Moral adalah salah satu hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan peraturan yang diberlakukan di dalam suatu masyarakat yang secara singkat kita sebut dengan hukum. Penetrasi moral dalam wilayah hukum memang bukan hal baru apalagi mengejutkan. Tak bisa dipungkiri, kontroversi moral seringkali terjadi terjadi di wilayah hukum positif. Sebagai contoh, satu atau lebih tindakan yang dalam kondisi dan lingkungan tertentu secara moral diterima dan diperlukan menjadi kontroversi apakah tindakan tersebut dalam kondisi dan lingkungan tertentu dapat diterima oleh hukum setempat (dilegalkan).
Moral memang wilayah pribadi, bersifat subyektif meskipun ia dipengaruhi oleh banyak hal termasuk dimana seseorang lahir, tumbuh dan berkembang dan bagaimana pendidikan yang dia terima dalam kurun waktu tersebut. Sedangkan hukum di sisi lain adalah lebih bersifat konsensus, kesepakatan bersama, meskipun memang di beberapa tempat dan atau dalam kurun waktu tertentu sebuah hukum bisa disusun secara tangan besi.
Dan standar moral manusiapun dipengaruhi jaman, dimana sesuatu hal yang pada masa lampau dianggap tabu dan terlarang, menjadi jamak dan boleh dilakukan di masa kini. Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang pada masa lalu jamak dilakukan menjadi sesuatu yang dilarang di masa kini.
Maka tak heran tindakan semacam aborsi, homoseksual atau bunuh diri yang dibantu tenaga ahli kesehatan (physician-assisted suicide) pada kurun waktu tertentu bisa secara moral diterima, akan tetapi tidak menjadi hal yang permisif secara hukum positif, karena satu dan lain hal.
Begitu juga sebaliknya beberapa tindakan yang disebutkan di atas bisa jadi tidak dapat ditolerir secara moral oleh seseorang atau lebih, akan tetapi hukum yang berlaku di daerah tersebut berbicara lain, seratus delapan puluh derajat dari sudut pandang moral tadi.
Maka lantas muncul pertanyaan, apakah moral harus seiring sejalan dengan hukum yang berlaku? Jika iya, lantas moral yang mana? Moral siapa? Dan apa sebenarnya moral itu sendiri?
Apakah sesuatu tindakan yang secara konsensus dianggap sebagai tindakan yang berkategori amoral lantas harus secara otomatis mewajibkan kepada hukum untuk melarangnya? Atau sebaliknya, apakah tiap-tiap yang termasuk tindakan bermoral bisa diakui secara otomatis oleh hukum?
Karena, seperti dicontohkan pada kasus bunuh diri yang dibantu tenaga ahli kesehatan (physician-assisted suicide) dimana dalam kondisi tertentu bisa dibenarkan dan atau diterima secara moral, akan tetapi tetap punya nilai positif dan manfaat ketika hal tersebut tidak dibenarkan dan tidak diijinkan oleh hukum positif.
Sebagaimana disebutkan tadi, bukanlah hal yang mengejutkan ketika hukum positif begitu banyak mengalami penetrasi oleh etika dan moral, dan memang seharusnya begitu. Akan tetapi perbincangan ini akan sangat rumit mengingat jangan-jangan ketika para ahli hukum berbicara (debat) soal moral, bisa jadi tidak membicarakan hal yang sama. Karena moral itu lebih bersifat personal dan subyektif.
Hukum adalah salah satu alat untuk mengatur tindakan kita, dan bicara soal tindakan, secara sederhana apa yang mempengaruhi kita untuk melakukan sebuah tindakan atau lebih adalah tujuan akhir yang dikehendaki (desired end).
Contoh: suatu saat saya tidak menghadiri rapat kantor karena pada siang itu ada pertandingan sepak bola dan untuk menontonnya di televisi, saya harus berada di luar ruangan saya. Melakukan sesuatu dan atau tidak melakukan sesuatu, sebagaimana saya contohkan tadi digerakkan oleh tujuan akhir yang dikehendaki. Mudah saja memahaminya. Saya tidak berada di ruang rapat karena berada di ruangan lain yang ada televisinya untuk menonton siaran sepak bola.
Dan dalam kerangka hukum, maka yang dilihat adalah bahwa saya mangkir dari undangan rapat. Dengan berdasar pada hukum yang berlaku di tempat kerja, apakah secara otomatis saya bisa dihukum karena mangkir rapat? Belum tentu. Jika saya adalah seorang wartawan olah raga dan undangan rapat tersebut adalah rapat membahas rencana kegiatan menyambut HUT kemerdekaan negara ini, maka tindakan saya mangkir dari rapat akan sangat bisa diterima.
Maka jelas jika pada siang itu tidak ada siaran sepak bola di televisi, saya akan menghadiri rapat kantor, kecuali saya punya desired end(s) yang lain. Di sini jelas tentang apa alasan saya dalam melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. Lalu dimanakah moral? Apa alas an moral yang mendasari saya melakukan hal tersebut? Apa sebenarnya yang disebut dengan alasan moral?
Dengan begitu banyaknya jumlah manusia di muka bumi dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan berkurang jumlahnya, maka perbincangan moral akan menjadi makin pelik. Tambahkan variabel relijiusitas di sana, misalnya.
Membicarakan moral dengan latar belakang agama tentu beda dengan perbincangan moral yang dilakukan oleh atheis bukan?
Beberapa orang percaya bahwa moral ada kaitannya langsung dengan relijiustitas, akan tetapi tak sedikit juga yang menganggap bahwa tak bertuhan pun seseorang tetap bisa bermoral. Dan seperti yang saya bahas di atas, pemahaman kita tentang moral, tentang nilai-nilai yang dilandasi moral yang baik tentu tidak bisa dipisahkan dengan norma agama yang didapat dan atau tidak didapat pada saat masa pertumbuhan kita sejak kecil hingga dewasa.
Lantas bisakah kita jika berusaha memisahkan hukum dengan moral (dan etika), ketika kita sadari bahwa tujuan kita menyusun hukum itu sendiri desired end-nya adalah agar tercipta komunitas yang etis dan bermoral?
Dan kembali saya bertanya hal yang sama, moral itu apa?
Buat saya, aturan hukum sendiri adalah sebuah moral. Moral itu sebuah konsensus dalam sebuah kelompok atau lingkungan terntentu. Sementara Etika adalah penimbang kritis moral-moral yang ada apakah mengandung manfaat, bertanggung jawab, tidak menyiksa diri, dan ada asas memberi dan menerima. Dengan demikian tidak semua moral mengandung etika. – Maaf saya menulis ngawur
Semoga tempat makan ini jadi terkenal karena masuk blog pak Budi , Aerith