Ngopi

Belakangan, ngopi itu sebuah hal yang merepotkan. Setidaknya buat saya. Jadi, ngopi itu jadi mirip kehidupan, makin rumit. Cialat tenan!

Apa pasal? Beberapa waktu belakang, saya yang sudah sejak kecil minum kopi, dikagetkan dengan pernyataan: “Jangan ngaku pecinta kopi kalau kopinya kopi sachetan!”. Sejak kecil, saya minum kopi kampung. Kopi tumbukan sendiri. Tak pusing apa jenis kopinya. Pokoknya disangrai lalu ditumbuk dan diayak halus sebagaimana kopi kampung lainnya.

Menjelang akil baligh, saya mulai kenal kopi pabrikan, lalu kenal kopi sachetan. Setelah itu mulai kenal kopi dengan krimer instan, yang sachetan. Isi kepala saya sampai saat ini, kopi sachetan yang enak, ya enak saja.

Enak menurut saya tentu harusnya tidak perlu minta izin dan permakluman orang lain, bukan? Makanya saya kaget, ketika ada pernyataan soal kopi sachetan tadi.

Pertama, saya tak perlu menahbiskan diri sebagai pecinta kopi. Saya ngopi, secara rutin. Itu saja. Dus, ndak papa kalau saya sampeyan anggap bukan pecinta kopi, hanya karena ngopi sachetan. Kedua, apa kecintaan saya akan kopi ini harus dibuktikan pada orang? Jika saya cinta kepada salah satu dari anda, bukankah yang perlu saya buktikan itu hanya kepada yang saya cintai tadi? Bukan kepada khalayak.

Lalu ditambahi, muncul juga orang-orang yang bilang bahwa minum kopi pakai gula itu keliru. Keliru. Sekali lagi, keliru. Orang yang minum kopi dan ditambahi gula, dikatakan keliru. Yang saya jadi mikir kalau ada organisasi resmi di bidang perkopian yang bertugas menegakkan regulasi soal tata cara minum kopi, pasti saya dihukum berat hanya karena ngopi ditambahin gula.

Kawan saya cerita tentang bahaya minum kopi pake gula. Bisa diabetes, katanya. Fokus dia bukan di gula lho ya, tapi kopi tanpa gula sebagai penyebab diabetes. Tiap ketemu, saya diejek sebagai golongan orang yang sesat dan merugi, karena kopi bergula. Sedangkan dia tak terima kalau saya tegor soal kebiasaannya merokok. Hak, katanya. Sedangkan saya semacam tak punya hak menambahkan gula pada kopi saya sendiri, di matanya.

Lha lalu bagaimana nasib jutaan orang yang sejak dulu minum kopi dengan gula? Apakah setelah mati akan dihisab, dibandingkan kadar kafein dan glukosa dalam tubuh untuk menentukan dia layak masuk ke surga kopi atau nerakanya?

Lalu apa ndak boleh orang untuk ndak suka dengan kopi yang rasanya kecut itu? Hanya karena dibilang begitulah cara menikmati kopi yang sejati?

Kemudian ada juga yang ‘menasehati’ begini: “Minum kopi kok sekali teguk? Kayak orang haus saja…”. Kali ini cara minum pun saya dianggap salah. Saya diajari untuk minum kopi seteguk demi seteguk. Banyak yang lupa, fungsi utama minum itu ya karena haus. Lupa?

Jadi saya dibilang kudu nyeruput sedikit, lalu ngobrol. Lalu nyeruput dikit lagi. Gitu terus. Ngobrol? Lha kalau lagi sendirian? Atau lagi gak pengen ngobrol? Atau gak punya bahan tontonan dan bacaan juga gawai ponsel saya habis daya?

Terus kalau minum kopi esspresso juga seteguk demi seteguk? Ha gelasnya kayak kutil gajah gitu..

Minum kopi sekali teguk juga dibilang bid’ah, tidak sesuai tuntunan. Sebentar, tuntunan siapa sih?

Tak tahan, saya akhirnya bertanya ‘dalil’ dari aturan-aturan yang saya sebutkan tadi. Termaktub di mana sih sehingga nampaknya beberapa dari teman saya paham benar tentang tata cara minum kopi yang sesuai tuntunan, sedang saya sama sekali buta.

“Lha minum kopi itu buatku udah kayak ibadah lho, mas! Kopi itu agamaku.”, ujar teman saya.

Batin saya njerit. Secara empiris, konsumsi atas sesuatu yang bau-bau agama itu ujung-ujungnya kita harus merogoh kocek lebih dalam. Dan benar, jika saya ingin minum kopi sesuai syari’at, ternyata harganya lebih mahal daripada kopi yang biasa saya minum, terutama yang sachetan.

Tentu, para penikmat kopi ‘salafy’ yang garis keras tentu akan berujar bahwa cara saya minum kopi tidak beradab. Savage! Bahwa cara saya ngopi tidak memungkinkan bagi saya untuk mendapatkan puncak kenikmatan hakiki dari kegiatan ngopi.

Saya juga paham, bagi beberapa orang ngopi itu seni tersendiri. Tapi seni itu tidak untuk semua orang. Ada yang pengen ngopi ya sesederhana ngopi saja. Ndak lebih pake seni-senian.

Kembali lagi, urusan kenikmatan yang saya rasakan, yang saya kejar, yang saya idamkan kan ya menurut saya tho ya? Dan jika kopi itu agama, siapa anda lalu memaksakan tata cara ngopi ke saya?

Apa lantas nanti akan muncul FPK, Front Pembela Kopi, dengan agenda menyelamatkan kesesatan umat manusia dari cara minum kopi yang tidak sesuai tuntunan? Ini kok apa-apa jadi salah sih?

Mungkin awalnya seloroh. Saya paham itu. Atau just kidding alias hanya guyon belaka. Tapi ketika guyon itu dilakukan secara kontinyu, dengan penuh ‘iman’, maka tak heran bukan jadi muncul kelompok elitis yang berkembang menjadi sangat elit dalam urusan mengejek umat penikmat kopi yang berbeda.

Dan tahukah anda apa yang sering dibilang sebagai: “Cuman guyon kok!”? Bullying. pelaku bullying atau merisak juga banyak yang menganggap tindakannya sebagai sebuah guyon belaka.

Dan jika pembaca ada yang merasa tulisan saya ini bentuk over-sensitif dari saya, tahukah anda siapa yang sering dianggap over-sensitif? Yak tul, para korban bully.

Maka jangan heran, ketika ke sebuah cafe, memesan kopi dan sang barista menertawakan saya saat meminta gula untuk kopi saya, saya akan melawan. Saya akan tetap menuntut hak saya akan gula. Pertama, saya adalah konsumen. Dan saya berhak mencintai kopi dengan cara yang saya kehendaki!

Menutup tulisan ini, saya ingin bilang. Ha mbok dikurang-kurangi tho merasa lebih hebat dari orang lain karena cara ngopi kalian itu kalian anggap yang paling benar.. Mbok sana ngangkring, atau ke warung-warung pinggir jalan. Mau kalian anggap apa itu mereka yang happy-happy saja ngopi sachetan, pake gula dan sekali teguk?

Sombong itu tidak baik.

Dan lalu saya teringat pernah membaca di beberapa kesempatan, olokan akan tipe mobil tertentu. Avanza dan Xenia sudah lewat masa olok-olokannya, kini kehormatan untuk menjadi bahan olokan kaum kelas menengah jatuh pada Agya dan Ayla. Bahkan ada yang mengategorikan dua tipe mobil itu sebagai benda yang tak berguna di muka bumi ini.

Kalian boleh peduli akan regulasi LCGC, juga boleh kuatir dengan faktur keamanan mobil LCGC, tapi menghina para penggunanya, meskipun secara tidak langsung, hanya menunjukkan bahwa anda tidak jauh berbeda dengan mereka yang merasa ekslusif lalu memaksakan kehendak kepada yang lain.

Ngopi yuk!

PS: Untuk kawan-kawan saya yang pecinta kopi garis keras, ukhuwah al kafeinniyah kita harus tetap dijaga yes? Love you!

12 thoughts on “Ngopi

  1. slrup… sedot dikit. srutup…sedot dikit. aah…

    Wah, kamu ngopi mas?
    Ndak. Air putih.
    Kok kaya kopi minumnya?
    Terserah saya lah menikmatinya.

  2. Santai mas, saya rasa ga semua yang ngopinya “ribet” nyinyirin yg ngopi sachet, lha yo urusan remeh temeh ngopi sih ga usah dibikin ribut, pilihan masing2, lha wong ra njaluk dibayari sing nyinyir kok.. saya di kantor ada yang suka sachet ada yang suka ribet, ya pada akur2 aja.. hidup kan pilihan. Saya pengen kenal orang yg ngopinya ribet tapi nyinyirin yang ngopi sachet ini.

  3. Selamat sore mas, salam ngopi ๐Ÿ˜Š

    saya kebetulan dapat tautan blognya dari seorang teman friendlist di FB. Kebetulan latar belakang saya bergerak di specialy coffee dan sudah berada di industri sekitar 6-7 tahun.

    Pertama-tama biarkan saya meminta maaf mewakili segelintir orang yang terkesan sombong dari industri kami ini dengan “mengajari” mas cara minum kopi yang baik dan benar. Sedangkan mas sudah dari dulu minum kopi dengan cara sendiri.

    Kopi itu sama dengan selera kuliner lainnya. Azasnya subjektif, tergantung selera dan saya pemegang teguh paham tersebut. Menyedihkan memang beberapa orang menganggap cara minum kopi tertentu menggambarkan kelas dan tingkat “kegaulan”. Jangan salah, saya pun jg pernah kesel banget ketika istri pesen kopi di sebuah kedai kopi ternama terus dikasi muka “loe pernah minum kopi yg betul ga sih?”. Urusan selera itu urusan masing-masing, Asli kalo ga ditahan istri udah kedamprat tuh orang. Pdahal istri lebih pengalaman lg di bidang perkopian.

    Tapi ada sedikit yang ingin saya sampaikan jg dari sisi saya tanpa bermaksud menggurui.

    – Kopi sachetan/ kopi instan itu kebanyakan tidak alami karna ada kandungan kimia di dalamnya. Kebetulan teman ada yg pernah jadi roaster konsultan di merek kopi ternama Indonesia.

    – Gula itu jelas tidak baik dari segala segi dan gula di kopi bisa menutup rasa asli kopi. Kalau penikmat kopi disarankan tidak menggunakan gula. Sama saja dengan di jus mangga, sebaiknya tidak ditambah gula. Gula disamakan dengan rokok agak kurang tepat, karna gula lebih gampang berhentinya. Saya taro 2 stengah sendok teh gula di kopi saya sampai 6 tahun lalu, sedangkan ngerokok masih ga berhenti sampe skrg hehe

    Kalau mau dikembalikan, cara yg terbaik adalah cara minum kopi mas yang dulu itu, disangrai, ditumbuk, diayak trus diseduk. Itu yang terbaik, saya pun jg pengen bisa begitu.

    Mungkin suatu saat kita bisa ngopi bareng dan mas bisa bawa kopi sachetan nya dan saya pastikan saya sediakan air panasnya. Serius, no sarcasm.

    Yang saya harapkan cuma pengalaman buruk tersebut dengan segala bulliying tsb tidak menyurutkan eksplorasi di bidang kopi.

    Salam ngopi sesuai selera

Leave a Reply

Your email address will not be published.