Kematian adalah hal yang biasa bagi makhluk bernyawa macam kita ini, bahkan merupakan suatu kepastian. Yang saya yakin sampai saat ini belumlah ada yang mampu menghindar. Kita pasti akan mati. Pelan-pelan lantaran sakit atau tiba-tiba karena musibah. Terdiagnosa dan teramal atau terkesan mendadak tanpa aba-aba. Kematian itu hal yang biasa, yang rumit itu tafsirnya.
Kematian menjadi sesuatu yang gawat, gaduh dan menderu jika terjadi pada orang dekat kita. Saya sendiri belum pernah mengalami kematian, maka gambaran saya soal kematian adalah sok tahu saja. Yang saya tahu tentang kematian adalah bahwa segala sesuatu soal urusan di dunia ini sudah kelar. Itupun dugaan saya belaka, karena bisa jadi benar ada arwah yang bergentayangan karena penasaran.
Kemarin sore ketika di kantor, saya mendapat kabar, yang lebih tepatnya pesan berantai, tentang meninggalnya dua orang teman instansi ketika melaksanakan tugas, dibunuh. Seperti Pak Presiden, saya menggunakan diksi “bunuh”, karena bagi saya itu lebih menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
Kita terbiasa menghaluskan segala hal hingga banyak dari kata-kata yang keluar dari mulut kita tak lagi bermakna sebagaimana mestinya, atau malah sama sekali kehilangan makna. Maka kata “bunuh” adalah pilihan tepat.
Namun sebenarnya bagi orang macam saya, pembunuhan itu mengerikan tapi ndak ngeri-ngeri amat. Sepanjang hayat, pengalaman saya soal pembunuhan hanya dari tayangan di televisi atau bioskop saja. Sedang otak saya percaya bahwa apa yang dimunculkan itu kebanyakan fiktif, alias karangan semata. Kengerian saya soal pembunuhan, bisa berbeda baik dari sisi level maupun sudut pandangnya dengan kengerian anda semua. Subyektif.
Maka tak heran jika menjumpai komentar di dunia maya mengenai kasus pembunuhan dengan guyon atau malah makian terhadap si korbannya. Seperti yang terjadi pada rekan satu instansi saya yang kemarin dibunuh itu, di jejaring sosial saya jumpai ada yang menulis komen “sukurin!”.
Kenapa? Karena kematian yang terjadi itu “jauh” dari penulis komentar tersebut. Bukan sahabat, bukan sanak famili ataupun rekan sejawat. Bagi yang mengenal saya, tentu memahami bahwa saya bisa guyon soal apapun, termasuk soal kematian dan perkosaan sekalipun. Yang penting adalah sudut pandang guyonnya.
Dan jauh dekatnya kematian itu subyektif juga, karena bisa jadi banyak dari kami yang membahas kematian rekan sejawat kami itu tanpa mengurangi kenikmatan santapan malam kami.
“Bro, di Sibolga ada yang mati bro… Eh gue lagi makan nasgor pete, lu mo nitip? Eh apa? Oh iya, jurusita.. ditusuk. Oke, pedes nasgornya?”
Sejak kemarin saya tak banyak komentar soal kejadian pembunuhan di bumi andalas itu. Saya banyak terdiam dan memikirkan banyak hal. Tentang bagaimana nyawa dua orang hilang karena selembar surat dan yang ujung pangkalnya berasal dari hasil audit.
Kisah-kisah kawan-kawan di lapangan memang banyak dan beragam. Dari yang indah maupun yang menyedihkan hingga mengerikan. Tak semuanya benar dan banyak yang dilebih-lebihkan.
Tak heran jika belakangan sering saya jumpai ada pihak internal yang berkomentar bahwa jika ada tindak kekerasan (baik fisik maupun psikis) adalah sesuatu yang biasa saja, dan lumrah.
Di sisi lain ada yang menganggap kejadian tersebut adalah karangan belaka, yang biasanya berasal dari mereka yang tak pernah turun langsung ke lapangan hingga kisah menyeramkan terdengar seperti kisah rekaan belaka.
Tentu kini pihak-pihak yang menganggap kisah kekerasan pada pegawai di lapangan sebagai suatu kisah fiksi akan berubah pikiran. Ini nyata, dan dekat dengan mereka. Banyak teman satu instansi kaget bukan kepalang mendengar kabar ini. Sesuatu yang selama ini hanya mereka dengar dari mulut ke mulut, kini sungguhan bisa disaksikan melalui gawai mereka.
Banyak respon bermunculan. Ada yang pamer pengalaman masa lalu, ada juga yang merasa seolah-olah dia pernah berada di posisi rekannya yang mengalami kekerasan. Tidak, saya tak ingin bercerita pengalaman saya. Tak elok. Lagipula ini bukan perlombaan.
Saya cuman kuatir, momen ini berlalu begitu saja. Dan pegawai-pegawai yang mati dalam menjalankan tugas, dilupakan tak lama kemudian. Saya percaya ini momen yang tepat bagi instansi saya untuk terus membenahi diri. Kejadian ini membuktikan bahwa pekerjaan kami tidaklah main-main.
Banyak komentar yang berteori tentang bagaimana bisa dua orang petugas yang menjalankan tugas negara itu akhirnya dibunuh bersimbah darah akibat ditikam pengusaha. Tentu itu kebanyakan berasal dari imajinasi senggang mereka.
Mulai dari membahas soal kenapa mereka tidak didampingi petugas kepolisian, atau soal kenapa yang mengawani itu pegawai honorer. Juga soal sudah benarkah prosedur yang dilakukan jurusitanya. Membunuh, meski bukan hal baru di dunia manusia, tetaplah butuh pemicu hebat bagi manusia untuk melakukannya.
Bagaimana jika terjadi kesalahan penegakan aturan dalam penerbitan produk hukumnya? Atau bagaimana jika pengusaha itu sudah telanjur antipati saat dilakukan audit? Atau jauh sebelum itu.
Komentar itu mudah. Misalkan dibilang bahwa pengusahanya tak mengerti pajak, maka bisa saja publik menyalahkan petugas pajak termasuk instansinya, kenapa tak melakukan pembinaan sejak awal?
Sekali lagi, ngomong itu mudah. E-filing yang mudah pun bisa dicap rumit, apalagi kewajiban perpajakan level pengusaha dengan omzet milyaran.
Saya paham benar bahwa instansi tempat saya bekerja, bukanlah kesukaan banyak orang. Adalah fitrah manusia untuk tidak menyukai hal yang kami urusi. Siapa yang sungguhan suka membayar pajak?
Dan pembenci ini pun macam-macam. Ada yang benci karena dia mempunyai kewajiban untuk membayar, ada yang benci karena punya pengalaman tidak menyenangkan dengan petugas pajak, ada yang meskipun sama sekali tak pernah bayar pajak (bahkan tak punya NPWP) tapi membenci pajak karena…entahlah, dan lain sebagainya.
Berapa banyak dari kita menjadi pembenci atas hal-hal yang aslinya tidak kita pahami benar? Tapi kemudian saya tersadar, bahwa instansi saya tak sendirian. Begitu banyak kebencian di dunia ini, dari skala amuba hingga sebesar matahari.
Kawan saya yang anti pati dengan MUI, misalnya. Setelah saya ajak ngobrol, belakangan ketahuan bahwa dia membenci MUI dengan dasar yang keliru, tanpa mencari tahu terlebih dahulu. Hanya karena media massa digital bilang MUI melarang ini itu, dia langsung mengutuk, tanpa pernah mau mencari tahu kondisi yang sesungguhnya.
Ada yang bilang, kita lahir dengan bekal cinta, dan sepanjang hayat belajar untuk membenci. Nampaknya belakangan kita terlalu pintar, hingga tak butuh waktu lama untuk bisa membenci setinggi langit.
Tentu saya tak harus membahas manfaat instansi saya bagi negara di sini, banyak yang sudah membahas, dan banyak pula yang tak mempedulikannya. Abai. Karena jikalau kami ini memang sangat penting, kenapa cinta yang tercurah pada kami ini begitu getir? Rupanya benar, penting tidaknya kami ini sifatnya masturbatif, hanya kami dan segelintir pihak yang setuju.
Kepada pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan, tak elok bagi saya untuk menggurui kalian. Kalian sudah tahu apa yang seharusnya dilakukan, bukan? Tinggal soal kemauan. Jika masih ada cinta untuk kami.
Sebagai penutup, saya kutip tulisan rekan saya, Eko Novianto:
Mati! Dua orang. Dua orang pajak gugur dalam tugas. Ditusuk.
Biasa? Mungkin biasa bagi kalian. Khan gayus, khan koruptor. Khan anu. Khan ini. Khan itu.
Teruskanlah mencaci negara. Teruslah tak menghormati sistem. Teruslah merasa benar. Teruslah tak adil. Teruslah tak merasa bodoh.
Aku tak mau banyak menulis. Aku mau banyak berdoa. Karena masalah tak akan cuma berdampak pada orang-orang yang tak adil saja.
Jakarta, 13 April 2016
Saya setuju sama tulisan sampeyan ini bang. Dan entah kenapa dari sepanjang tulisan sampeyan di atas,yg menarik perhatian saya ada di bagian, “Penting tidaknya kami itu masturbatif”,
I get the point, bang. Banyak orang yg melakukannya (membutuhkannya) tp hampir semua orang menyangkalnya. Analoginya pajak banget.
Turut berduka cita, bro.
Bagian ini menarik : Berapa banyak dari kita menjadi pembenci atas hal-hal yang aslinya tidak kita pahami benar? Tapi kemudian saya tersadar, bahwa instansi saya tak sendirian. Begitu banyak kebencian di dunia ini, dari skala amuba hingga sebesar matahari.
This happens often these days ๐