Hujan membasahi bumi dengan mode hidup enggan mati tak mau tadi malam. Namun saya yang tengah berkendara motor, cukup terganggu dengan rintik hujan yang bertubi-tubi menyerang wajah saya. Di sebuah kelokan, saya melihat dua manusia tengah berjalan pelan melintasi hujan tanpa payung, tanpa jas hujan. Seorang bapak dan seorang ibu.
Ketika saya sudah dekat dengan mereka, saya bisa melihat bahwa dua orang tersebut kira-kira seumuran dengan orang tua saya. Sang bapak, dengan badan agak terbungkuk, dengan sabar menuntun wanita yang kemudian saya ketahui sebagai istrinya. Saya menyalip mereka lalu menghentikan laju sepeda motor saya di depan mereka.
Jadilah tiga manusia dan satu sepeda motor berada di jalan raya yang membelah area persawahan yang sepi serta gelap. Seramah mungkin, saya bertanya kepada mereka, tentang hendak kemana mereka pergi. Sang suami menjawab, bahwa mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah mereka, kira-kira lima belas kilo meter dari tempat kami berdiri.
Hari memang telah larut, tak ada angkutan umum yang beroperasi. Dan kendaraan pribadi nampaknya mustahil untuk ditumpangi. Bukankah sudah jamak digembar-gemborkan di kehidupan sehari-hari untuk tidak memberi tumpangan kepada orang tak dikenal, apalagi di malam hari seperti ini? Jangankan memberi tumpangan, berhenti pun jangan.
Meski tak searah dengan arah rumah saya, saya tawari mereka berdua tumpangan. Awalnya mereka menolak, tak punya uang, kata sang istri. Kemudian saya yakinkan mereka bahwa saya bukanlah tukang ojek, dan tawaran saya itu gratis.
Jadilah kami bertiga mengendarai sepeda motor, melintasi sawah-sawah yang lebih sepi lagi dengan jalan yang menyempit, tak beraspal dan mendaki. Setelah melalui jalanan yang sama sekali tidak saya kenali, sampailah kami di rumah pasangan suami istri itu. Sebagaimana saya agak memaksa mereka untuk saya beri tumpangan, mereka juga sedikit memaksa saya untuk mampir, untuk sekadar meminum kopi di rumah mereka. Saya turuti.
Sembari menikmati kopi kampung, saya bertukar cerita dengan mereka. Tentu, lebih banyak mereka yang bercerita dibandingkan dengan saya.
Tentang bagaimana mereka kangen dengan cucu-cucu mereka hingga menempuh perjalanan jauh dengan angkutan umum. Tentang bagaimana menantu mereka enggan datang ke rumah sehingga mereka tak bisa berjumpa dengan cucu-cucunya. Tentang waktu yang cepat berlalu hingga mereka kesorean tak kebagian angkutan umum saat pulang.
Tentang tubuh renta mereka yang harus seolah diseret dengan berjalan kaki sepanjang 25 kilometer lebih, hujan pula. Juga tentang payung mereka satu-satunya yang hilang dicuri saat mereka mampir ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib yang dilanjut dengan shalat isya.
Sang istri kemudian bertanya kepada saya, soal alasan saya mau menolong mereka.
“Ndak tahu, Bu. Ya pengen nganterin saja. Kasihan. Malam lagipula hujan.”
Begitu jawaban saya. Meski tak seratus persen benar. Ada satu yang saya sembunyikan. Saya teringat Ibu saya. Dalam hati saya sungguh-sungguh meminta kepada Tuhan, agar perempuan yang melahirkan saya itu makin diringankan penderitaan hidupnya. Minimal, jika dia ditimpa masalah, baik besar maupun kecil, akan ada orang yang menolongnya; saya ataupun orang lain.
“Semoga, Mas… Panjenengan dikasih rejeki yang banyak sama Tuhan. Diterima semua amal ibadah Mas. Dan segala sesuatu yang Mas punya bisa barokah!”, kata si suami dengan tatapan serius, suara bergetar, pertanda dia serius di tiap kata-katanya.
Tidak bisa tidak, saya ikut mengamini, sambil menyunggingkan senyum tentu saja.
Tuhan, jangan marah ya! Kalau-kalau cerita saya ini membuatmu tersinggung. Toh engkau pasti sudah tahu segalanya. Dari hal besar hingga isi hati manusia, yang ciptaanmu itu.
Meski sesungguhnya saya beriman kepada Tuhan yang maha pemurah dan tidak mengidap darah tinggi, saya tetap berharap agar Tuhan tidak marah. Berhubung belakangan Tuhan sering marah-marah di muka bumi. Setidaknya demikian yang nampak oleh mata saya.
Tuhan membakar hutan, karena marah. Tuhan menurunkan penyakit mematikan, karena marah. Tuhan membunuh dan memperkosa manusia, karena marah. Tuhan juga makin mahal sekaligus makin murah. Tuhan hadir dalam begitu banyak produk, bahkan dalam lisan manusia yang dihargai dalam takaran menit dan jam dalam pengajian-pengajian dan khotbah-khotbah.
Saya serius meminta Tuhan jangan marah kali ini. Jangan marah dengan sang menantu yang enggan berkunjung ke rumah mertuanya. Jangan marah dengan pemerintah yang tak menyediakan transportasi publik 24 jam. Jangan marah dengan pencuri payung di masjid itu. Pokoknya jangan marah!
Kenapa? Karena itu sama sekali bukan masalah saya. Karena diam-diam saya ingin Tuhan hanya marah kalau saya dijahati, dikhianati, disakiti dan dipecundangi. Karena dalam tiap doa dan lelaku saya, saya berulang-ulang diam-diam berharap Tuhan sudi menjadi pesuruh saya.
Amin.
KETERANGAN GAMBAR: dari sini.
Mungkin Tuhan juga diam karena dia sedang marah.
Tuhan ada banyak belakangan. Yang marah-marah baik bersurban maupun bertopi baja, adapula yang diam seribu bahasa meski banyak hal bisa dicipta.
Mengena pisan mas. Sip!
Tuhan sedang sayang dengan caranya, tanpa kamu tahu. Mungkin,