Jika Fasilitas Amnesti Pajak Tidak Nampak Menarik Untuk Anda, Kemungkinan Besar Amnesti Pajak Memang Bukan Untuk Anda

Beberapa waktu belakangan, media massa, terutama yang online, ramai dibicarakan soal amnesti pajak. Bahkan dua hari ini, muncul kehebohan netizen (warga internet) dan muncul tagar #StopBayarPajak yang saya tangkap sebagai upaya penolakan terhadap program pemerintah di bidang fiskal ini.

Sebagai orang yang bekerja di kantor pajak, apa yang dihebohkan oleh netizen itu sejatinya juga ada di benak pikiran para Wajib Pajak yang datang ke kantor saya guna mencari informasi yang lebih jelas.

Datang ke kantor pajak itu salah satu cara guna mencari tahu soal amnesti pajak, bisa dengan cara lain. Jika cara yang dipakai orang lain berbeda dengan cara yang kita suka, tentu kita tak boleh protes bukan?

Slider-Amnesti-1

Mulai dari pengusaha pajak (baik yang datang sendiri maupun diwakili oleh konsultan pajak), sampai masyarakat biasa hingga ke para pensiunan yang sudah sepuh datang ke kantor pajak untuk menanyakan amnesti pajak. Itu faktanya. Soal hal tersebut merepotkan mereka, itu lain hal. Subyektif banget kalo lalu dikerucutkan bahwa pemerintah merepotkan warga negaranya jika hanya ditilik dari banyaknya orang yang datang ke kantor pajak belakangan ini. Kan?

Sejak awal, amnesti pajak tidak pernah diwajibkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun banyak sekali pertanyaan dari Wajib Pajak tentang wajibkah bagi seseorang untuk mengikuti amnesti pajak?

Wajar saja kok orang takut dengan hal-hal yang berkaitan dengan pajak. Bukankah konon kita cenderung takut kepada hal-hal yang tidak kita ketahui? Takut, lalu marah.

Begitu juga dengan amnesti pajak. Kesalahpahaman utama soal amnesti pajak adalah pada wajib tidaknya amnesti pajak untuk diikuti.

Beberapa hari lalu, saya menjumpai orang yang menganggap amnesti pajak adalah sesuatu yang diwajibkan (dipaksa untuk dilakukan, jika tidak dilakukan akan dikenai sanksi) hanya karena merasa wajib hadir ketika diundang untuk menghadiri sosialisasi amnesti pajak di kantor pajak.

Dramatisasinya begini, si A mendapatkan surat undangan sosialisasi di kantor pajak di mana dia terdaftar. Karena bingung, dia lalu menelpon pengirim surat.

“Halo. Undangan apa ini?”
“Oh, itu undangan untuk sosialisasi amnesti pajak, pak..””Saya wajib hadir?”
“Iya, pak… Dimohon kehadirannya…”

Ketika si A hadir di sosialisasi amnesti pajak, dia bingung ketika pemateri menjelaskan bahwa amnesti pajak itu tidak wajib. Dia lalu protes. Rancu antara “wajib hadir sosialisasi amnesti pajak” dengan “wajib ikut amnesti pajak”.

Ada juga kenalan yang mencari tahu soal amnesti pajak melalui internet. Maklum, generasi masa kini. Datang ke kantor pajak untuk tanya-tanya bisa dibilang adalah hil yang mustahal baginya. Dia menyimpulkan bahwa amnesti pajak itu tindakan semena-mena pemerintah kepada rakyat kecil.

Rupanya dia membaca postingan kawan-kawannya dengan referensi portal-portal berita, yang ikut ramai membincangkan amnesti pajak. Dia ngeri benar soal sanksi 200% yang akan dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak. Dalam benaknya, untuk urusan pajak, media takkan mungkin memelintir berita atau salah kutip.

Dia lalu koar-koar di mana-mana, rasa keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia-nya menggelegak dan menggelegar. Mulai dari akun Facebook, Twitter, Path dan akun sosial media lain, dia gunakan untuk menyuarakan hal tersebut.

Apakah dia juga sudah mampir ke laman resmi DJP? Katanya tidak. Malas, katanya. Situs resmi pemerintahan tak pernah menarik untuk dikunjungi, tukasnya. Tampilannya palingan “boring”, tambahnya.

Lantas, teman-temannya yang bekerja di pajak ramai memberi masukan lewat komentar di status-status pembelaan terhadap wong cilik-nya itu. Tapi dasarnya sudah antipati, masukan apapun, dia lepeh begitu saja, tak ditelan. Ujung-ujungnya malah mbahas sarana dan prasarana negara ini yang belum juga memadai, soal hukum yang belum tegak ereksi sempurna dan hal lain yang diluar amnesti pajak bahkan di luar fiskal.

Logikanya jadi muter-muter. Bilang: “Ngapain warga negara harus taat aturan negara, kalo negara sendiri belum bener??”, yang dengan logika yang sama bisa dikatakan: “Kapan negara mau bener kalo warga negaranya tidak taat aturan?”. Lingkaran samsara.

Sosialisasi sudah berjalan se-nusantara, iklan membanjir, aksi simpatik bertaburan, akses informasi dibuka lebar-lebar (sampai-sampai Pak Jokowi sendiri membuka hotline soal ini), bahkan kami para petugas pajak pun membuka kantor di hari libur, tak hanya sabtu, tapi juga minggu.

Lalu ketika para netizen teriak-teriak soal ketidakadilan amnesti pajak yang dituduh memeras rakyat kecil, membunuh para janda miskin, menguras harta warisan yang tak seberapa, menghianati purnawirawan, dan tuduhan keji lainnya, apa yang salah di sana?

Sosialisasi sudah berjalan se-nusantara dari Sabang sampai Merauke, iklan membanjir, aksi simpatik bertaburan, akses informasi dibuka lebar-lebar (sampai-sampai Pak Jokowi sendiri membuka hotline soal ini), bahkan kami para petugas pajak pun membuka kantor di hari libur, tak hanya sabtu, tapi juga minggu.

Paragraf terakhir sengaja saya tulis ulang (salin timpa) karena saya yakin banyak yang mbatin: “Yang keliru itu kurangnya sosialisasi, abang!”.

Saat diundang diskusi di Jakarta waktu lalu, saya pernah berujar, bahwa saya kuatir dalam setiap kebijakan yang dibuat negara ini, harus pula dirilis media sosialisasi yang anti-mainstream. Manga dan anime, misalnya. Lalu undang-undang juga dirilis dalam versi komik. Kan mantap! (Eh ini guyon ya!)

Beberapa kawan lantas menggarisbawahi bahwa kekeliruan sosialisasi amnesti pajak ada di level masyarakat yang dibidik. Bahwa menurut mereka harusnya DJP fokus mencari para konglomerat untuk harus ikut amnesti pajak.

Amnesti pajak ini dipayungi undang-undang, dan sifatnya berupa fasilitas pengampunan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan yang belum tuntas dan benar. Namanya juga fasilitas, boleh sampean ambil boleh juga tidak. (Mohon maaf bagi kalian yang menganggap fasilitas adalah hak, dan hak itu wajib dipergunakan.)

Namanya juga fasilitas, maka ndak diwajibkan, baik untuk orang kaya maupun orang yang ndak kaya donk! Salah kalau kami memaksakan amnesti pajak, baik ke orang miskin maupun ke orang yang ndak miskin! Dan lagipula untuk urusan pajak (dan bantuan), bukankah lebih banyak dari kita yang mengaku miskin?

Saya paham bahwa banyak yang awam soal pajak. Maka saya tidak akan menganggap sampean bodoh, hanya karena tidak memahami pajak dan juga amnestinya. Yang saya bahas di sini adalah bagaimana sampean berlogika membangun argumen, soal amnesti pajak.

Saya paham bahwa pajak itu sama sekali tidak “menjual”, meski mau dibungkus macam apapun juga. Sejak duduk di bangku perkuliahan saya paham bahwa pajak itu sifatnya memaksa, maka semua oranga kan cenderung atipati dan sebisa mungkin menghindar.

Logika saya, ketika ada amnesti atas hal yang se-momok pajak maka akan saya sambut dengan suka cita. Amnesti pajak artinya saya diampuni atas kesalahan saya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan saya di masa lalu. Kewajiban saya soal menghitung, menyetor dan melaporkan pajak, akan diampuni oleh negara.

Begini, permasalahannya adalah tak hanya soal masih banyaknya orang yang menghitung dan menyetor pajak dengan tidak benar, soal melaporkannya juga masih banyak yang tidak sesuai peraturan. Itu yang mau diampuni oleh negara lewat amnesti pajak ini.

spt twitter

Di tiap Surat Pemberitahuan (SPT) pajak ada pernyataan Wajib pajak yang menyatakan bahwa SPT dengan segala lampirannya sudah diisi dengan sebenar-benarnya (termasuk kolom harta), dan memahami bahwa ada konsekuensi hukum jika melakukan yang sebaliknya.

Saya juga memahami jika banyak dari Wajib Pajak tak menyadari ada pernyataan sebagaimana termaktub di atas, wong saya kredit di bank saja ogah-ogahan membaca kontraknya kok, apalagi soal pajak. Ya kan?

Tapi, jika janji pasangan kita saja kita tagih, mosok negara ndak boleh menagih janji warga negaranya yang sudah ditandatangani?

Amnesti pajak mengampuni ketidakbenaran pelaporan SPT, dan negara tidak akan mengubek-ubek kewajiban yang telah lampau atas Wajib pajak peserta amnesti pajak.

Itu fasilitasnya, bahwa atas segala kewajiban perpajakan yang lampau, dengan ikut amnesti pajak telah dianggap beres. Soal uang tebusan, itu semacam uang minta maaf telah melaporkan SPT secara tidak benar, pun besarannya ditentukan oleh Wajib pajak sendiri.

Jika ikut TA, maka Wajib Pajak tidak akan ditanya-tanya lagi soal masa lalunya, bahkan yang sedang diperiksa pun bisa dihentikan pemeriksaannya. Dan tarif uang tebusannya itu jauh di bawah tarif PPN, misalnya.

“Tapi, bang… Saya ndak pernah didatangi petugas pajak, apalagi diperiksa… Dan mosok fasilitasnya begitu doank?”

Ijinkan saya menutup tulisan ini dengan judul tulisan ini juga.

Jika fasilitas Amnesti Pajak tidak nampak menarik untuk anda, kemungkinan besar Amnesti Pajak memang bukan untuk anda.

BAHAN BACAAN:

CATATAN: Judul tulisan ini sengaja dibuat panjang, mengingat banyaknya orang yang hanya membaca judul lalu mencipta sejuta tafsir. Tulisan ini pendapat pribadi, tidak berafiliasi dengan tempat saya bekerja dan tidak ada sangkut pautnya dengan Ahok.

8 thoughts on “Jika Fasilitas Amnesti Pajak Tidak Nampak Menarik Untuk Anda, Kemungkinan Besar Amnesti Pajak Memang Bukan Untuk Anda

  1. Tulisan ini sangat normatif.
    Kita butuh solusi yg ramah.
    Kalau kesalahan pemerintah saja bisa dikoreksi tanpa denda, kenapa kesalahan rakyat tidak ? Apakah selama ini dit pajak sudah melakukan, edukasi, bimbingan yang cukup thd rakyat ?
    Ttg pernyataan dlm spt, itu semua kan sudah didesign oleh pemerintah
    Tidak ada pilihan bagi rakyat. Apakah ada kerugian bagi negara kalau laporan tidak benar ?
    Mari kita berpikir konstruktif , bahu membahu membangun negri. Bukan saatnya membela diri dan menyalahkan rakyat. Gak usah berlindung dibalik slogan self assessment, ini pilihan dll.

    1. kesalahan pemerintah yang terbukti secara hukum dapat dikenai kewajiban untuk membayar ganti rugi.

      soal edukasi dan bimbingan yg cukup thd rakyat, tentu sulit menjawabnya, krn jumlah wajib pajak sangat kecil dibanding dg jumlah rakyat, dan jumlah pembayar pajak jauh lebih kecil lagi. maka bimbingan dan edukasi yang efektif haruslah yang tepat sasaran an berkesinambungan.

      apakah ada kerugian negara jika pelaporan tidak benar? bisa iya bisa tidak, kasusitas. penyembunyian kewajiban perpajakan dapat berasal dari sana.

  2. Selamat malam, Pak. Nama saya Marni dan ingin tanya2 tentang TA.
    Kakak dan saya tidak punya NPWP. Orang tua sudah lama meninggal dan juga tidak punya NPWP. Kami mendapat warisan uang dan rumah, yang sudah terbagi dan diaktakan. Uang warisan dijadikan modal usaha, penghasilan di atas PTKP. Pertanyaan saya:
    1) Mana yang sebaiknya diikutkan TA? Semua harta?
    2) Apakah harta warisan bukan merupakan objek pajak walaupun pewarisnya tidak punya NPWP (dalam hal ini hanya rumah, karena uang sudah kami jadikan modal usaha)?
    3) Kalau rumah di atas bukan merupakan objek pajak, bagaimana kalau rumahnya diikutkan di SPT 2016 sementara harta lainnya diikutkan TA?
    4) Jika kami mengikuti langkah no 3) dan suatu saat petugas pajak mencurigai rumah kami yang tidak diikutkan TA di 2015 tapi ada di SPT 2016, akankah kami diminta menjelaskan tentang rumah tersebut?
    5) Bukti yang kami punya adalah akta waris, akta kematian, legalisir sertifikat rumah lama yang masih atas nama orang tua, SSPD-BPHTB waris, dan sertifikat rumah baru yang sudah dibalik nama (nama kakak dan saya). Apakah bukti2 ini cukup kuat? Jika tidak cukup kuat, apakah kami akan dikenai denda/sanksi?

    Tolong dijawab ya, Pak. Terima kasih.

    1. Terima kasih, Bu Marni, saya akan coba jawab..

      1. Jika ikut TA, maka semua harta (yg masih dimiliki) harus dilaporkan,
      2. Warisan memang bukan obyek pajak (PPh dann PPN), namun bisa menjadi obyek TA, jika belum dilaporkan dalam SPT Tahunan pada kolom harta,
      3. Intinya adalah memastikan semua harta dilaporkan, jika dirasa cukup melalui SPT, maka tak perlu ikut TA,
      4. Sepanjang harta berupa rumah warisan tersebut dimasukkan ke dalam daftar harta (baik SPT maupun SPH dalam TA) bersama harta lain yg dimiliki, maka kewajiban ibu telah ditunaikan,
      5. Bukti yang Ibu miliki cukup kuat.

      Tambahan:
      Ibu Marni dan kakak Ibu posisinya saat ini mempunyai usaha yg penghasilannya sudah di atas PTKP, namun belum mempunyai NPWP, alangkah baiknya mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

      Akan halnya akan lapor SPT Tahun 2016 (nanti di tahun 2017) atau ikut TA, itu kembali diserahkan kepada Ibu dan Kakak Ibu.

      Fasilitas TA yang tidak dimiliki ketika hanya melaporkam SPT adalah Ibu dan kakak Ibu tidak akan ditanya-tanya lagi mengenai penghasilan dari usaha (dan harta) yang diperoleh sebelum memiliki NPWP.

      1. Terima kasih banyak atas jawabannya.

        Harta selain rumah memang pasti kami ikutkan TA (setelah kami membuat NPWP terlebih dahulu), karena memang objek pajak dan pajaknya belum dibayarkan. Yang kami bingung itu rumahnya.

        Berarti kalau ikut TA, asetnya harus dilaporkan semua ya, Pak? Bisa tidak, semua harta selain rumah kami ikutkan TA, tetapi rumahnya baru kami laporkan/cantumkan dalam SPT 2016 sebagai harta warisan? Kalau rumahnya ditemukan setelah TA, apakah langsung dianggap penghasilan dan dikenai sanksi/denda, atau baru dikenai sanksi/denda jika kami tidak bisa membuktikan bahwa rumah itu benar warisan?

        Kalau sekadar ditanya-tanya/diminta membuktikan tentang rumah sih kami siap. Kan di atas Bapak juga menyebutkan kalau bukti-bukti yang kami miliki cukup kuat. Tetapi kalau langsung didenda, ya lebih baik kami ikutkan TA saja semua.

        Maaf kalau kami terlalu banyak bertanya, Pak. Soalnya kami sudah pernah tanya di kantor pajak tetapi masih kurang jelas.

        Sekali lagi terima kasih.

  3. Bu Marni, jika Ibu dan Kakak Ibu ikut amnesti pajak dan rumah warisan tersebut diperoleh sebelum 1 Januari 2016, maka sebaiknya dimasukkan langsung ke daftar harta yg dideklarasikan, karena jika memanfaatkan fasilitas TA, maka semua harta sudah harus tercantum di SPH (Surat Pernyataan Harta), guna menghindari sanksi 200% atas ketidakbenaran data TA.

    Akan tetapi jika rumah tersebut diperoleh setelah 31 Desember 2015, maka bisa dicantumkan dalam kolom harta di SPT tahun 2016 yang baru dilaporkan nanti tahun 2017.

    1. Baik, Pak. Berarti diikutkan TA semua. Besok akan saya urus di kantor pajak.
      Terima kasih karena Bapak bersedia repot-repot menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

  4. Pak, saya mau tanya.

    1. Semisal wajib pajak adalah pensiunan pns, dan istrinya ibu rumah tangga tidak bekerja tapi punya npwp, itu bagaimana kalo istrinya mendapat warisan dari orang tuanya misalnya pak, berupa tabungan.?

    2. apakah harta istri tersebut dimasukkan ke dalam laporan spt suami? mengingat itu adalah harta istri yang didapat dari warisan orang tuanya?

    3. kemudian jika sang suami meninggal dunia, apa yang harus dilakukan istri?apakah menutup semua npwp?dan apakah setelah itu di tahun berikutnya, istrinya harus melaporkan spt melanjutkan laporan spt seperti yang dilakukan suaminya?

    4. jika harta istri yang didapat dari warisan orang tua ini tidak dicantumkan di laporan spt tahun pajak sebelum suami meninggal, apakah setelah suami meninggal, sang istri harus ikut amnesti pajak atau melakukan pembetulan spt suami?

    5. kalaupun ikut amnesti pajak dan membayar uang tebusan dari harta yang belum dilaporkan sebelumnya, apa tidak memberatkan istri yang notabene tidak berpenghasilan dan hanya mengandalkan biaya hidup dari pensiunan almarhum suami dan harta warisan?

    sekian dulu pertanyaan saya, atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published.