Hai kalian-kalian makhluk melata di muka bumi yang tak punya hal lebih penting, atau setidak-tidaknya hal yang lebih pentingpun masih bisa diabaikan untuk sejenak mampir membaca tulisan ini, terima kasih. Iya terima kasih, berharga atau tidak, kita tak punya waktu yang dijatahkan pada diri kita. Makanya saya beneran ingin berterima kasih pada kalian yang masih mau membaca tulisan ini hingga kalimat kedua.
Meski banyak di antara kalian yang tak saya kenal, tapi entahlah, bagi saya kalian sudah memenuhi definisi teman. Maafkan saya atas kecanduan definisi. Seperti yang pernah saya bilang, definisi itu penting agar kita tahu cara memaknai sesuatu tersebut dengan pas. Pas, tidak lebih tidak kurang.
Jadi, teman-teman, tulisan kali ini adalah upaya saya untuk kembali menulis. Rupanya menulis itu berbeda dengan mengendarai sepeda, jika lama tak dilakukan, biasanya akan kesulitan. Terbukti pada saya. Jangankan untuk menyusun kerangka demi kerangka dan membalutnya dengan argumen yang tepat, menentukan ide tulisan saja saya kepayahan.
Kemudian saya teringat tatkala berkenalan dengan seorang teman baru di dunia maya yang juga suka menulis, dan dialah yang entah bagaimana menularkan semangat untuk kembali menulis. Kepada mereka yang menganggap remeh dunia maya, menganggap bahwa tak ada yang nyata di sana, saya hendak menanyakan satu hal pada kalian, memangnya kalian yakin bahwa sesuatu itu nyata di dunia nyata?
Jika segala sesuatu bisa dipalsu, dirias dan dibalut dengan topeng di dunia maya, kenapa itu tak bisa dilakukan di dunia nyata?
Untuk beberapa orang, dunia nyata terlalu menakutkan. Bukan, bukan kami tak punya nyali, hanya saja mereka acap kali disakiti. Dunia maya di sisi lain menawarkan sesuatu yang jauh berbeda dengan dunia nyata. Tak ada kewajiban bertegur sapa dengan ditaburi senyuman yang dibuat-buat, tak ada basa-basi berlebihan seperti halnya di dunia nyata.
Tapi kembali lagi, bukan berarti tak ada yang nyata di dunia maya. Sebagaimana sebuah bahaya tetaplah sebuah bahaya meski berada di ranah dunia maya. Sesuatu bisa menjadi nyata, tergantung bagaimana kita memaknainya. Dan gairah menulis yang muncul tiba-tiba itu tak layak rasanya saya biarkan layu untuk kemudian mati lagi seperti yang sudah-sudah.
Menulis harus saya paksakan kembali. Setidaknya itu yang ada di benak saya seharian ini. Dan baru kesampaian selepas maghrib tadi, untuk membulatkan tekad menulis hal yang sama sekali tidak penting bagi keseimbangan ekosistem apalagi keseimbangan kosmik.
Teman, apa sebenarnya arti teman. Memang definisi bisa berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kita untuk menganggap seseorang itu teman atau bukan. Agar adil, maka saya akan merujuk pada definisi teman yang ada di daring KBBI:
teman/te·man/ n 1 kawan; sahabat: hanya — dekat yg akan kuundang; 2 orang yg bersama-sama bekerja (berbuat, berjalan); lawan (bercakap-cakap): — seperjalanan; ia — ku bekerja; 3 yg menjadi pelengkap (pasangan) atau yg dipakai (dimakan dsb) bersama-sama: ada jenis lumut yg biasa dimakan untuk — nasi; pisang rebus enak untuk — minum kopi; 4 cak saya (di beberapa daerah dipakai dl bahasa sehari-hari): tiada — menaruh syak akan dia;usahlah — dimandi pagi, pb tidak usah kamu lebih-lebihkan (kaupuji-puji);
— nasi lauk-pauk atau sayur;
— sejawat kawan sepekerjaan;
Dari sana setidaknya ada empat definisi. Empat, bisa kita pakai semua, kita sambung-sambungkan atau hanya kita pilih satu, terserah kita. Dari definisilah saya akan menjelaskan kenapa saya layak menjadi teman anda sekalian. Dan akan saya coba jelaskan satu persatu menjadi satu tulisan untuk tiap satu alasan.
KENAPA SAYA HARUS MENJADI TEMAN ANDA?
(bersambung)
Kalau kata Sabda Armandio Alif dalam novelnya “KAMU” : “Pernahkah kau bertanya, misalnya, bagaimana jika satu-satunya yang nyata adalah ilusi?”
Kita bisa debat panjang soal itu, karena kata ilusi sendiri membunuh kata nyata di sana, semacam ular yang sibuk mengunyah ekornya sendiri.
https://ngendonesia.wordpress.com/2015/07/08/pembohong/
Om ampun om. Otaknya masih ngebul ini
di bulan penuh maghfiroh ini….