Masturbatif

Kata itu memang belakangan sering saya tuliskan, dan ada beberapa kawan yang menanyakan maksud saya menggunakannya.

Sebenarnya sederhana, yaitu semacam usaha untuk memuaskan diri sendiri. Tidak, saya tidak bilang usaha untuk memuaskan diri sendiri itu keliru ataupun salah.

Tapi kualitas diri kita bisa terukur dari bagaimana cara kita bereaksi, termasuk dalam urusan memuaskan diri sendiri.

Tadi pagi senior saya kirim pesan via gawai (Bahasa Indonesianya “gadget”), menanyakan apakah “Rifai Subagyo” yang tercantum di sebuah cuplikan layar (screen capture) dari sebuah balasan surat elektronik (email), adalah saya atau bukan?

Cuplikan layar itu berisi tentang balasan surel saya dari seorang kriminolog yang kemarin sempat muncul di sebuah artikel internet yang menyatakan bahwa adanya dugaan pelanggaran SOP yang dilakukan petugas pajak dalam melakukan penagihan hingga berujung kematian.

Selain melakukan kontak dengan beliau, saya juga melakukan kontak dengan jurnalisnya. Ini adalah cara saya “masturbasi”.

Karena bagi saya, mudah saja menulis status kemarahan dan kebencian. Dengan kata-kata kasar, misalnya. Atau menulis status dengan gaya dialog dengan orang yang ada di artikel tersebut, padahal dia tidak ada di daftar pertemanan, misalnya. Mudah.

Saya bisa saja berujar soal kenapa untuk akademisi, dia tidak mau cek dan ricek serta belajar soal pajak terlebih dahulu sebelum membuat pernyataan.

Lalu sebelum Shalat Jumat saya mikir: “Jika saya ingin orang lain cek dan ricek, kenapa saya ndak melakukan hal yang sama?”. Lantas saya berpikir untuk menulis surel saja.

Mengenai ketidakpahaman banyak orang soal pajak, bagi saya itu soal yang wajar. Bapak, Ibu, adik, istri dan anak-anak saya tak paham soal pajak. Dan saya? Tak berani ngaku ahli pajak.

Berapa banyak dari petugas pajak yang ketika ditanya persoalan pajak juga kelimpungan mencari jawabannya? Ini juga wajar. Ibarat pegawai rumah makan, tak semuanya berurusan dengan bumbu dapur, kan? Ada yang tugasnya nyuci piring, nyapu, belanja, masak, kasir dan lain sebagainya.

Maka sebaiknya yang kita sayangkan bukanlah ketidaktahuan seseorang soal hal-hal tertentu seperti pajak, misalnya. Tapi lebih ke ketergesaannya dalam membuat pernyataan. Dengan demikian kita bisa lebih mudah membujuknya untuk mencoba memahami hal yang dibahas itu dengan lebih baik.

Apakah saya tidak pernah kasar? Wooo..jelas pernah. Sering bahkan. Tapi apa salah saya mencoba agak-agak keren dengan berusaha sedikit bijak merespon banyak hal?

IMG-20160416-WA0011

Pak Tjipta Lesmana kemarin mendatangi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, dan setelah berdialog dengan para petinggi, dia menyadari kesalahannya dan bahkan pada hari ini dimuat berita klarifikasinya.

Butuh kebesaran hati untuk melakukan itu, bukan? Maka lantas saya mengajak teman-teman yang telanjur mengumpat dan mencaci beliau di status sosial media, untuk menghapus atau minimal mengeditnya.

Karena kebencian dan kemarahan adalah ranahnya hati, sedangkan umpatan, makian dan ejekan itu sudah melibatkan fisik yang seharusnya bisa kita urungkan.

Tulisan bisa kita ubah dan atau bahkan dihapus, lain dengan kata-kata yang telanjur terucap. Baik yang terang-terangan ghibah dan mencela atau yang dibungkus dengan: “Eh, ini aku bukannya lagi ghibah dan ngejek lho ya…tapi masak orang kayak dia itu ngomong bla bla bla..”.

Menutup tulisan kali ini, saya hendak menyampaikan bahwa tulisan ini pun sifatnya masturbatif.

Tabik!

Leave a Reply

Your email address will not be published.