Teman Di Kepala

Ayam belum juga berkokok, udara terasa sangat dingin menusuk tulang. Musim bediding, kata orang Jawa. Musim yang merupakan awal musim kemarau namun udara sangat dingin di malam dan pagi hari. Musimnya orang pilek.

Tapi rasa dingin tak dihiraukannya, dengan sedikit terhuyung didera kantuk yang masih melekat, ia menuju kamar mandi di bagian belakang rumahnya dan mengambil air wudhu. Lalu kembali ke kamar guna mengambil baju koko dan kopiah hitam miliknya. Istrinya masih tertidur pulas di balik selimut.

Dek, aku ke masjid dulu ya.”, ujarnya sebelum ia berangkat menuju masjid untuk shalat subuh.

Sepulangnya dari masjid, istrinya sudah bangun, tempat tidur sudah rapi seperti malam sebelumnya. Dan istrinya sudah sibuk di dapur. 

Dengan sigap istrinya sudah mencuci beras, menanak nasi dengan penanak nasi elektronik, dan menyiapkan bahan masakan sederhana guna sarapan mereka berdua. Dengan lembut, sang istri dipeluk dari belakang, dikecup lembut di kepala dan seperti biasa, rambutnya diacak-acak dengan tangan kanan.

“Udah sana ah! Ngganggu aja.”, ujar sang istri sambil tertawa kecil.

Tak sampai sejam kemudian, makanan sudah tertata rapi di meja. Istrinya tengah mandi di kamar mandi.

Ia sendiri sudah mandi sebelumnya. Dikenakannya jaket, guna mengusir rasa dingin yang membandel. Di balik jaket, ia sudah mengenakan baju kerja. Baju berwarna sama milik istrinya tergeletak di atas dipan. Mereka memang mempunyai pekerjaan yang sama, hanya saja beda cabang. Kantornya lebih jauh dibanding kantor istrinya.

“Lho, Mas belum makan juga? Kan udah kubilang, gak usah nunggu aku kelar mandi, kelamaan. Apalagi nunggu kelar pake baju dan dandan. Ntar telat lho.”, kata istrinya begitu keluar dari kamar mandi melihat makanan di meja makan masih utuh.

“Nggak papa. Gak bakal telat kok. Lagian kan pake motor. Kamu juga, kubilang gak usah masak sarapan, tetep aja masak!”, jawabnya sambil tertawa.

“Ya, aku kan suka masak. Dan kapan lagi masakin buat kamu, mas kalau bukan pas pagi? Malam? Udah capek. Belum kalau ada lembur, kita kan mesti makan di luar.”

“Ya makanya aku pengen makannya sama kamu.”

“Hahahahaha.. Bisaan. Bentar ya..”

Sarapan pagi berlangsung dengan singkat. Tak banyak obrolan. Hanya geligi yang beradu menggiling makanan yang hanya terdiri dari nasi, tempe goreng, dan tumis kacang panjang. Seusai makan, ia memakai sepatu, bersiap berangkat kantor. Sambil bercerita, bahwa hari ini ia harus melakukan presentasi di kantornya. Sang istri mencoba menyemangati suaminya, berkata bahwa ia pasti bisa melakukannya dengan mudah dan sukses. Sesudah itu, berpamitan, dan melesatlah ia di atas sepeda motornya.

Sesampainya di kantor, tanpa telat, dia langsung menghadap layar komputernya, menyiapkan bahan presentasi yang rencananya akan ia paparkan siang nanti. Rekan-rekannya turun ke lantai bawah, menuju kantin untuk sarapan pagi. Aji mumpung, dia matikan pendingin udara, dan membuka jendela ruangan, membakar sebatang rokok dan menghirupnya dalam-dalam, seolah-olah nikotin akan memberi ide tentang bagaimana nanti ia akan memaparkan pekerjaannya di hadapan para atasannya.

Karena sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, sebenarnya materi presentasinya sudah setengah jadi, tinggal mengumpulkan kepercayaan diri untuk tampil di depan khalayak saja yang masih menjadi PR. Di depan cermin toilet kantor, berulang kali dia melatih pidatonya. Tapi makin dilatih, makin cemaslah ia. Maka kembali ia ke ruangan, menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam.

Ia merasa beruntung dalam banyak hal. Terutama soal istrinya. Istri yang dia cintai. Istri yang menerimanya dengan segala kekurangan. Istri yang ia terima dengan segala kesempurnaan. Istri yang menemaninya baik di saat-saat terbaiknya sebagai seorang lelaki, maupun di saat-saat terburuknya.

Istri yang mampu membuatnya menjadi dirinya sendiri. Istri yang membuatnya nyaman berdiam diri berada dalam balutan daging dan kulitnya sendiri. Istri yang….ah, rupanya teman-teman seruangannya sudah selesai sarapan pagi, langkah-langkah kaki mereka mulai terdengar dari kejauhan. Buru-buru ia matikan rokok dan menutup jendela serta tak lupa kembali menyalakan pendingin udara.

Presentasi berjalan lancar. Teramat lancar. Rupanya tak sia-sia latihan di depan cermin yang dilakukan tadi pagi. Tak sia-sia juga ia membuat materi paparannya jauh-jauh hari. Tapi yang paling membantunya dalam lancar berkata-kata, adalah istrinya.

Sepanjang paparan, ia membayangkan istrinya juga berada di ruangan itu. Baginya, tak ada kenyamanan yang mampu menandingi kenyamanan yang ia rasakan ketika ia berada satu ruangan dengan istrinya. Sehingga, ia yang biasa canggung dan luar biasa pemalu, mampu memaparkan materi yang dikerjakannya seminggu terakhir dengan mulus. Istrinya adalah sumber kepercayaan diri baginya.

Dengan perasaan senang, dia menuju kantin di belakang kantornya. Berpikir untuk makan ayam goreng kesukaannya. Itung-itung sebagai perayaan kesuksesan atas presentasi yang bisa dibilang sukses itu.

Sambil menunggu makanannya datang, dia mengambil ponsel dari saku celananya, berniat mengabarkan berita gembira ini kepada istrinya.

Di layar ponsel, nampak ada satu pesan baru yang belum terbaca. Rupanya dari istrinya, yang entah kenapa namanya tak terpampang di layar. Hanya nomor telepon yang dia hafal benar sebagai nomor milik istrinya yang tertulis di bagian atas pesan baru tersebut.

“Selamat ulang tahun, ya! Meski aku tahu bagaimana kamu, aku masih berharap kamu akan baik-baik saja di sana dan berbahagia. Aku sedih, semalaman aku stalking akun-akun media sosialmu. Kamu tak juga beranjak pergi, masih di titik yang sama saat kita berpisah. Kamu berhak berbahagia, mas! Ayolah Lupakan aku, carilah penggantiku. Ijinkan orang lain masuk ke hatimu. Semua akan baik-baik saja Aku ingin kamu bisa berbahagia, meski bukan denganku. Aku tahu, kamu juga mendiamkanku karena hormatmu pada suamiku, hingga kita sama sekali tak pernah berkomunikasi lagi semenjak kami menikah. Aku sangat hormat padamu soal itu. Dan jika boleh aku meminta, lupakan aku, dan mulai hidup yang baru, tanpaku. Selamat ulang tahun, mas. Aku ingin kamu berbahagia. Itu saja.”

Pesan panjang itu bagai petir di siang bolong. Tiba-tiba ia tersadar. Bahwa ia tak sarapan apa-apa sejak pagi. Bahkan malam sebelumnya pun perutnya tak terisi. Ia tersadar bahwa ritme makannya memang kacau balau. Ia tersadar bahwa hampir 24 jam dalam 5 hari kerja, ia berada di kantor, karena terlalu malas untuk pulang ke rumah. Ia tersadar bahwa ia bukan perokok. Ia tersadar, bahwa dia bahkan tak pernah mempunyai seorang istri.

Di tengah kekagetannya, ia mulai kebingungan, tentang bagaimana sejatinya ia bisa menjalani hidup layaknya orang normal. Pekerjaan pun bisa dibilang selalu beres dan membanggakan. Dan bagaimana mungkin ia bisa merasa bahagia selama ini? Bagaimana bisa ada rasa hangat di dada yang ia rasakan tiap hari? Dan hei! Rasa hangat di dada itu mendadak sirna. Dan ia merasa ada tulisan pecundang terukir di dahinya.

Ia lalu tersadar, ia telah lama kalah, hanya saja ia menolak mengakuinya.

Ratusan kilometer dari tempatnya duduk mematung dalam kegelisahan, sang pengirim pesan membuka ponselnya. Pesan yang ia kirim, dibalas.

“Terima kasih. Maafkan aku. Dan terima kasih, tidak membiarkanku sendirian di dalam kepalaku selama ini. Dan ya, aku akan melupakanmu. Soal perasaanku padamu, tak pernah berubah. Terima kasih. Maafkan aku.”

Hatinya berkecamuk hebat membaca pesan itu. Perasaan yang sama dengan ketika ia mengetik pesan ucapan selamat ulang tahun. Mati-matian ia menahan tangis. Sialan! Keras kepala benar lelaki itu, makinya dalam hati. Kecamuk di dadanya makin membesar, menjelma menjadi sesak nafas yang sebentar lagi pecah menjadi tangis, tiba-tiba pundaknya ditepuk teman sekantornya, dan kedua telapak tangannya dipegang dengan lembut, sambil berbicara:

“Hei, aku mau ngasih tau sesuatu, tapi kamu harus tenang dan ikhlas ya… Mas itu lompat dari lantai empat kantornya barusan..”.

Leave a Reply

Your email address will not be published.