Beberapa hari lalu, saya mendapatkan kabar bahwa Ravacana Film, sebuah rumah produksi bermarkas di kota Yogyakarta akan merilis karya baru pada tanggal 15 Maret, dan kali ini bekerja sama dengan Netflix Indonesia. Bagi yang tidak familiar, mereka adalah rumah produksi yang sama yang sudah menghasilkan film Nilep (2015, Wahyu Agung Prasetyo), Singsot (2016, Wahyu Agung Prasetyo), Anak Lanang (2017, Wahyu Agung Prasetyo), dan tentu saja film yang sempat membuat ramai jagat maya; Tilik (2018, Wahyu Agung Prasetyo) dengan tokoh fenomenal bernama Bu Tejo.

Sejak mengenal kanal Youtube milik rumah produksi Ravacana Films, saya merasa bahwa mereka itu benar-benar sukses menjalani ‘jalan ninja’ yang sesungguhnya dengan prinsip “Think globally, act locally”. Tanpa malu-malu, mereka percaya diri menghasilkan karya-karya bercita rasa lokal. Tak hanya menghadirkan film pendek berbahasa Jawa (tentu saja ada subtitle-nya), tema yang diangkat pun sangat lokal yang mungkin sudah tidak akan dapat ditemui oleh orang-orang Jawa yang merantau atau yang tinggal di daerah peralihan desa-kota, pseudo-urban barangkali.
Contohnya Tilik (2018), yang menceritakan sekumpulan ibu-ibu yang naik truk angkutan untuk menjenguk tetangga yang tengah sakit dirawat di rumah sakit jauh dari desa mereka. Meski temanya familiar, saya sendiri sudah tidak lagi menjumpai hal tersebut di lingkungan tempat tinggal saya. Menjenguk orang sakit kini lebih personal, datang sendiri dengan naik mobil pribadi atau paling tidak sepeda motor. Mungkin karena sudah pada lebih sibuk atau memang tidak lagi terbiasa untuk melakukan hal tersebut secara bergerombol. Setidaknya itu menurut saya.
Karena itu, ketika akun Twitter milik Ravacana Films memberitahukan akan merilis sebuah film pendek berjudul Nyengkuyung, saya merasa tidak sabar untuk lekas menontonnya dengan beberapa alasan. Pertama, filmnya akan dapat diakses secara gratis di kanal YouTube milik Netflix Indonesia. Kedua, karena karya kali ini bekerja sama dengan Netflix Indonesia, yang dalam bayangan saya, akan menjadi karya yang memiliki kualitas lebih, baik dari sisi cerita maupun sinematografinya. Jangan salah paham, selama ini Ravacana Films itu memang sudah menghasilkan karya yang berkualitas bagus, tetapi jika dimodali Netflix tentu dapat dibayangkan bukan akan bagaimana hasilnya?
Tanggal 16 Maret, akhirnya film Nyengkuyung diunggah dan dapat ditonton secara gratis. Telat sehari, memang. Tapi tak masalah. Dengan semangat dan perasaan membuncah di dada seperti hendak bersua kekasih lama, saya menontonnya melalui layar ponsel saya berbekal penyuara telinga.
Banyak sekali hal yang dibahas film ini yang bagi saya sangat menarik untuk dibahas dan dipikirkan. Di awal film digambarkan Pak Surat (Pritt Timothy) yang gagap teknologi atau gaptek, tetapi tidak mau menyerah begitu saja dengan keadaan dan ingin tetap eksis di era media sosial.
Pak Surat ini mengalami sindrom pasca lengser dari jabatan ketua RT, sehingga benci dengan Pak Hari, ketua RT yang baru. Selain itu ada tokoh perwakilan anak muda, Krisna dan Herman yang menertawakan ke-gaptek-kan Pak Surat, yang sejatinya menggambarkan bagaimana generasi muda merasa risih dengan golong tua yang dianggapnya kuno dan ketinggalan jaman. Beda jaman dan usia ini memang rumit di hadapan teknologi, kalaupun ada generasi sepuh yang tertarik belajar mengejar ketertinggalan, generasi mudanya belum tentu mau mengajari. Kalaupun awalnya mau, belum tentu sabar. Banyak kan yang geregetan mengajari orang tuanya sekadar untuk menggunakan ponsel layar sentuh?
Akhirnya, generasi muda menertawakan orang-orang tua yang tertinggal jaman menjadi hal lumrah, bahkan tak jarang menjadikannya sebagai konten.

Ada juga tokoh Klawu, penjaga warung angkringan, yang dengan gaya anak muda, mengerjai Pak Surat dengan menceritakan bahwa di sekitar sanggar sering tercium bau kemenyan, dan tiap kali lewat sana, Klawu mengaku sering bergidik ketakutan, merasakan kehadiran makhluk yang tak kasat mata.
Apa yang dilakukan Klawu ini tentu saja gambaran anak-anak masa kini yag sering melakukan kelakar dan sering menganggapnya sebagai ‘prank’. Kelakar ini seringkali memakan korban dan menjadi masalah besar karena miskomunikasi, seperti yang digambarkan film ini.
Pak Surat yang sejak awal tidak suka dengan pemerintahan Pak Hari sebagai RT baru, dan pernah menemukan bekas bakaran kemenyan dan kembang, ketambahan dengan informasi dari Klawu, langsung naik darah menganggap sanggar telah digunakan untuk hal-hal klenik. Pak Surat akhirnya mengamuk di sanggar yang saat itu dipakai untuk membuat video karawitan, dengan Krisna dan Herman bersama Pak Hari ada di sana.
Ini menggambarkan juga tentang mudahnya berita hoaks, baik yang dimaksudkan untuk serius membohongi maupun yang awalnya hanya guyonan, dapat menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat.
Meski nampak klise, cara Pak Hari menghadapi kemarahan Pak Surat itu sangat bagus, dan seyogianya memang harus demikian bagi pemerintah/atasan ketika menghadapi kemarahan warga/bawahan. Pak Hari tidak ikut marah, meski dia tidak bersalah. Tidak akan ada hal baik yang dihasilkan dari dua pihak yang marah.
Di bagian menjelang akhir film, penonton diberi tahu bahwa ide brilian Pak Surat itu ternyata sama dengan yang sedang dilakukan oleh para pemuda, dimpimpin oleh Pak Hari. Di keseharian kita sering mendapati hal yang begini di masyarakat. Di mana tokoh yang disegani, merasa harus mengeksekusi sendiri ide yang dimilikinya, tanpa perlu bermusyawarah terlebih dahulu.
Saya merasa bernostalgia dengan adegan Krisna dan Herman yang mengumpulkan jimpitan. Jimpitan adalah sistem keamanan lingkungan yang dilakukan penduduk desa pada jaman dulu. Sekarang pun masih ada di beberapa daerah. Jadi di setiap rumah penduduk, dibuat sebuah tempat kecil digantung di tembok, yang setiap malam harus diisi dengan sejumput beras dalam plastik, atau uang, yang kemudian dikumpulkan oleh para peronda. Jimpitan itu pada akhirnya menjadi semacam upah bagi peronda. Cara ini efektif, karena peronda tidak tinggal diam di pos saja.
Oh iya, Krisna dan Herman yang menjadi wakil generasi muda ini selain melek dengan kemajuan jaman, tetap percaya dan ketakutan dengan hantu. Bisa jadi pembuat filmnya ingin berkata bahwa antara generasi tua dan muda tetap ada jembatan yang seharusnya bisa mempertemukan keduanya.
Soal kemenyan atau dupa yang diributkan Pak Surat semakin menguatkan pendapat saya soal itu. Ternyata dupa tersebut dibakar karena dipercaya dapat mencegah turunnya hujan, yang suaranya dapat mengganggu proses rekaman gamelan.
Saya tidak akan membahas film ini dari sisi sinematografi, murni karena saya tidak punya pengetahuan apa-apa soal itu. Namun bisa dibilang, mata saya dimanjakan oleh tiap adegannya. Akting masing-masing pemeran juga meyakinkan, meskipun banyak adegan yang mengharuskan mereka menggunakan masker wajah, mengingat film ini dibuat dan menggambarkan masa pandemi Covid 19.
Justru itu hal yang patut diacungi jempol bagi saya. Banyak tayangan yang diproduksi saat pandemi menggambarkan para tokoh tidak menggunakan masker, dengan alasan sudah sesuai dengan protokol kesehatan. Tayangan visual itu sangat meracuni otak pemirsanya. Kesediaan mengenakan masker sedikit demi sedikit dapat terkikis dengan menyaksikan tayangan yang tidak patuh dengan protokol kesehatan tersebut.
Lagian, akting yang dilakukan menggunakan masker wajah tetap bisa dirasakan emosinya kok. Persis dengan ketika kita beraktifitas sehari-hari memakai masker. Jempol dua untuk ini.
Hal yang sedikit mengganjal bagi saya adalah adegan konflik dan penyelesaiannya yang bagi saya terasa terlalu singkat dan terkesan buru-buru. Bagaimanapun Pak Surat sudah lama memendam bara dengan Pak Hari, ditambah dengan post power syndrome yang dideritanya, maka menurut saya ketika Pak Surat diberi penjelasan oleh Pak Hari, Krisna, Herman, dan Klawu, kecederungannya Pak Surat tidak serta merta mau menerima penjelasan tersebut. Seperti halnya yang biasa kita lihat di lapangan, orang yang telanjur marah akan gengsi untuk mengakui kesalahannya.
Eh, seingat saya Pak Surat juga tidak minta maaf atas segala tuduhannya sih. Klasik. Habis ini saya mau mengingatkan anak-anak saya untuk terus-menerus membiasakan diri dengan tiga ucapan ajaib: tolong, terima kasih, dan maaf.
Nyengkuyung, kata yang berasal dari bahasa Jawa ini dapat diartikan dengan berpartisipasi, bergotong royong, atau mendukung. Dan semangat itu nampak jelas di tiap tokoh film ini, apapun motivasi di belakangnya. Dan itu akan berantakan ketika terjadi kesalahpahaman dan pertikaian.
Film-film Ravacana Films bagi saya justru menggambarkan realita. Pak Surat tidak merasa salah, hanya merasa sebagai korban disinformasi. Dan seperti Bu Tejo di Tilik (2018), tidak ada ucapan maaf, lalu hidup berlaku seperti biasa. Anggap tak ada apa-apa. Abaikan bara jika tak terinjak, katanya.
Tunggu, apa film ini sejatinya merupakan otokritik kondisi bangsa ini? Cialat! Nggak ah. Bangsa ini baik-baik saja dan akan selalu begitu. Saya saja yang kejauhan mikir.
Terima kasih, Netflix dan Ravacana Films. Suwun.
Dan buat kalian yang belum nonton, ini filmnya: