masalah yang dulu saya hadapi tak ada seujung kukunya yang saya hadapi sekarang.
Waktu berlalu, jaman berganti. Dan musik kontemporer makin membingungkan saya, menempatkan saya semacam menjadi dinosaurus baru. Akhirnya saya menjadi bagian dari generasi yang senang mencibir produk kekinian sambil membangga-banggakan dan membandingkan dengan jaman muda dulu. Terima kasih kepada internet, musik yang saya dengarkan makin luas cakupannya, baik dari segi genre maupun jaman.
Lalu bagaimana dengan band-band musisi kesayangan saya jaman SMA dulu? Limp Bizkit berujung menjadi sampah yang besar kepala, yang memaksakan diri untuk terus berkarya sambil menyombongkan jumlah rekaman yang mereka jual di masa lalu. KoRn juga makin seperti orang yang secara teratur ditambahi dosis dalam obat mereka. Sedang Slipknot pada 2010 kehilangan bassis dan penggebuk drum mereka, sementara album terakhir dirilis enam tahun silam.
Tapi rupanya itu tak menghentikan Corey Taylor cs., Slipknot merilis album kelima mereka, dengan formasi baru dan tentu saja topeng-topeng baru. Dan saya langsung menyukainya sejak pertama kali mendengarkan satu album penuh. Sebelumnya single “The Negative One” dilempar ke publik dan mendapat sambutan hangat dari penggemar yang kangen, lalu single kedua dirilis, sekaligus pamer topeng baru, lagu itu bertajuk “The Devil In I” yang harus diakui luar biasa.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=XEEasR7hVhA]
Begitu banyak band tetap dianggap agung sepanjang masa lantaran mereka cepat bubar atau terpaksa bubar. Mengutip Harvey Dent di The Dark Knight:
“You either die a hero or you live long enough to see yourself become the villain.“
Setiap band mengalami masa dimana karya mereka dibandingkan dengan karya di awal karier mereka yang sebelumnya telah sukses membawa mereka ke puncak ketenaran, seperti U2 dan Weezer, misalnya. Dan ini tantangan besar bagi Slipknot, mengingat mereka ditinggal pembetot bass dan penggebuk drum mereka.
Dan rupanya kekuatiran saya tak beralasan, Slipknot tetap menjadi Slipknot di album “.5: The Gray Chapter” ini. Masih marah-marah dan penuh resah dan tetap berkarakter mentah. Slipknot, bagi saya tetap mewakili definisi rock purba yang masih layak didengarkan, baik dari segi musik maupun lirik. Kebangetan sih misalnya saya mbandingin kekuatan lirik yang disusun Corey Taylor dengan lirik lagu Anaconda milik Nicki Minaj, tapi poin yang ingin saya bilang adalah kekuatan utama musik metal itu di lirik.
Kepergian Paul Gray dan Joey Jordison, secara samar memang dibahas, tapi tidak frontal dan lebay. Bahkan kematian bassis mereka tidak lantas dimanis-maniskan dalam lirik, bagaimanapun juga mereka masih kehilangan sosok Paul. Buat para “maggot”, panggilan untuk para penggemar mereka, mungkin album ini semacam kawin silang antara album Iowa di tahun 2001 dengan album Vol. 3: (The Subliminal Verses) di tahun 2004.
Album ini dibuka dengan lagu “XIX” yang memang dibuat untuk pamer vokal Corey Taylor, kiranya. Lagu yang hanya diiringi dengan tambal sulam musik sample dan tumpukan suara alat musik gesek yang seolah berhantu ini hadir luar biasa dan memang layak ditaruh di urutan pertama. Lagu kedua adalah “Killpop”, lagu yang awalnya saya kira bakal seperti elektronik dan bahkan suara Corey hadir dengan tipis dan ringan, tapi lalu berubah berat a la James Hetfield, dan kembali lagi ringan setelahnya.
“The One That Kills The Least” hadir dengan suara gitar yang meraung diulang-ulang dan vokal yang ditumpang tindihkan. Lagu “Custer” sih memang dibuat untuk memancing pendengarnya untuk agresif dengan lirik: “Cut, cut, cut me up and fuck, fuck, fuck me up” diulang-ulang hingga darah mendidih.
Saya selalu berpendapat, metalheads are friendly people. Kiranya masih relevan kalau disangkutpautkan dengan Slipknot. Dan sah-sah saja kalau penggemar Slipknot bisa menghubung-hubungkan nyawa tiap lagu di album ini dengan kepergian Paul dan Joey. Slipknot jelas bukan segerombolan ABG yang teken kontrak untuk tampil jejingkrakan seimut mungkin dengan kemungkinan bongkar pasang sesuka manajemen, tiap anggota band adalah keluarga.
Getir, sedih dan rasa hangat yang tersisa akan nampak di album ini, sepintar apapun mereka coba samarkan. Anggaplah saya norak, namanya juga penggemar. Dan tak tanggung-tanggung, saya menjadi penggemar band ini sejak album pertama di tahun 1999 meski baru saya dengarkan di tahun 2000. Jelas pendapat saya kurang obyektif. Dan sepanjang apapun saya berusaha menjelaskan album ini, akan percuma jika anda bukan penggemar Slipknot apalagi bukan penggemar musik heavy metal (untuk tidak merendahkan Slipknot dengan sebutan nu-metal).
Album ini membuktikan bahwa mencoba menjadi diri sendiri, layak dilakukan, atau seharusnya dilakukan.
One thought on “Setan-setan Keras Kepala”