Suatu sore, saya ingat bertanya pada mbah kakung saya dari bapak. Saya masih SMP waktu itu. Kakek saya hidup sebatang kara bersama satu cucu laki-lakinya yang ditinggal Ibu kandungnya merantau mencari uang. Usianya simbah kala itu sudah 80-an, namun masih tegap berdiri dan mampu ngambil uang pensiunan dengan berjalan kaki setiap bulannya.
Simbah saya itu orangnya pendiam. Tiap kali saya berkunjung (karena saya tinggal di lain kota), tak banyak yang dilakukannya, selain memastikan apakah saya lapar atau haus, juga menanyakan apakah saya kedinginan atau diganggu nyamuk kala malam hari.
Istrinya telah lama meninggal dunia, sehingga kalian bisa membayangkan bagaimana kondisi rumah yang hanya dihuni dua laki-laki, yang satu sudah berusia senja, dan satunya bujang yang baru mau beranjak dewasa. Kotor dan berantakan.
Sepanjang masih hidup, saya belum pernah melihat simbah tersenyum. Tapi saya tahu benar dia menyayangi saya. Matanya berkaca-kaca tiap melihat saya. Biasanya dia hanya menatap saya lekat-lekat ketika saya sampai di rumahnya, lalu:
“Lapar ndak? Wis mangan?“, tanyanya, menanyakan apakah saya sudah makan atau belum.
*berhenti nulis karena tiba-tiba merasa rindu teramat sangat*
Hubungan saya dengan simbah tidak kayak yang di sinetron atau film. Tak ada nasehat tentang bagaimana menjadi jawara seperti dia dulu. Saya tahu dia bekas jawara dari kisah para tetangga. Tak ada tips dan trik tentang bagaimana cara menghadapi kerasnya kehidupan. Tak ada semua itu. Seingat saya, omongan kami terbatas hanya soal apakah saya lapar atau tidak. Sisanya saya bebas untuk bermain di halaman depan rumahnya.
Hingga pada suatu hari saya dikhitan, dibarengkan dengan sepupu saya, si cucu laki-laki yang tinggal bersama kakek.
Sepupu saya sebenarnya sudah terlalu matang untuk dikhitan, sehingga adanya saya itu seperti semacam pemantas buat simbah untuk mengadakan syukuran kecil-kecilan di rumahnya, dihadiri keluarga dekat dan tetangga.
Sehari setelah khitan, saya yang masih bersarung ke mana-mana menjumpai simbah tengah membersihkan pohon-pohonh anggur depan rumah. Saya dekati dia dan bertanya:
“Mbah, mbah bahagia ndak?”
Rupanya dipangkasnya ujung kulup saya membuat saya mampu menerabas batasan komunikasi saya dengan simbah hingga menanyakan sesuatu yang sangat di luar pakem.
“Piye?”, tanya simbah.
“Mbah ini bahagia apa ndak?”
Simbah tertawa. Demi Allah dan rasul-Nya, momen itu sangat membekas di hati saya. Simbah sukses saya bikin tertawa. Lengkap sudah keahlian saya dalam hal komedi, setidaknya menurut saya.
“Bahagia, le? Hahahaha… Makanan apa itu?”, agar enak, saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia.
“Ya bahagia. Mbah bahagia apa ndak?”
Yang saya ingat dari jawaban simbah adalah ini:
“Lha kamu saja bingung bahagia itu apa! Pake nanya. Kalau seneng yang sering, kayak kamu datang ke sini buat dipotong tititmu, aku ya seneng. Sedih, ya sering. Manusia itu ya isinya gitu. Sedih dan seneng dan lain-lain. Tapi bahagia itu apa? Seneng terus? Ya ndak bisa!”
Saat itu jujur saya kaget mendapati jawaban yang menyatakan bahwa manusia tidak bisa selamanya senang. Pikiran saya saat itu, manusia kan ujung-ujungnya bakal senang sampai mati.
“Kamu bisa susah, ya ndak papa, itu jalan kehidupan. Kamu juga bisa seneng, itu rejeki. Di luar itu, kamu kudu eling, harus ingat bahwa kehadiran kamu itu intinya soal manfaat. Sedih atau senang, kamu punya manfaat atau ndak? Misalnya kamu lagi sedih, tapi pas musim ujian di sekolah, kan yo kamu kudu tetap belajar buat ujian kan? Atau pas asyik main bola, kamu seneng tho main bola? Nah pas asyik main bola kamu dipanggil Ibumu, disuruh mandi kan yo harus nurut.. Ya ndak?”
Saya manggut-manggut. Belasan tahun kemudian saya tersadar, bahwa simbah tak benar-benar menjawab pertanyaan sederhana saya. Dia bahagia atau tidak?
Suatu hari, ketika sudah berusia dewasa, iseng saya bertanya yang sama. Kali ini ke Ibu saya.
“Apa penting?”, jawabnya.
*hingga meninggal, simbah tidak pernah tahu bahwa saya, cucu laki-lakinya tak suka sepak bola
Saya mengutip kata-kata dalam iklan air mineral – yang terkenal, hingga dijadikan pakem penyebutan air mineral di Indonesia-.
“Jika emas diukur dengan karat, maka manusia bernilai karena manfaat. Untuk dirinya, kerabatnya, lingkungan sekitarnya, alam raya.”
Jadi saya setuju dengan simbah njenengan mas.
Anggaplah main voli bang. hehehe