Salah Kami, Pak..

Kami masih berduka atas kepergian rekan-rekan kami kala menjalankan tugas menagih pajak kemarin itu. Sedih tak terkira dirasakan oleh keluarga dekat para korban. Sedihnya kami ini ndak ada apa-apanya dibanding yang dirasakan oleh pihak keluarga, tentu saja. Kedawan jangkah, kalau kami mengklaim kami atau sayalah yang paling sedih.

Selepas kelar menyeruput kopi pagi yang telanjur dingin terpapar pendingin ruangan, saya membaca tulisan di media massa. Judulnya “Kematian Prada, Panama Papers, Pengampunan Pajak”.

 

12998326_10208314134362474_6912070568668467771_o

Sambil kukur-kukur kepala yang sesungguhnya tidak gatal, saya mikir. Prada itu siapa? Ah salah ketik, batin saya. Saya positif-sinting saja kalau itu salah ketik di judul tulisan saja. Tapi rupanya penulisan nama di kalimat pertama tulisan itu juga keliru. Lagi-lagi “Prada”. Tapi apalah arti sebuah nama, kata penyair masyhur dari Inggris, Bob Marley.

Jelas, ini salah instansi kami. Harusnya memberikan info yang akurat kepada masyarakat mengenai nama-nama pegawainya. Agar tak terjadi kesalahan seperti ini. Maafkan kami, Pak. Salah kami, Pak..

Juga kemudian bapak bilang bahwa Parada (Maaf sekali lagi, Pak.. Bukan Prada) bersama temannya sesama PNS, mati mengenaskan ditikam pengusaha. Sekali lagi, kami minta maaf, pak. Teman yang mati itu bukan PNS, levelnya masih honorer. Jadi kalau Bapak bilang pegawai golongan 2C (Saya nurut Bapak untuk tidak nulis IIc), itu pegawai rendahan maka tenaga honorer yang tidak Bapak sebutkan namanya itu super duper rendah. Setidak-tidaknya dibanding Bapak, tentu saja. Tapi itu salah kami, Pak. Harusnya kami memberi data informasi mengenai daftar tenaga honorer kami kepada bapak, setidak-tidaknya demi keakuratan tulisan Bapak ini. Bukankah instansi publik harus transparan. Salah kami, Pak..

Namanya Soza Nolo Lase, Pak. Susah ya? Diucap maupun ditulis. Jangankan Bapak, teman-teman saya saja jarang yang menuliskan namanya di akun-akun sosial media mereka. Iya, maafkan kami, Pak. Salah kami, Pak..

Lalu Bapak bilang, bahwa Prada (Saya ngikut deh, Prada) dan temannya itu tewas sebagai korban sistem perpajakan yang tidak beres. Saya mesti percaya benar bahwa orang sekaliber bapak mengucap demikian, tentu tahu betul soal sistem perpajakan negara ini. Iya, pak. Sistem yang salah. Karena sistemnya yang salah, maka tentu pelaksanaan sistemnya apalagi.

Soal kenapa pengusaha sampai bisa menunggak pajak sebesar Rp14Milyar yang Bapak bilang sederhana-tapi-tidak-punya-bukti-hitam-di-atas-putih itu, saya bisa menjawab apa, Pak? Tentu, kami lagi yang salah. Salah kami, Pak..

Bapak bilang pengusaha itu pasti (iya, bapak pake kata “pasti”) sudah ditagih berkali-kali oleh petugas pajak, tapi berhasil lolos karena petugas pajak disuap, alias ditutup mulutnya. Iya, saya paham. Ini masih bagian dari jawaban yang sederhana-tapi-tidak-punya-bukti-hitam-di-atas-putih tadi. Ndak, saya ndak bilang Bapak ngarang, Bapak pasti punya dasar. Kalaupun tidak, mana berani saya meragukan intuisi orang sekelas Bapak.

Tapi, omong-omong, apakah Bapak tahu tagihan pajaknya itu dari mana? Dari hasil pemeriksaan, pak. Beda petugasnya dengan jurusita pajak (Iya, jurusita, bukan juru sita). Ah tentu Bapak sudah tahu. Maka yang bapak bilang petugas pajaknya disuap itu artinya pemeriksa pajaknya tho, pak? Atau Account Representative yang bertugas ngawasin Wajib Pajak, termasuk sebelum dilaksanakannya prosedur pemeriksaan dan juga penagihan?

Tapi saya paham, Bapak sekadar memberi jawaban sederhana-tapi-tidak-punya-bukti-hitam-di-atas-putih, kan pak? Lanjut, Pak.

Bapak bilang Prada (Iya, saya masih makmum nulis Prada saja), mati karena sistem pajak yang buruk sehingga terjadi suap-menyuap. Ini artinya kan pihak kepolisian harus mengusut tuntas, siapa-siapa yang sudah disuap dengan tuduhan turut terlibat kejahatan yang berakibat menghilangkan nyawa orang lain. Ini serius.

Tapi kayaknya saya salah lagi ini. Mengingat saya ini bukan pegawai tinggi tapi ndak rendah-rendah amat. Pasti saya yang salah.

Lantas, Bapak menulis bahwa pembunuhan dua petugas pajak itu BISA SAJA terjadi karena Prada dan rekannya terlalu keras bicaranya. Atau BISA JUGA karena pengusahanya sedang sewot dan lain-lain. Kagum benar saya dengan imajinasi Bapak dalam menulis. Imajinasi akademisi yang tentu beda dengan imajinasi orang kebanyakan yang ramai memberi komentar di sosial media atau di kanal berita.

Hingga artikel kelar saya baca, Bapak tak sekalipun membahas bahwa pajak adalah sistem bid’ah yang tidak dicontohkan Nabi, misalnya. Maka saya tidak bisa tidak selain mengakui kecendekiaan Bapak sebagai seorang profesor.

Tulisan Bapak lalu lanjut membahas hal-hal yang menurut Bapak merupakan kesalahan sistem perpajakan negara kita yang saya kutip, penuh ketidakadilan dan diskriminatif itu.

Pertama Bapak bilang pengenaan pajak kita berlipat-lipat. Bapak lalu mencontohkan kasus penjualan bangunan, di mana penjual akhirnya dikenakan pajak dua kali karena adanya penambahan penghasilan yang sebelumnya atas penjualan bangunan tersebut sudah dikenakan beberapa jenis pajak yang jumlahnya cukup besar.

Tentu Bapak tahu, jenis pajak-pajak yang terutang, juga apakah itu final maupun tidak final dan tarif-tarifnya. Tentu Bapak juga tahu bedanya membayar pajak, dipungut pajaknya atau dipotong pajaknya. Haqqul yaqin, saya! Profesor kok!

Kedua, Bapak bilang pengusaha kita lari dari pajak karena jenis pajak di republik ini teramat beragam. Jelas pernyataan ini sudah mengalami proses pemikiran yang tidak main-main. Maka saya tidak bisa tidak selain mengiyakan saja. Di negara-negara lain pasti jenis pajaknya ndak banyak kan, Pak? Aku percoyo. Profesor kok!

Habis itu Bapak menulis soal transfer pricing, tax heaven country, Panama Papers hingga ke pengampunan pajak. Di ujung tulisan Bapak minta agar pembahasan RUU Tax Amnesty ditunda karena Bapak (sederhana-tapi-tidak-punya-bukti-hitam-di-atas-putih) takut itu cuman akan jadi alat untuk menyelamatkan para pengemplang pajak. Dan dengan gagah lagi meyakinkan, Bapak menutup tulisan dengan pertanyaan: “Berapa hasil yang diperoleh negara dan berapa kerugian yang diderita negara akibat pelaksanaan UU Tax Amnesty jika disahkan?”.

Jelas saya ndak bisa menjawab pertanyaan itu, Pak. Eh, itu pertanyaan retoris atau gimana sih, Pak? Ah, lagi-lagi pilihan kalimat saya menunjukkan kepandiran saya di hadapan Bapak yang cendekiawan level negara ini.

Menutup tulisan ini, saya ingin meminta maaf jika di hadapan Bapak yang sedemikian luas cakrawala keilmuan dan pengetahuannya baik soal negara, ekonomi, politik juga termasuk pajak (jenis, tarif, SOP, dan lain-lain), kami ini masih mengecewakan Bapak. Dan tentu saja, jika orang sekaliber Bapak kecewa, maka kami ini sejatinya telah mengecewakan bangsa dan negara ini.

Maafkan kami, dan teruslah ajari kami akan segala hal demi kebaikan kami, kebaikan kami ini tentu akan membawa perubahan yang bagus bagi bangsa dan negara juga, Pak. Tentu peran instansi saya di negara ini penting-tapi-ndak-penting-penting-amat, Pak. kami paham itu. Adapun kalau kami merasa hebat, itu sifatnya masturbatif saja kok.

Itu dulu, kalau ada kekeliruan, jelas bukan salah Bapak. Salah kami, Pak..

39 thoughts on “Salah Kami, Pak..

  1. Saya juga mohon maaf kalau salah tebak pak……
    prof. didepan namanya sepengetahuan saya artinya PROFOKATOR, iya nggak sih????
    mohon berjuta2 maaf kalau salah……

  2. Prof. Dr. Tjipta Lesmana.
    Lihat gelarnya, profesor lho…
    Jd, insya Allah ilmunya mumpuni.
    Tp katanya, kalau berbicara ttg sesuatu yg bukan bidangnya itu harus hati-hati, apalagi ini dipublikasi.
    Tp saya yakin, Pak Tjipta Lesmana sudah mengerti.
    Wong beliau itu profesor kok.
    Lihat tulisannya, kan mencerminkan kalau beliau itu profesor.
    Tp orang awam seperti saya nggak mengerti, kenapa orang seperti Bapak bisa jadi profesor.

  3. ngalhamdulillah, tulisan pak profesor ini mencerahkan saya kalau pajak yg bidngah ini memang sudah gak adil sejak dalam pikiran…makasih share nya mas

  4. Saat menjadi anggota MPR ngapain aja pak profesor ? . Udah tau sistem perpajakan ndak bener kok ndak dibenahin. Logis ndak kalau pajak sebagai alat (mesin) uang bagi negara agar tujuan berdirinya negara ini bisa diwujudkan jika alat ini menjadi bagian dari pemerintah. Sekarang ndak jadi mantan cuap-cuap … ach cemen loe

  5. Jadi inget wkt kuliah S2, ada dosen yg udh profesor jg ngomong di dpn kls bhw
    “pajak di indonesia ga adil, mosokk tarif pajaknya sama utk org kaya dan org miskin …”
    Dosen profesor itu lupa atau tdk tahu bhw saya fiskus, sajelaskanlah, akhirnya dia kikuk malu sendiri.
    Intinya mksd saya,,,,, buanyaaak org yg sok tau, dipikirnya dia tau semua hal krn dia udh punya gelar akademik seabreg, shg ga perlu belajar/bertanya lagi, langsung bikin kesimpulan seenaknya, dan parahnya kesimpulan ngaco itu ditularkan ke org lain,,,
    Astaghfirullah…

  6. Prof yg ahli dalam segala hal ini (mulai dr politik, pajak mungkin akhir zaman jg tau) terlalu pintar sampai2 ga punya hati nurani setidaknya berduka buat rekan kita yg meninggal. Menuduh tanpa bukti dan dasar.

  7. jangan gitu mas,ni bapak profesor pinter lho…..dulu jadi ketua tim penyelamat pssi berhasil (yg kita tahu sendiri sampe sekarang pssinya masih berhasil) bahkan kalau tuhan salah bisa2 dibikin celotehannya…..professooorrrr yo pasti pinterrrrr.percoyooooo (ngutip tulisan mas juga.hehehe)

  8. Benturan tak terelakkan..ekonomi sedang lesu.. negara bth duit untuk operasional..pns pajak dituntut untuk ngejar pajak kalau tdk tukinnya di potong atau di mutasi..seharusnya tukin untuk pns pajak yg lsg berhadapan dg wp secara progresif harus lebih tinggi dibanding bos2 djp yg duduk manis di kantor

    1. Lho bukanya kerja di sini kan suatu pengabdian untuk negara ? Gak usah terlalu dipikirin to masalah tukin..

  9. Sekedar komentar dan saran, lebih bermanfaat kalau anda juga opini di media massa, sebagai penjelasan/balasan daripada menulis gaya passive-agresive di blog gini ๐Ÿ™‚

  10. Kemarin-kemarin KPPN (Ditjen Perbendaharaan) yang kena, sekarang Ditjen Pajak. Entah apa masalah beliau dengan kementerian keuangan.
    Bukan ‘ada apa dengan cinta’ , ‘tapi ada apa dengan Tjipta Lesmana-? Apakah tidak cukup Mira Lesmana dan Riri Riza yang membuat media bergetar karena karyanya? Tidakkah cukup hanya ‘ada apa dengan cinta’ dibuat sekuel ya, sampai-sampai harus pula ada sekuel antara ketidakpahaman cinta terhadap hukum dan aturan tentang keuangan negara?

  11. Aku itu kayak Raisa ya pak prof. SERBA SALAH mulu.
    Ya udah deh ..
    Lanjutin Masturbatifnya lah.
    Siapa tau dapat Ilham lagi Buat Nulis problem perpajakan kita lagi .
    Siapa tau bapak nanti jadi ditjen pajak. Kan oke !

  12. numpang komen bos….mungkin salah pada pengucapan karena beda dialek..hehehe…. saya jadi ingat pada saat merantau dulu…. gak tau ini sama atau nggak….tulisan TARADA…kalo org ternate dibaca tarada….tapi kalo org tidore bacanya trada…. kemungkinan dia pake dialek tidore…hag..hag…hag…hag…..#jasjus

  13. Tulisan yang sangat menarik. Tapi lebih menarik lagi jika coba dikirim sebagai tanggapan atas artikel tsb di surat kabar ybs. Dengan bahasa yg lebih baik lagi tentunya.

  14. what he said is totally mind-blowing me. to summarize up, he just blaming ALL misfortune happen in this country on every single things. so DJP institution must aware that because of this [parada accident and panama papers thing], the institution will be spotlighted by eeeveryone. but what was he said sounds full of ‘hatred toward your institution” for me. be proud of your job man.

  15. Mas dikasih tahu aja salah nya apa, soalnya prof nya nulis aja keliatan gak tahu kok salahhnya dimana. Ini prof tap ilmu pajaknya jauh dibandingkan ilmu pajaknya pegawai DJP terendah sekalipun. Prof saya yakin, kalau anda magang di kantor pajak, and palinrr disuruh buat kopi ama teh aja, krn khawatir dgn ilmu pajak anda yang parah itu, banyak kesalahan anda perbuat cos ilmu pajak anda level IQ jongkok….selain itu ohya anda pakar komunikasi? Tapi kok parah ya cara komunikasinya…oh pantesan…

  16. Baper amat…komen esensinya lah. Jangan kesalahan nama… yah mohon maklum… bukan profesor ya

  17. Tulisannya sarkastik sekali, namun sayang. Gak ada isinya. Nol.
    Paling tidak meluruskan lah apa yang salah di tulisan si Prof atau beri argument balik untuk membuktikan tulisan si Prof salah. (yg ada cuma mbetulin nama)

Leave a Reply

Your email address will not be published.