Gelang

Hidupku tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat seketika, mana kala kulihat dia pada suatu pagi persis saat kuberlari menuju kantorku di jalanan yang dibalut rinai gerimis pagi. Dari lautan manusia di komplek perkantoran tempatku bekerja, pandanganku terpaku pada sosok yang berani taruhan, dapat kukenali dari ribuan kilo meter. Iya, ini hiperbola, peduli setan!

Langkahku terhenti, padahal sosok yang kulihat tadi sudah hilang ditimpa manusia-manusia yang sama buru-burunya menuju tujuan mereka masing-masing. Kupikir, jika aku tak melakukan kegiatan lain, seperti berlari yang tadi kulakukan, maka otakku bisa bekerja lebih keras. Wajah perempuan itu sangatlah familiar, tapi kenapa aku kesulitan mengingat siapa dia?

Lamunanku buyar ketika sensasi basah mulai menelusup masuk ke bajuku menembus jaket berbahan kanvas yang sama sekali tidak membantuku berlindung dari hujan. Sudah tahu musim hujan, kenapa pula aku masih bersikeras untuk memakai jaket kesukaanku ini?

Setibanya di kantor, aku langsung melakukan presensi, absensi kalau kata orang kebanyakan, yang aku sendiri sudah lelah membetulkan istilah itu di antara teman-temanku. Eh, sebentar, kalian tidak keberatan bukan mengikuti alur berpikirku yang kesana kemari ini? Tahan-tahan, ya! Oke, kulanjutkan ceritaku.

Pada saat kujemur jaket basahku di ruang samping pantry, akhirnya otakku sukses mengingat-ingat siapa gerangan wanita yang kulihat tadi. Dia, mantan pacarku.

Dulu kami berpacaran saat kami sama-sama masih kuliah. Semesta mempertemukan kami di sebuah acara seminar akademik yang menggabungkan beberapa kampus sekaligus. Seperti kisah remeh sinetron kejar tayang, aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali mataku melihat dirinya. Perempuan manis dalam busana celana jins ketat lagi belel, kaos berkerah warna merah muda, dan jaket almamater kampusnya. Aku lupa apa sepatu yang dikenakannya, tapi kalian bisa lihat kan betapa brengseknya otakku, karena begitu berhasil mengingat siapa dia, kenangan mampu dihadirkan secara detil. Trembelane!

Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi kerja pada hari itu. Jika biasanya fokusku mudah terganggu, maka kali ini konsentrasiku benar-benar hancur lebur. Banyak pertanyaan menyeruak dengan cepat di dalam pikiranku. Persis jika komputer kalian tidak dipasangi pemblokir iklan, lalu kalian mengunjungi situs yang penuh iklan berwujud pop up. Bagaikan ninja warna-warni, tanda tanya meloncat dengan gesit, kenapa dia ada di sini? Bukankah dia sudah menikah? Jangan-jangan dia bekerja di sini juga, tapi di kantor apa? Dia bekerja atau main menengok temannya? kenapa aku begini?

Setan alas! Sudah enam tahun kami tidak saling berkomunikasi. Berkawan di media sosial pun tidak. Maksudku, buat apa? Aku tak mau menjadikan kegiatan mengingat-ingat mantan pacar sebagai sebuah ritual yang rutin kulakukan ketika aku membuka sosial media. Seolah akan ada hal positif yang bisa muncul dengan aku mengunjungi akun milik mantan pacar yang telah menghancurkan perasaanku dulu. Iya, kan?

Itulah mengapa bertahun lalu aku abaikan permintaan pertemanan di akun-akun sosial mediaku dari mantanku itu. Toh, buktinya aku baik-baik saja hingga sekarang. Dan yang kumaksud dengan baik-baik saja itu bukan yang mentereng, cemerlah dan hebat luar biasa. Bukan begitu, tapi aku masih bisa hidup dan beraktifitas. Dan itu yang penting.

Ternyata aku masih bernafas, meski dulu sempat punya pikiran bahwa aku takkan bisa hidup tanpanya. Aku masih bisa bersenang-senang dan menjalankan beberapa hobiku, walau dulu aku pernah punya anggapan bahwa hidupku kelar ketia dia meninggalkanku dan memilih pria lain sebagai calon pendamping hidupnya.

Memang sih banyak rencana dalam hidupku yang harus diubah, disesuaikan kalau kata teman-teman. Agar rencana yang semula hanya bisa terlaksana bersama mantanku itu, dapat diupayakan sendirian. gaya hidupku pun berubah, tiga tahun pacaran bukanlah waktu yang singkat. Disadari atau tidak, kehadirannya mempengaruhi sikap dan perangaiku. Sehingga ketika dia pergi dari hidupku, aku sempat membenci diriku karena banyak hal dari diriku yang mengingatkanku tentang dia.

Dan kini, sembilan tahun sejak kejadian yang meluluhlantakkan kepercayaan diriku, tiba-tiba tanpa aba-aba, dia hadir lagi? Bajingan!

Oh iya, bicara soal akun media sosial, pada hari itu juga akhirnya aku mengabulkan permintaan pertemanan darinya. Iya, cemen sekali. Tapi aku merasa butuh mencari jawaban dari begitu banyaknya pertanyaanku. Dan apa sumber terbaik untuk mendapatkan jawaban selain dari media sosial? Celakanya, akun media sosial miliknya dikunci, mau tak mau, aku harus mengabulkan permintaan pertemanannya.

Pernahkah kalian menghabiskan hari hanya dengan berkutat pada gawai di tangan hanya karena kepo dengan seseorang? Begitulah keadaanku pada hari itu. Untungnya tak banyak yang harus kukerjakan di kantor, dan tak ada acara apapun sepulang kerja. Dalam sekejap, aku jadi tahu bahwa mantanku telah menikah dengan lelaki yang sama yang membuat hubunganku putus. Aku juga tahu bahwa dari pernikahannya, mereka tak dikaruniai anak. Dan sedihnya, aku jadi tahu bahwa 4 bulan lalu, suaminya meninggal karena sakit.

Dan, ajaib, semua perasaan kecewa dan marah yang sebelumnya aku sendiri tidak ketahui kalau aku memilikinya, sirna begitu saja. Dalam satu hari, perasaanku betulan terombang-ambing. Roller coaster perasaan.

Aku kasihan kepadanya. Meski selepas aku darinya, aku sempat beberapa kali berpacaran dengan orang lain, dialah wanita yang teristimewa. Dua pacarku pun memutus tali kasih kami dengan alasan aku belum move on. Meski nampak mengada-ada dan terlalu dibesar-besarkan, alasanku belum juga menikah sampai saat ini juga karena aku belum beruntung menemukan wanita yang seperti dia lagi.

Dia masih cantik seperti dulu. Aku tahu foto yang dipajang di media sosial itu foto-foto pilihan yang tentu saja sudah diedit dengan aplikasi tambahan agar nampak wah, tapi akupun berpendapat yang sama, bahwa dia masih cantik, ketika sepintas aku melihatnya seperti yang kutulis di atas.

Sialan. Kenapa dia cantik sekali? Enyahlah duhai engkau rasa hangat di dadaku!! Enyah!

Tapi tetap saja aku berselancar di media sosial miliknya. Menatap lekat wajahnya. Cantik luar biasa. Apa mungkin aku sudah gila? Sia-sia sudah semua usahaku membangun kembali hidupku dalam kurun waktu 6 tahun belakangan. Aku kembali terpuruk oleh wanita yang sama. Eh, tunggu!

Aku lihat, hampir di semua fotonya, dia selalu mengenakan gelang emas yang sama. Gelang emas yang sejak kuliah dia pakai. Gelang emas dariku! Gelang yang sama yang kubelikan dengan cara menyisakan uang jajanan bulananku. Tak salah lagi!

Usahaku mencari jawaban atas banyak pertanyaan di kepala rupanya malah menimbulkan lebih banyak tanya. kenapa dia masih memakai gelang itu? Apakah dia memakainya karena menganggap gelang itu istimewa? Apakah dia ingat aku? Apakah gelang itu dia pake karena itu hadiah dariku? Apakah dia menyesal memutuskanku? Apakah dia masih mencintaiku? Setan alas! Oalah tobil… tobil!

“Hei, akhirnya di-approve juga setelah sekian lama. Makasih ya, kamu apa kabar?”

Kalian tentu bisa menebak, siapa yang menulis kalimat di atas. Kalimat yang kubaca berulang-ulang di layar ponselku. Perasaan apa ini namanya. kenapa rasanya persis sama dengan ketika aku pertama melihatnya di acara kampus dulu?

Beberapa jam kemudian, akhirnya kubalas pesannya. Kucoba setenang mungkin. Kuketik, kuedit, kuhapus….begitu terus berulang-ulang hingga akhirnya kutemukan diksi dan narasi yang tepat. Tak boleh nampak terlalu antusias, namun jangan pula keliatan tak peduli. Harus tepat.

Kukatakan bahwa karena aku melihatnya saat berangkat ke kantor, makanya berujung bertkawan di media sosial. Penasaran saja, dalihku. Dia tertawa, dalam bentuk tulisan.

Aku lalu mengucapkan bela sungkawa, karena dari unggahannya, aku tahu suaminya belum lama meninggal. Kami lalu bertukar nomor, agar lebih leluasa ngobrol.

Dia bercerita soal sakit yang diderita mendiang suaminya. Dari pelantang ponselku, aku bisa merasakan sakit di hatinya ketika menceritakan kematian suaminya. Apakah ini cinta sejati? Karena aku hampir ikut menangis karenanya. Bangsat benar.

Aku benci perasaanku sendiri.

“Eh, kamu kalau makan siang di mana? Kantor kita kan satu komplek. Ketemuan yuk! Kangen. udah berapa tahun coba? Empat tahunan, kan?”

Iya, jawabku. Untuk apa harus kukoreksi? Kusanggupi juga untuk bertemu saat makan siang besok di sebuah kantin yang agak jauh dari kantorku.

Terima kasih sudah membaca tulisanku ini hingga di titik ini. Betulan! Aku tak punya siapa-siapa untuk bercerita, makanya kutulis saja. Kalian mau tahu bagaimana kelanjutan kisahku tadi?

Keesokan harinya, kami berjumpa. Aku hadir 22 menit sebelum jadwal yang kami sepakati. Semalaman sudah kulatih diriku ini, bagaimana cara berjalan, bagaimana cara bersikap di depannya nanti, dan membahasa apa saja. Aku mematut diri di depan cermin yang sampai kulap terlebih dahulu agar bersih dan jernih. Aku tak boleh kelihatan culun, apalagi nampak terlalu bahagia dengan pertemuan kami, itu saja yang kuulang-ulang dalam hatiku.

Semakin dekat dengan perjumpaan dengannya, makin gelisah. Buyar sudah segala geladi resik yang kulakukan sebelumnya. Aku panik. Makin panik ketika aku melihat dia datang menuju ke arahku. Dia mengenaliku juga dari kejauhan, buktinya, dia melambaikan tangan ke arahku. Bagaimana ini?

“Hai..”
“Hai… Apa kabar kamu, Mas?”

Sejak kapan aku menjadi “Mas” baginya? Ah, bodo amat. Tak dinyata tak diduga, obrolan berjalan mulus dan lancar. Rupanya seperti lama tak naik sepeda, meski kaku, karena sudah pernah bisa, maka lancar saja kemudian. Ngeklik.

Ketika dirasa tepat, akhirnya kuberanikan diri untuk menanyakan perihal gelang yang tak hanya selalu nampak dipakai di semua foto media sosialnya, namun juga dipakainya saat bertemu denganku.

“Wah, rupanya gelangnya masih dipakai juga ya?”
“Gelang? Oh, gelang ini? Iya. Aku suka banget ama gelang ini, soalnya.”

Jantungku seperti keteteran memompa darah.

“Hahahaha. Emang bagus. Siapa dulu yang milih? Aku.”
“Lho, emang ini kamu yang beli? Bukan ah!

Leave a Reply

Your email address will not be published.