Memanusiakan Tuhan

Kopiku tinggal seperempat gelas. Pengunjung kafe tinggal sepasang muda-mudi yang dimabuk asmara. Bagaimana aku tahu? Mereka saling memegang tangan dan menganggap cuman itu yang penting bagi mereka saat itu. Tak pernah nampak salah satu dari mereka atau keduanya sibuk dengan gawai mereka. Mereka berbincang sambil sesekali menyeruput minuman yang mereka pesan sebelumnya.

Aku kembali mengambil gelas kopiku. Menyeruput pelan, lalu meletakkan kembali ke meja. Aku tak sendirian, ada tiga kawan lain. Mereka tengah asyik berdebat, lebih tepatnya saling merasa paling benar, tentang diri mereka dan bisa jadi tentang orang lain. Aku? Aku kebingungan hendak melakukan apa.

Gawai yang kubawa sudah setengah jam sebelumnya mati kehabisan baterai, sementara hujan masih deras mencumbu bumi. Sedangkan ikut berenang dalam percakapan ketiga kawan, nampaknya bukan pilihan yang pas.

Ketiga kawanku ini telah lama tak saling jumpa. Dua dari mereka bahkan baru pertama kali jumpa setelah satu dasawarsa. Kalian tahu apa yang tengah mereka perbincangkan? Tuhan.

Aku lupa bagaimana bisa tiba-tiba obrolan kami membelok ke soal Tuhan. Soal yang tak benar-benar kupahami, kalau aku boleh jujur. Kupikir, ajakan ngumpul itu hanya soal temu kangen, tapi berujung pada perbincangan soal Tuhan.

Ah, kayaknya, kalau tidak salah, obrolan kami soal Tuhan dimulai saat salah satu dari kami mengaku bahwa dia telah setahun lebih menjadi atheis. Dan nampaknya kedua kawan saya yang lain tak tega benar mengetahui kawannya menjadi atheis, selain kaget.

Aku? Sebagaimana beberapa orang pahami, aku sudah lama berusaha untuk tidak ikut campur. Aku berpikir bahwa aku tak butuh iman orang lain, aku lebih butuh akhlak mereka. Ya, sebagai manusia, tentu aku masih harus berinteraksi dengan manusia lain, makanya kubilang aku butuh akhlak orang lain, bukan iman mereka.

Kalian tahu aku suka sekali pergi ke warung pecel lele? Nah, selain rasa pecel lele, aku sama sekali tak pernah mempedulikan keimanan dan atau ketakwaan pemilik warungnya. Aku hanya memikirkan kebersihan warung dan makanannya, yang merupakan ranah akhlak.

Kembali soal ketiga kawanku, aku enggan terlibat perbincangan mereka, tapi juga tak punya alasan kuat untuk meninggalkan kafe dengan alasan yang telah kuutarakan tadi. Dan mati pulai gawaiku.

Dua kawanku masih sibuk memaparkan bahwa keputusan kawan yang satu lagi menjadi atheis adalah sebuah kesalahan, sedangkan kawanku yang satu itu juga tak hilang stamina untuk terus menertawakan kedua kawannya yang -kukutip- masih mau saja menyembah sesuatu yang tidak ada.

Dibahasnya soal banyaknya kejahatan di muka bumi yang merupakan ulah manusia, yang makin hari makin meningkat baik dari segi jumlah, maupun dari sisi level kesadisannya. Tentang bagaimana manusia menjadi kebas akan kesadisan dan kekejaman. Tentang bagaimana manusia makin merusak bumi, yang sampai saat ini, adalah satu-satunya tempat di dunia dari seluruh benda di angkasa, yang bisa kita tinggali. Lalu berujung pada satu pertanyaan:

“Jika benar Tuhanmu itu maha agung dan merupakan sumber kebaikan, kemana Dia dengan semua kejahatan di muka bumi? Jika dia maha kuasa, kenapa tak mampu melenyapkan segala angkara murka?”

Lalu dua kawanku mencoba menjawab bahwa semua yang terjadi adalah ujian, bahwa selalu ada hikmah di balik segala sesuatu, bahwa segala kejahatan pada akhirnya akan mendapat balasan. Bahwa Tuhan itu maha baik, dan kejahatan di muka bumi adalah semacam seleksi darinya untuk memilah mana hambanya yang baik dan mana hambanya yang terkutuk.

Masing-masing kubu mencoba melakukan pendekatan logika pada semua pendapat yang mereka lontarkan. Sedangkan isi kepalaku penuh dengan hal lain. Hal lain seperti apakah aku harus membeli sepeda motor baru, langsiran teranyar dari sebuah pabrikan, atau tentang apakah akan berpengaruh banyak jika kadar bawang bombay pada menu ayam goreng mentega di rumah makan dekat kantor itu dikurangi.

Mungkin, di dalam benak kawan-kawanku yang mewakili kaum beragama berpikir bahwa nama baik Tuhan tengah dipertaruhkan, dan bahwa kewajiban menjaganya ada di pundak mereka. Di sisi satunya, bisa jadi sibuk menertawakan soal penghambaan manusia kepada sesuatu yang tidak kasat mata sekaligus tidak logis itu sebagai sebuah kebodohan.

Saat aku tengah melamunkan soal filter bensin mobil tuaku yang tadi sore sempat tersumbat karena penuh kotoran, tiba-tiba bahuku ditepuk dan dikasih pertanyaan:

“Kalau menurutmu gimana, Pay?”

Bajingan! Tak cukup aku tersiksa berada di tengah perbincangan maha dahsyat yang membuatku bak manusia lemah yang terperangah meyaksikan dewa-dewa di gunung Olympus saling berperang, kini aku harus urun rembug? Cialat!

Semesta rupanya berbaik hati padaku, hujan telah reda. Kuambil gelas kopiku, kuhabiskan dalam sekali teguk, lalu sembari mengenakan jaket jins bergambar lambang “Serigala Militia” di bagian punggung, aku berujar:

“Aku tak paham Tuhanku, meski kalau dihitung-hitung aku sudah lebih banyak melakukan shalat wajib dibanding Nabi Muhammad semasa dia hidup. Dan aku yakin otak dunguku takkan bisa dan takkan pernah bisa memahami Tuhan secara utuh. Aku juga tak bisa membuktikan keberadaannya secara fisik, secara wadag kasar jasmaniah, tak bisa. Tapi akan terlalu gegabah kalau aku berani bilang sesuatu itu tidak ada, hanya karena sampai saat ini aku belum pernah melihatnya. Aku sepakat kalau agama harus (sedikit-banyak) logis. Tapi tidak dengan Tuhan. Tuhan tidak harus dipahami manusia (yang notabene adalah ciptaannya). Tak juga harus dipaksa-paksakan agar masuk akal.”

Sebelum akhirnya pamit pulang, kutambahkan:

“Kalian juga tahu kalau aku sepakat soal betapa brengseknya manusia, lantas, jika Tuhan itu sedikit saja mirip manusia, kalian pikir aku mau menyembahnya?”.

One thought on “Memanusiakan Tuhan

Leave a Reply

Your email address will not be published.