Siang hari, seperti siang hari yang lain di kantor saya. Rekan kerja satu ruangan membahas menu makan siang. Cuaca terlalu terik untuk kami keluar kantor guna makan di luar. Ya, semalas itulah kami, dan seenggan itulah kami tersengat sinar matahari. Nasi Padang, keputusan kami bulat.
Saya lalu memanggil OB untuk mencatat pesanan menu saya dan teman-teman lain, untuk kemudian membelikannya di rumah makan Padang langganan kami. kami lanjut berbincang tentang apa saja, sembari menunggu datangnya nasi Padang kami.
Ketika akhirnya makanan kami tiba, kami lalu sibuk di meja masing-masing berhadapan dengan menu yang kami sendiri pesan sebelumnya. Sedang saya sibuk mencari kecap, yang raib entah ke mana.
Meski tak sampai wajib, kecap itu teramat penting bagi saya ketika makan. Mungkin kedudukannya sudah sunnah-ghairu-muakkad. Seorang rekan lalu berkomentar:
“Dasar orang Jawa, makan aja harus pake kecap!”, yang disambut gelak tawa rekan-rekan lain.
Stereotype bahwa orang Jawa suka panganan manis memang bukan pengetahuan baru, hanya saja, kawan yang berkomentar tadi juga bersuku Jawa. Dan dia tidak menambahkan kecap pada nasi Padangnya.
Sejak dahulu, saya memang suka perpaduan rasa kuah santan masakan Padang yang dipadukan dengan kecap. Bagi saya itu nikmat. Saya paham benar bahwa itu menurut saya, maka saya tak pernah menawarkan kecap kepada orang lain saat makan nasi Padang.
Saya juga cukup tahu diri untuk tidak menanyakan dan meminta kecap ketika makan di rumah makan Padang. Repot-repot membawa botol kecap juga tak pernah saya lakukan. Sunnah-ghairu-muakkad, tadi.
Ketika makan nasi Padang dicampur kecap, sama sekali saya tidak memikirkan suku Minang atau memikirkan tentang Jawa-nya saya. Satu-satunya yang saya pikirkan adalah, dengan menambahi kecap, saya lebih bisa menikmati makanan yang saya santap. Tak lebih. Tak ada agenda jawaisasi sama sekali.
Makan adalah momen egois saya. Maka ketika bisa, saya akan memanjakan lidah saya. Bukankah ketika makan, aslinya kita lebih sering menuruti kemauan lidah daripada kebutuhan dasar perut kita? Perut kita itu sederhana, minta diisi. Yang rumit itu lidah kita.
Menambahkan kecap pada makanan milik saya adalah puncak keegoisan dalam memanjakan lidah milik saya sendiri. Saya tidak nguja-uja, sengaja menambahkan kecap ke piring milik orang lain dan lalu memaksa menyuapkannya. Piring saya adalah hak saya. Daerah otonomi saya.
Saya juga berhenti pada: “Buatku enak, kalau ditambah kecap!”, dan bukan teriak-teriak soal orang yang tidak menambahkan kecap pada nasi Padangnya adalah orang yang merugi dan kufur nikmat, misalnya. Saya sadar betul ini hanya soal selera. Dan saya tahu apa yang lidah saya mau.
Soal kemudian saya diejek, dicecar, disindir, bahkan dianggap melecehkan nasi Padang, itu di luar kuasa saya, saya rasa. Saya, selain tidak punya kekuatan untuk mengatur orang lain dalam berpendapat, saya juga tak punya hak untuk itu.
Maka saya biasanya diam saja ketika ditertawakan, hanya karena menambahkan kecap pada nasi Padang saya. Toh tidak pernah lebih dari itu. Sampean tidak pernah tho membaca berita di koran ada orang dibacok hanya karena menambahkan kecap ke nasi Padangnya?
Kegemaran soal menambahkan kecap ke nasi Padang juga saya cukupkan sampai diri saya sendiri, saya sama sekali tidak punya keinginan untuk mendirikan rumah makan Padang di mana semua menunya saya tambahi kecap, misalnya. Tidak.
Saya merasa menambahkan-kecap-ke-nasi-Padang-isme milik saya tak membuat saya merasa wajib untuk menyebarkannya ke seluruh penghujung dunia. Saya bukan semacam rasul di dunia kuliner. Saya juga tak merasa perlu membuat LSM soal itu. Atau lembaga bantuan hukum bagi para penyuka kecap di nasi Padang yang menjadi korban fanatisme pemakan nasi Padang lainnya.
Ini soal cinta segitiga. Antara saya, nasi padang dan kecap manis.
Dan cinta itu personal.
Saya tak mengapa, ketika saya makan nasi padang ditambah kecap, lantas dicap ‘murtad’, dibilang sesat, dianggap menghina, melecehkan khasanah kuliner Minang, dan lain sebagainya. Sepanjang saya masih bisa menyantap nasi Padang saya, dengan cara yang saya sukai, yaitu dengan menambahkan kecap, saat memungkinkan.
Silakan diributkan lebih jauh jika misalnya saya dengan sengaja dan tanpa ijin, menambahkan kecap ke piring nasi Padang sampean. Atau nasi Padang dan kecap yang saya santap adalah hasil mencuri. Silakan.
Tapi cinta yang saya miliki kepada Nasi Padang dicampur kecap itu mutlak hak prerogatif saya. Saya tidak tahu apakah itu termasuk hak asasi atau bukan. Tapi jika sampean semua pernah jatuh cinta, tentu tahu bahwa rasa yang saya miliki ini tak bisa diganggu gugat.
Dan ini memang soal nasi Padang yang saya kecapi, untuk lalu saya santap penuh rasa syukur kepada Illahi. Sudilah kiranya, sampean toleran kepada saya yang dirundung cinta ini.
Kiranya, toleransi adalah ketika anda membiarkan orang lain menambahkan kecap ke nasi Padang miliknya sendiri, atau mengaduk bubur ayamnya, atau memilih nasi sotonya dicampur atau dipisah, atau memilih minum kopi sachetan, dan lain sebagainya.
Dan ini, omong-omong, saya dari tadi masih membahas makanan, bukan agama. Tabik!
Kalau saya bang, disamping kecap, nasi padang lebih lezat lagi kalau ditambahkan bon cabe. Hehehehe
Tabik!