Kesepian

Mari kita bicara soal kesepian. Kesepian yang sering kita coba kalahkan dengan berada di tengah banyak orang sekaligus dan setiap saat, kesepian yang coba kita kalahkan dengan mempunyai kawan sebanyak mungkin, kesepian yang coba kita taklukkan dengan menjadi sesibuk mungkin bersama orang lain.

Juga kesepian yang sama yang kita salah-sangkakan hanya bisa kita alami jika kita, sendirian, berada di tempat terpencil dan tanpa alat komunikasi apapun. Kesepian, yang bagi saya seperti ada semacam lubang yang perlahan-lahan memakan segala sesuatu di sekitarnya, dan tumbuh membesar tiap saat, dan itu berada di dalam dada kita, atau kepala, entahlah.lonli

Pahami dulu bahwa mengaku kesepian itu berat dilakukan oleh sebagian dari kita. Sangat berat. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, konsep kesepian sering diterjemahkan hanya bisa dialami oleh seseorang yang berada di tempat terpencil atau dia yang baru saja ditinggal oleh orang-orang terkasih, baik romantisme yang keluar dari rel, atau maut.

Dan di lingkungan relijius jika salah satu dari kita berani terang-terangan mengaku kesepian padahal dia berada dikelilingi banyak orang dekat, berada di tempat yang ramai dan sebagainya, maka dia akan dihakimi sebagai pribadi yang tak tahu bersyukur, kurang ibadah, jauh dari Tuhan, dan lain sebagainya.

Mengaku kesepian artinya harus merelakan ranah pribadi yaitu rasa sepi yang dirasakan itu, dinilai, ditimbang, dan dihakimi secara sepihak oleh khalayak. Ya, kesepian yang persisnya hanya diri kita yang tahu bagaimana rasanya, dihakimi oleh orang lain.

Maka mengaku kesepian itu menjadi hal yang tabu untuk dilakukan, kecuali jika itu dilakukan hanya untuk mencari perhatian dari orang lain untuk dikawani secara fisik. Seperti keripik pedas, kesepian pun punya level, dan level yang lebih dalam dari kesepian tidak akan terpengaruh dengan tengah berada di mana, atau tengah bersama siapa saja. Makanya ada istilah merasa sepi di keramaian, bukan?

Mengaku kesepian bisa berujung dianggap sakit jiwa. Padahal nyatanya, kesepian yang dalam adalah hal yang tak terhindarkan ketika seseorang menjadi persona yang sensitif dan inteligen. Semacam fitur bawaan dari eksistensi kita yang kompleks sebagai manusia.

Ada alasannya kenapa begitu. Manusia butuh dikenali dan diterima oleh manusia lain, terutama apa yang ada di kepala, yang selama dia hidup, akan terus mengeluarkan ide, pikiran remeh dan remah-remah, pertanyaan mendalam soal eksistensi, konsep kehidupan dan juga Tuhan, serta hal-hal lain.

Dan bagaimana jika pemikiran di kepala kita yang akan sangat melegakan jika dikemukakan kepada orang lain, namun akan malah mengganggu orang lain dana tau lebih banyak orang lagi? Bagaimana jika apa yang teronggok di sudut kepala kita adalah hal-hal yang secara empiris akan dianggap terlalu aneh, kasar, brutal, tidak normatif, keji dan lain sebagainya, ketika diutarakan?

Mana yang akan dipilih? Kejujuran akan isi kepala, atau kondisi diterima oleh khalayak ramai? Kebanyakan tentu akan memilih yang terakhir, bukan? Itu juga normal. Lalu bagaimana nasib apa yang sudah tercetus di kepala sebelumnya dan urung disampaikan kepada orang lain? Dia akan numpuk, tak terjamah lagi dan bagaimana jika itu kemudian memberi sinyal kepada neuron-neuron di kepala untuk tidak lagi memikirkan hal-hal seperti itu, menyuruh kita memikirkan hal-hal yang jamak dan mudah dicerna dan diterima? Dan makin lama kita jadi makin tidak mau berpikir hal yang dianggap aneh tadi, hanya karena merasa percuma, tak berguna dan mengganggu status kestabilan posisi kita di masyarakat?

Ketika berinteraksi dengan orang lain, pahamilah dahulu bahwa sejatinya fokus kita adalah untuk mengekspresikan diri kita, maka tidak mengherankan jika orang lain gagal memahami kita, karena sedari mula memang interaksi ini dibangun dalam rangka aktualisasi diri pribadi. Mereka mungkin mau bertemu dan berinteraksi dengan kita tapi kita harus mau menerima segala usaha yang mereka lakukan agar mereka dan segala tetek bengeknya menjadi pusat semesta interaksi yang terjadi.

Kita akan mati sendirian, dalam artian segala proses hidup hingga mati kelak, hanya kita sendiri yang mampu merasakannya, hanya kita sendiri yang mengalami kehidupan dan kematian kita, bukan orang lain. Kita tokoh utama dalam fragmen-fragmen kehidupan yang kita jalani.

Maka bisa saja orang lain memberi semangat, melontarkan kalimat-kalimat motivasi dan lain sebagainya, tapi kita tetap terombang-ambing oleh ombak kehidupan kita sendiri sementara orang-orang lain nampak seperti berada di pinggir laut, melambaikan tangan penuh suka cita memberikan teriakan yel-yel yang dimaksudkan untuk mendukung kita.

Pada akhirnya kita itu tetaplah sendirian. Bukan hanya di semesta jagad raya, tapi bahkan di dalam kepala kita sendiri. Terima itu dulu.

Bisa dibilang sebuah kemustahilan bagi kita untuk bertemu dengan orang lain yang kerangka berpikirnya sama persis, atau jiwa-jiwa kita berada di halaman buku kehidupan yang sama. Karena kita semua hadir di waktu yang berbeda-beda, tempat yang berbeda, dari keluarga yang berbeda, dengan pengalaman yang tentu saja berbeda-beda sehingga mustahil ada yang sama persis dengan kita, bukan?

Tentu, kita akan melakukan kompromi, ketika bertemu dengan orang yang kita anggap mirip-mirip dengan kita soal kerangka berpikir, tapi makin lama level kompromi itu akan terus naik seolah menjadi candu. Butuh dosis lebih untuk diterima orang lain. Apalagi jika kita berupaya agar diri kita yang sebenarnya diterima oleh orang banyak. Melelahkan bukan?

Anggaplah betulan ada persona yang sama persis dengan saya, misalnya, bagaimana jika dia ternyata terpisah ribuan kilometer dari saya? Atau sudah mati tiga menit persis sebelum saya lahir ke dunia? Atau saat ini dia yang belum lahir hingga beberapa milenia ke depan.

Sekalian berimajinasi, anggap saja dia saat ini dan berada di satu area yang sama dengan saya, namun dia dikurung oleh keluarganya, di rantai ke dipan tempat dia tidur, makan, berak dan lain sebagainya? Atau ternyata dia adalah perempuan yang dilarang suaminya untuk keluar rumah hingga mustahil bagi saya untuk bisa bertemu dengannya. Atau dia adalah orang yang saya jumpai tiap saat, namun karena melakukan banyak kompromi dan agar diterima khalayak, dia menutup jati dirinya yang asli, hingga saya tak bisa mengenali diri saya di dalam dirinya?

Kita benar-benar butuh lebih banyak keberuntungan.

Celakanya, makin tanggap dan makin pemikir seseorang, maka dia akan makin kesulitan utnuk menemukan orang lain yang ‘sama’ dengan dirinya. Apalagi jika kita membahas inteligensia, maka wajar saja banyak orang pintar ujungnya hanya dilabeli sebagai orang nyentrik, atau orang aneh.

Ini bukan lagi mitos romantisme belaka. Bisa jadi kesepian yang kita rasakan adalah semacam pajak yang harus dibayar sebagai tebusan atas kompleksitas otak kita. Makin kompleks, maka akan makin kesepian.

Banyak dari kita terjebak dalam hubungan antar personal yang bahkan masing-masing dari pelakunya tak punya banyak hal yang bisa diperbincangkan, selain gosip artis, berita bohong, kenaikan harga bakso langganan, mode busana terbaru dan lain sebagainya. Itu tak akan jadi masalah bagi mereka yang berpikir bahwa kita hadir di alam semesta jagat raya yang luasnya tak bertepi dengan gugusan bintang yang begitu banyak, dengan susunan planet yang luar biasa banyaknya, dan kita berada di planet bernama bumi (dinamakan sendiri oleh penduduknya), di sebuah benua, di sebuah pulau, di sebuah kota, di sebuah rumah, untuk membahas naiknya harga bakso yang dijual Kang Maman.

Semangat untuk menelanjangi lawan jenis (atau sesama jenis, bagi kaum homoseksualitas), menjadi jauh lebih penting dari mengalami perbincangan yang berkualitas, lebih dari sekadar membahas gawai elektronik keluaran terbaru.

Kita heran ketika ada seorang suami selingkuh dengan wanita yang tak lebih menarik dari istri sahnya, kita lupa bahwa banyak dari kita terjebak hingga berada dalam sebuah hubungan perikatan yang awalnya hanya didasari oleh kekaguman akan mancungnya hidung, bulatnya mata, merekahnya bibir, bulatnya payudara dan pada akhirnya semua itu bisa sangat membosankan.

Jika memang kesepian pada akhirnya adalah sebuah keniscayaan, maka mau tak mau kita harus menerimanya. Kita tak bisa benar-benar memahami orang lain, dan juga sebaliknya orang lain tak akan ada yang benar-benar memahami kita. Dan itu bukan salah kita.

Lantas bagaimana selanjutnya?

Di saat kita sudah bisa menerima kesepian kita, maka kita akan bisa mulai berkreasi. Kita takkan disibukkan untuk banting tulang agar diterima oleh orang lain secara berlebih. Kita akan fokus menyampaikan apa yang ada di kepala kita dengan media apapun yang bisa ditemui.

Kita bisa menulis, melukis, membangun mesin, berpuisi, menulis lagu dan lain sebagainya. Bukankah beberapa dari kita bisa mengerti kegamangan Chairil Anwar puluhan tahun silam? Dan ada lagu yang ditulis jauh sebelum kita lahir yang bisa menangkap isi hati dan kesenduan yang kita tengah alami? Kurang lebih, seni itu adalah cara untuk menumpahkan isi kepala sambal berharap agar ada orang lain yang memahaminya.

Menerima kesepian akan jauh lebih baik daripada daripada menderita karena berkompromi agar diterima oleh kelompok orang yang sejatinya tak begitu penting bagi eksistensi kita.

Dan ya, saya kesepian.

Leave a Reply

Your email address will not be published.